Senin, 12 Mei 2008

Api yang menghanguskan

Kali ini kita akan membahas doa persiapan persembahan pada hari jumat dalam pekan Pentakosta menurut Missale Romanum 1962 yang sayangnya tidak dipertahankan dalam Missale Romanum yang sekarang dipakai karena sekarang setelah hari raya Pentakosta kita langsung masuk ke masa biasa tanpa melewati pekan Pentakosta terlebih dahulu.

Ini adalah terjemahan bahasa Indonesia dari doa tersebut menurut Pater Wahjo, OFM:

Tuhan, semoga kurban, yang dipersembahkan dihadapan wajahMu, dimakan oleh api ilahi, yang dinyalakan Roh Kudus dalam hati murid-murid Kristus.

Saya memotong bagian doksologinya karena itu bukan pokok bahasan kita sekarang ini. Sekarang mari kita perhatikan beberapa gagasan yang menonjol dalam doa diatas tersebut.

Pertama, kita menemukan gagasan tentang kurban yang dimakan oleh api. Dalam Kitab Suci sekurangnya kita menemukan dua kisah dimana persembahan kurban yang diberikan kepada Allah dimakan atau dibakar atau dihanguskan dengan api ilahi, maksudnya dibakar dengan api yang muncul secara ajaib dan bukan dibakar seperti biasanya. Kedua kisah itu ialah kisah persembahan Abram (kemudian namanya diganti menjadi Abraham) dan kemudian ialah kisah persembahan Elia di Gunung Karmel.

Kisah mengenai persembahan Abram bisa dibaca selengkapnya di Kejadian bab 15, disini saya akan menceritakan singkatnya saja. Ketika itu Allah berjanji kepada Abram untuk membuat keturunannya sebanyak bintang di langit dan memberikan negeri Kanaan kepadanya. Ketika Abram menanyakan kepada Allah bagaimana ia tahu kalau janji-janji Allah itu akan dipenuhi maka Allah meminta agar ia meletakkan beberapa hewan untuk persembahan. Menjelang sore Allah kembali berbicara dan menubuatkan adanya kesengsaraan bagi keturunan Abram namun Ia juga menyampaikan janji pemulihan dan hukuman bagi penindas keturunan Abram itu. Akhirnya, pada malam hari muncullah api yang berasal dari Allah dan memakan semua hewan kurban itu dan Allah berfirman akan menjadikan keturunan Abram sebagai pemilik negeri itu dan hari itu diingat sebagai hari perjanjian antara Allah dengan Abram.

Sementara, kisah mengenai persembahan Elia bisa dibaca di 1 Raja-raja bab 18: 20-46 yaitu kisah pertandingan antara Elia melawan nabi-nabi Baal. Setelah kemarau yang panjang dalam masa pemerintahan raja Ahab yang murtad meninggalkan Allah dan menyembah Baal. Maka Ahab mengadakan sayembara siapa yang bisa menurunkan hujan. Pesertanya adalah 450 nabi Baal di satu pihak melawan Elia seorang diri di pihak lainnya. Singkat cerita para nabi Baal gagal, sementara Elia setelah menyiapkan kurban, ia tidak membakarnya melainkan turunlah api Tuhan dan membakar seluruh persembahannya. Akhirnya hujan turun dan Elia membantai ke 450 nabi Baal itu.

Dalam kedua kisah ini kita melihat bahwa turunnya api ilahi atas persembahan kurban itu selalu menjadi tanda atas perkenanan Tuhan terhadap kurban yang dipersembahkan dan menjadi tanda kesetiaan Tuhan terhadap janji yang diberikan kepada umatNya serta menjadi tanda kekuasanNya bahwa Dialah Allah dan Dia sanggup memenuhi semua yang telah dikatakanNya. Tetapi doa liturgi yang menjadi bahasan kita sepertinya tidak pertama-tama menunjuk kepada kisah ini walaupun jelas bahwa doa itu dipengaruhi oleh kedua kisah ini. Doa itu lebih lanjut menunjuk bahwa api ilahi itu dinyalakan oleh Roh Kudus. Peng-atribut-an api ilahi kepada Roh Kudus merupakan sesuatu yang baru dan tidak terdapat dalam kedua kisah ini. Sekarang kita akan melihat ini secara lebih mendalam.

Sejauh yang saya baca dalam Kitab Suci hanya ada satu kali saja dimana Roh Kudus muncul bersama dengan api yaitu dalam kisah Pentakosta. Disitu diceritakan bagaimana Roh Kudus turun ke atas para Rasul dalam rupa lidah-lidah api (Kis 2: 3). Apa artinya lidah-lidah api tersebut? Biasanya orang mengaitkan api dengan semangat, simbol api yang membakar seringkali dengan mudah disamakan dengan semangat yang membara atau dengan sesuatu yang membakar semangat. Tetapi kali ini kita akan melihatnya dari sisi yang berbeda.

Dalam beberapa kisah Kitab Suci kita melihat bahwa api menjadi tanda peng-ilahi-an dari sesuatu. Melalui api hewan-hewan kurban yang sifatnya materi diubah menjadi suatu persembahan yang naik ke hadirat Tuhan. Kemudian adanya api menjadi tanda bahwa suatu tempat dikuduskan bagi Tuhan, misalnya ketika Musa bertemu Allah (Kel 3: 2-5) atau mengenai api di dekat Tabut Perjanjian (Kel27:20 persisnya nyala api kecil pada lampu). Dan akhirnya juga dengan api lah yang seseorang yaitu Elia diangkat ke surge (2 Raja-raja 2: 11).

Lalu apa artinya lidah-lidah api turun atas para Rasul? Bagi saya ini berarti tanda bahwa Allah telah menguduskan mereka dan menyatakan bahwa Allah berkenan pada mereka, meneguhkan perjanjian yang telah diadakanNya dengan mereka dalam Kristus dan menunjukkan bahwa Ia setia dan akan memenuhi semua janjiNya yang telah Ia berikan melalui Kristus. Dalam kaitannya dengan bahasan mengenai doa liturgis diatas, kita akan menyempitkan kembali bahasan ini yaitu soal menguduskan saja.

Dalam suratnya kepada umat di Roma st. Paulus meminta agar kita mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan berkenan kepada Allah (Rom 12:1). Tetapi permasalahannya adalah kita tidak kudus, kita sering jatuh dan sering berbuat dosa, bahkan dosa yang itu-itu saja, lalu bagaiamana kita bisa mempersembahkan tubuh kita sebagai suatu persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah? Jawaban pertama untuk pertanyaan ini adalah bahwa bagi kita kekudusan itu merupakan pertama-tama adalah anugerah atau pemberian dari Allah dan bukan dari hasil usaha kita. Adalah Roh Kudus yang memberikan atau mengerjakan kekudusan dalam diri kita, atau dalam istilah yang lebih teologis nya Roh Kudus menyalurkan kepada kita rahmat pengudus. Rahmat ini memberikan kepada jiwa kita kemampuan untuk menyenangkan hati Allah dengan perbuatan-perbuatan baik kita. Tanpa rahmat pengudus bisa dikatakan bahwa semua perbuatan baik kita tidak berarti di mata Allah dan tidak mendatangkan kekudusan bagi kita. Rahmat ini tentunya adalah sesuatu yang diberikan dengan gratis. Dan karena definsi gratis dilihat dari sudut pandang manapun pastinya tidak memasukkan unsur pemaksaan didalamnya maka perlu juga ada tanggapan dari pihak kita terhadap rahmat ini> [ita0jugq xarus }au }e}bukq tiri terhadap karya Roh Kudus didalam diri kita.

Lidah-lidah api itu dengan sendirinya menjadi tanda bahwa rahmat yang menguduskan telah diberikan. Pencurahan Roh Kudus menjadikan tubuh kita sebagai baitNya yang kudus, dan menjadikan tubuh kita dapat dipersembahkan sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. Bagi kita juga saat kita menerima sakramen-sakramen dan setiap kali kita melakukan perbuatan baik dalam keadaan ‘memiliki’ rahmat pengudus ini maka rahmat ini dicurahkan dan ditambahkan sehingga kita menjadi semakin dikuduskan. Penerimaan rahmat ini membuat nilai perbuatan-perbuatan baik kita juga semakin berkenan di hadapan Allah dan semakin menyenangkanNya selain tentunya meningkatkan kekudusan kita sendiri.

Kita semua pernah diajar bahwa adalah penting untuk mempersembahkan kepada Allah hal-hal yang kita alami dan kita lakukan sehari-hari mulai dari belajar, pekerjaan rumah tangga, main-main dan bersantai, juga pelayanan dan doa-doa kita. Semua ini menyenangkan Tuhan bukan dari dirinya sendiri tapi dari kenyataan bahwa rahmat yang terlebih dahulu diberikanlah yang membuat semua hal ini dapat berkenan di hati Tuhan. Kesadaran semacam ini saya kira akan membuat kita tidak bisa berlagak suci atau berlagak kudus. Itu adalah pemberian dan bukan usaha kita.

Minggu, 11 Mei 2008

Sorang Penolong Yang Lain

Hari ini kita merayakan hari Pentakosta, dan karena Injil pada hari ini diambil dari Yohanes 20: 19-23 maka dalam tulisan ini kita akan mencoba merenungkan mengenai Roh Kudus terutama dari sudut pandang Injil Yohanes.

Yesus menyebut Roh Kudus sebagai seorang Penolong yang lain (Yoh 14:15) yang akan menyertai kita selama-lamanya. Jika kita mendengar kata “seorang penolong” kita tentunya akan berpikir tentang seorang yang bersedia membantu kita dalam semua kesulitan kita seperti halnya Doraemon bagi Nobita. Gambaran seperti itu tidak sepenuhnya salah, tetapi rasanya bukan itu yang dimaksudkan oleh Yesus ketika dia menyebut Roh Kudus sebagai “seorang Penolong yang lain”.

Yesus menyebut Roh Kudus sebagai penolong atau dalam bahasa yunaninya parakletos, kata yunani parakletos ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin sebagai advocatus. Kata yang terakhir ini tentu sudah tidak terlalu asing lagi, kita pun masih menggunakan istilah itu dengan arti yang kurang lebih tetap sama. Kata itu menunjuk kepada seseorang yang dipanggil untuk mendampingi seorang yang sedang digugat atau menjalani tuntutan di pengadilan. Seorang advocatus memberi saran, nasehat atau memberikan pembelaan agar orang yang memanggilnya tidak terkena atau terbebas dari tuntutan pengadilan. Dan Roh Kudus adalah “seorang Penolong” pertama-tama dalam arti yang semacam ini.

Dalam kitab Wahyu, yang menurut tradisi juga ditulis oleh Rasul Yohanes yang menulis Injil ini, iblis digambarkan sebagai seorang pendakwa (dan kata aslinya dalam bahasa ibrani memang berarti demikian) yang mendakwa kaum beriman siang malam dihadapan Allah kita (Why 12:10). Iblis, pendakwa kita disebut sebagai pembunuh manusia sejak semula, dia adalah pendusta dan bapa segala dusta (Yoh 8:44). Iblis ingin agar kita ditemukan bersalah dihadapan Allah, ia menginginkan kita bercela seperti yang dulu ia lakukan terhadap Ayub (Ayb 1:7-12). Ia menyerang, menyakiti dan membujuk kita supaya berdosa. Santo Petrus menggambarkannya sebagai singa yang berkeliling dan mencari korbannya (1 Petrus 5:8). Dengan gambaran semacam itu cukup dimengerti bahwa kita sangat membutuhkan seorang advocatus yang selalu mendampingi kita.

Jika si pendakwa disebut sebagai pendusta dan bapa segala dusta maka Penolong kita itu disebut sebagai Roh Kebenaran (Yoh 14:17). Di atas tadi kita telah membahas bagaimana pendakwa kita begitu ingin membuat kita bersalah di hadapan Allah sehingga kita dihukum. Tetapi Penolong kita adalah Roh Kebenaran, dan kebenaran itu memerdekakan (Yoh 8:32; 2Kor 3:17). Penolong kita itu menginsyafkan kita akan dosa, kebenaran dan penghakiman (Yoh 16:8-11), menuntun kita kepada seluruh kebenaran (Yoh 16:13) dan memberitakan segala yang telah diterimaNya dari Kristus (Yoh 16:14-15). Itulah Penolong kita yang membantu kita mengalahkan pendakwa kita, si iblis, yang ingin kita bersalah di hadapan Allah dan dihukum, Penolong ini diutus untuk membantu kita hidup benar sehingga kita tidak ditemukan bercela di hadapan Allah (1 Tes 5: 23) sehingga kita pun terbebaskan dari tuduhan dan hukuman.

Kita tahu bahwa iblis menanamkan kekuasaannya dalam diri kita melalui dosa, karena alasan itu juga maka Roh Kudus dihubungkan dengan pengampunan dosa, yang melaluinya kita menerima penyembuhan dari racun mematikan yang ditanamkan iblis dalam diri kita. Maka tidaklah heran jika dalam Injil Yohanes Roh Kudus juga dihubungkan dengan kuasa untuk mengampuni dosa, seperti yang kita baca dalam Yohanes 20: 22-23 dimana para Rasul menerima kuasa untuk mengampuni dosa berkat penghembusan Roh Kudus oleh Yesus kepada mereka. Rumusan absolusi dalam sakramen tobat pun menegaskan hal yang sama:

Allah Bapa yang berbelas kasih,

melalui wafat dan kebangkitan PuteraNya

telah mendamaikan dunia dengan diriNya

dan mengutus Roh Kudus untuk pengampunan dosa;

melalui pelayanan Gereja semoga Allah memberikan

pengampunan dan damai kepada saudara,

dan aku melepaskan kamu dari segala dosamu

dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus.

Akhirnya kita juga melihat bahwa Roh Kudus selalu digambarkan seperti angin. Pada hari Pentakosta tiupan angin kencang mendahului kedatanganNya (Kis 1: 2) dan diberikan dengan hembusan (Yoh 20:22) kepada para Rasul supaya mereka menerima kuasa mengampuni dosa. Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa kata “roh” dalam bahasa ibrani adalah ruah dan dalam bahasa yunani adalah pneuma yang bisa berarti angin, nafas, hembusan, atau nyawa. Namun gagasan utama dari kata ruah dan pneuma ini adalah suatu daya yang menghidupkan, yang menggerakan, dan tidak bisa dibendung seperti halnya angin berhembus ke arah mana yang dikehendakinya. Dari sini kita dapat membayangkan bahwa ketika st. Paulus mengatakan bahwa Tuhan adalah Roh, dan dimana Roh Allah berada disitu ada kemerdekaan (2 Kor 3:17) ia merenungkan bahwa Allah adalah sumber hidup dan kekuatanNya tak dapat dibendung, Ia bebas dan tidak dikendalikan oleh kekuatan lain yang berada di luar diriNya.

Roh Kudus juga kadang digambarkan dengan merpati (Yoh 1:32), menurut Yves Congar bukanlah kebiasaan Yahudi untuk menggambarkan Roh Allah sebagai merpati, sebaliknya dalam tradisi rabbinik merpati adalah gambaran bagi umat Allah. Di sini kita melihat bahwa Roh Kudus dihubungkan dengan umatNya, pertama-tama Israel dan kemudian Israel sejati yaitu Gereja. Dari sini juga kita dapat memahami mengapa st. Paulus menekankan peranan Roh Kudus bagi kesatuan Gereja (1 Korintus bab 12 seluruhnya, ingat juga bahwa sebagian dari bab ini muncul sebagai bacaan kedua hari ini). Roh Allah tidak memecah belah tetapi menghimpunkan kita menjadi satu tubuh, menjadi satu Gereja.

Saya kira semua gambaran ini memberikan sedikit keterangan mengenai siapa Roh Kudus itu, Ia adalah pembela yang menuntun, penyembuh, dan Ia juga dinamis dan menggerakan dan lebih lagi Ia mempersatukan kita. Ketika kita menyerahkan diri kita kepada pimpinan Roh ini berarti kita menata hidup kita menurut kehendakNya. Kita menuruti bimbinganNya untuk menghindarkan yang jahat serta baik dan benar, menerima tawaran penyembuhan dan kekuatan dariNya melalui doa dan sakramen. Di sisi lain juga berarti kita menerima semangat, kekuatan dan ke-fleksibel-an atau dinamismenya. Dan jika kita mencari model orang macam apakah yang dipimpi~ luh0Rh0itu< }a{a0jqwqbqn~ya adalah Yesus. Sulit sebenarnya untuk menggambarkan seperti apa Yesus dalam beberapa kata, tapi saya kira tidak lah terlalu salah untuk mengatakan Dia sebagai orang yang; teguh, punya prinsip, tenang dan fleksibel dengan keadaan. Sebenarnya ada istilah singkat lain yang lebih tepat untuk menggambarkan seperti apa Yesus itu, yaitu “pribadi yang seimbang” tetapi istilah ini terlihat terlalu abstrak, setidaknya bagi saya sendiri. Jika kita mengikuti bimbingan Roh kita akan menjadi orang yang semacam itu, dan aku suka kata-kata dari seseorang (tante Olly persisnya) “kalian gak akan gila”.