Kami menerjemahkan sebuah draft dari Komisi dialog teologis antara Gereja Katolik dan Ortodoks mengenai peranan Uskup Roma dalam persekutuan Gereja sepanjang milenium pertama. Draft ini bukan pernyataan resmi, dan di kalangan Ortodoks juga terdapat beberapa reaksi negatif terhadap draft ini, sementara di kalangan Katolik, menurut pengetahuan kami, sambutannya cukup positif.
Komisi Koordinasi Gabungan Untuk Dialog Teologis Antara Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks
Aghios Nikolaos, Creta Yunani, 27 September- 4 Oktober 2008
Pendahuluan
1. Dalam dokumen Ravenna, “Konsekuensi Eklesiologis Dan Kanonik Dari Kodrat Sakramental Gereja- Persekutuan Gerejani, Konsiliaritas Dan Otoritas”, Katolik dan Ortodoks mengakui hubungan tak terpisahkan antara konsiliaritas dan primat pada setiap tingkat kehidupan Gereja: “Primat dan konsiliaritas saling bergantung satu sama lain. Itulah sebabnya mengapa primat pada berbagai tingkatan kehidupan Gereja, lokal, regional, dan universal, harus dipertimbangkan dalam konteks konsiliaritas, dan konsiliaritas juga dipertimbangkan dalam konteks primat (dokumen Ravenna, n. 43). Mereka juga mengakui bahwa “dalam tatanan kanonik (taxis) yang dihayati oleh Gereja awali”, yang “diakui oleh semua pada masa Gereja yang tidak terbagi”. “Roma, sebagai Gereja yang menurut ungkapan St. Ignatius Antiokhia, ‘memimpin dalam cinta kasih’ (Surat kepada Roma, prolog), menempati urutan pertama dalam taxis, dan karenanya Uskup Roma menjadi protos di antara para Patriarkh” (nn. 40,41). Dokumen tersebut mengacu kepada peranan aktif dan hak prerogative Uskup Roma sebagai “protos di antara Patriarkh”, “protos di antara para Uskup dari Tahta-tahta Utama” (nn. 41,42,44), dan menyimpulkan bahwa ‘peranan Uskup Roma dalam persekutuan seluruh Gereja-gereja’ harus dipelajari secara lebih mendalam”. “Apakah fungsi khusus dari Uskup “Tahta Pertama” dalam suatu eklesiologi koinonia?” (n. 45)
2. Maka topik dalam dialog teologis tahap selanjutnya adalah: “Peranan Uskup Roma Dalam Persekutuan Gereja Milenium Pertama”. Tujuannya adalah untuk memahami peranan Uskup Roma secara lebih mendalam pada masa dimana Gereja Timur dan Barat berada dalam persekutuan, sementara ada sejumlah perbedaan di antara keduanya, dan untuk menjawab pertanyaan di atas.
3. Teks yang sekarang ini akan membahas topik tersebut dengan memperhatikan empat hal berikut:
- Gereja Roma, prima sedes;
- Uskup Roma sebagai pengganti Petrus;
- Peranan Uskup Roma pada masa krisis persekutuan gerejani;
- Pengaruh faktor-faktor non-teologis.
Gereja Roma, “prima sedes”
4. Katolik dan Ortodoks sepakat bahwa, sejak masa apostolik, Gereja Roma telah diakui sebagai yang pertama di antara Gereja-gereja lokal, baik di Timur maupun di Barat. Tulisan para bapa apostolik dengan jelas memberikan kesaksian akan fakta ini. Roma, ibu kota kekaisaran, dengan cepat memperoleh kemasyhuran dalam Gereja awali sebagai tempat kemartiran Santo Petrus dan Paulus (cf. Wahyu 11: 3-12). Roma menempati tempat yang unik di antara Gereja-gereja lokal dan menjalankan suatu pengaruh yang unik pula. Pada akhir abad pertama, dengan menyerukan teladan para martir, Petrus dan Paulus, Gereja Roma menulis surat panjang kepada Gereja Korintus, yang telah menolak penatua-penatuanya (1Klemens 1,44), dan mendorong agar kesatuan dan keselarasan (homonoia) dipulihkan. Surat yang ditulis oleh Klemens, yang selanjutnya dikenal sebagai Uskup Roma (cf. Irenaeus, Adv.Haer 3,3,2), walaupun bentuk kepemimpinan Klemens di Roma pada masa itu tidaklah jelas.
5. Tak lama sesudah itu, dalam perjalanannya untuk dimartir di Roma, Ignatius dari Antiokhia menulis kepada Gereja Roma dengan penuh penghargaan, sebagai yang “layak bagi Allah, layak dihormati, layak disebut yang terberkati, layak akan keberhasilan, layak akan kemurnian”. Ia menyebutnya sebagai “yang memimpin di wilayah orang Romawi” dan juga sebagai “yang memimpin dalam cinta kasih” (“prokathemene tes agapes”; Roma, Salam). Ungkapan ini ditafsirkan dengan berbagai cara, tetapi ungkapan ini tampak menunjukkan bahwa Roma memiliki peranan sebagai senior dan pemimpin regional, dan juga pembedaan yang mendasar dalam Kekristenan, yaitu iman dan cinta kasih. Ignatius juga berbicara mengenai Petrus dan Paulus, yang berkhotbah kepada orang Romawi (Roma, 4).
6. Irenaeus menekankan bahwa Gereja Roma merupakan acuan pasti bagi pengajaran apostolik. Dengan Gereja ini, yang didirikan oleh Petrus dan Paulus, merupakan hal yang perlu bahwa setiap Gereja setuju dengannya (convenire), “propter potentiorem principalitatem”, suatu ungkapan yang secara berbeda-beda dapat dipahami sebagai “karena asal-usulnya yang lebih kuat” atau “karena otoritasnya yang lebih besar” (Adv. Haer., 3,3,2). Tertullianus juga memuji Gereja Roma “yang atasnya Rasul (Petrus dan Paulus) mencurahkan seluruh ajaran mereka bersama-sama dengan mencurahkan darahnya”. Roma merupakan yang paling utama di antara Gereja-gereja Apostolik dan tidak satupun dari banyak bidaah yang pergi ke sana mencari pengakuan pernah diterima (cf. De Praescrip. 36). Maka, Gereja Roma merupakan suatu titik acuan baik bagi “pedoman iman” dan juga dalam mencari penyelesaian damai bagi kesulitan-kesulitan di dalam atau antar Gereja-gereja tertentu.
7. Kadang-kadang Uskup Roma terlibat dalam ketidaksetujuan dengan Uskup-uskup lain. Anicetus dari Roma dan Polikarpus dari Smyrna gagal untuk menyepakati tanggal Paskah pada tahun 154 AD namun tetap memelihara persekutuan Ekaristis. Empat puluh tahun kemudian, Uskup Viktor dari Roma memerintahkan sinode-sinode untuk menyelesaikan masalah ini- suatu contoh awali mengenai sinodalitas dan juga para Paus yang mendorong sinode-sinode- dan mengekskomunikasi Polikrates dari Efesus dan Uskup-Uskup Asia saat sinode mereka menolak mengadopsi posisi Roma. Viktor kemudian dikecam oleh Irenaeus karena sikap kerasnya dan tampak kemudian ia mencabut hukumannya dan persekutuan dipertahankan. Pada pertengahan abad ke 3, muncul sebuah konflik besar mengenai apakah mereka yang dibaptis oleh kaum bidaah harus dibaptis kembali saat mereka masuk Gereja. Dengan mengacu kepada tradisi lokal, Cyprianus dari Karthago dan para Uskup Afrika Utara, didukung oleh sinode-sinode Timur di sekeliling Uskup Firmilianus dari Kaisarea, mempertahankan pendapat bahwa mereka harus dibaptis kembali, sementara itu Uskup Stephanus dari Roma, dengan mengacu kepada tradisi Roma dan karenanya kepada Petrus dan Paulus (Cyprianus, Ep. 75,6,2), mengatakan bahwa mereka tidak boleh dibaptis kembali. Persekutuan antara Stephanus dan Cyprianus kemudian merenggang namun tidak putus secara formal. Jadi, abad-abad pertama menunjukkan kepada kita bahwa kadang-kadang pandangan dan keputusan Uskup Roma ditentang oleh para Uskup lain. Masa-masa itu juga menunjukkan suburnya kehidupan sinodal Gereja awali. Misalnya, pada masa itu ada banyak Sinode Afrika, dan surat-menyurat yang sering antara Cyprianus dan Stephanus, terutama dengan pendahulunya yaitu Kornelius, menampakkan semangat kerekanan yang tinggi (cf. Cyprianus, Ep. 55,6,1-2).
8. Semua Gereja-gereja Timur dan Barat percaya bahwa Roma menempati tempat pertama (i.e primat) di antara Gereja-gereja. Primat ini berasal dari sejumlah faktor: pendirian Gereja oleh Petrus dan Paulus dan cita rasa kehadiran mereka yang hidup di sana; kemartiran dari dua Rasul paling utama (koryphes) di kota itu dan lokasi kuburan (tropaia) mereka di kota itu; serta kenyataan bahwa Roma adalah ibukota Kekaisaran dan pusat komunikasi.
9. Abad-abad pertama menunjukkan hubungan mendasar dan tak terpisahkan antara primat Tahta Roma dan primat Uskupnya; setiap Uskup mewakili, mempribadikan, dan mengungkapkan Tahtanya (cf. Ignatius dari Antiokia, Smyrnaeans 8; Cyprianus, Ep. 66,8). Maka, adalah tidak mungkin berbicara mengenai primat seorang Uskup tanpa mengacu kepada Tahtanya. Sejak paruh abad kedua, diajarkan bahwa kelanjutan Tradisi Apostolik ditandai dan diungkapkan dengan pergantian Uskup di Tahta-Tahta yang didirikan oleh Para Rasul. Baik Timur dan Barat memelihara pandangan bahwa keutamaan Tahta mendahului keutamaan Uskup dan merupakan sumber dari keutamaan Uskup.
10. Cyprianus percaya bahwa kesatuan episkopat (jabatan Uskup) dan Gereja disimbolisasikan dalam pribadi Petrus, yang kepadanya primat diberikan, dan dalam tahtanya, dan bahwa semua Uskup bersama-sama ambil bagian dalam tugas ini (“in solidium”; De Unit. Ecc., 4-5). Maka, Tahta Petrus dapat ditemukan di semua Tahta, tetapi teristimewa di Roma. Mereka yang datang ke Roma, datang “kepada Tahta Petrus, kepada Gereja asali, kepada sumber asli dari kesatuan episkopat” (Ep. 59,14,1).
11. Primat Tahta Roma diungkapkan dalam berbagai konsep: Cathedra Petri, Sedes Apostolica, Prima Sedes. Bagaimanapun juga, perkataan Paus Gelasius: “Tahta Pertama tidak diadili oleh siapapun” (“Prima Sedes a nemine iudicatur; Cf. Ep. 4, PL 58, 28B; Ep. 13, PL 59, 64A), yang kemudian diterapkan dalam konteks gerejani dan menjadi pertentangan antara Timur dan Barat, pada awalnya hanya berarti bahwa Paus tidak dapat diadili oleh Kaisar.
12. Tradisi Timur dan Barat mengakui suatu “kehormatan” (timi) tertentu dari yang pertama di antara Tahta-tahta Patriarkal, yang jelas tidak murni hanya kehormatan belaka (Konsili Nicaea, kan. 6; Konsili Konstantinopel, kan. 3; dan Konsili Kalsedon, kan. 28). Kehormatan ini memuat juga suatu “otoritas” (exousia; cf. Dokumen Ravenna, n.12), yang bagaimanapun juga “tanpa dominasi, tanpa tekanan fisik dan moral” (Dokumen Ravenna, n. 14). Walaupun dalam milenium pertama Konsili-konsili Oikumene dipanggil oleh Kaisar, tidak ada Konsili yang dapat diakui sebagai Oikumene jika tidak mendapatkan persetujuan Paus, baik yang diberikan sebelumnya maupun sesudahnya. Hal ini dapat dipandang sebagai penerapan prinip yang dinyatakan dalam Kanon Apostolik 34 pada tingkatan universal kehidupan Gereja: “Para Uskup dari tiap provinsi (ethnos) harus mengakui satu yang menjadi yang pertama (protos) di antara mereka, dan menganggapnya sebagai kepala (kephale) mereka, dan tidak melakukan apapun yang penting tanpa persetujuannya (gnome); setiap Uskup hanya dapat melakukan sesuatu yang berhubungan dengan Keuskupannya (paroikia) dan wilayahnya. Tetapi yang pertama (protos) tidak dapat melakukan apapun tanpa persetujuan yang lainnya. Dengan cara ini keselarasan (homonoia) akan bertahan, dan Allah akan dipuji melalui Tuhan dalam Roh Kudus” (cf. Dokumen Ravenna, n.24). Pada tiap tingkatan kehidupan Gereja primat dan konsiliaritas saling bergantung satu sama lain.
13. Kaisar Yustinianus (527-565) membakukan urutan limat Tahta utama, Roma, Konstantinopel, Alexandria, Antiokhia, Yerusalem, dalam hukum Kekaisaran (Novellae 131, 2; cf 109 praef; 123, 3), dan dengan demikian membentuk apa yang dikenal sebagai Pentarkhi. Uskup Roma dipandang sebagai yang pertama dalam tatanan (taxis), namun tanpa menyebutkan tradisi Petrine.
14. Pada masa Paus Gregorius I (590-604), berlangsung suatu perselisihan yang telah dimulai sejak masa Paus Pelagius II (579-590), mengenai gelar “Patriarkh Oikumene” bagi Patriarkh Konstantinople. Pemahaman yang berbeda di Timur dan Barat memicu perselisihan ini. Gregorius memandang bahwa dalam gelar ini ada suatu gagasan yang tidak dapat ditoleransi dan suatu pelanggaran hak-hak kanonik dari Tahta-tahta lain di Timur, sementara di Timur gelar ini dipahami bahwa gelar ini merupakan ungkapan hak-hak utama kepatriarkhan. Kemudian, Roma menerima gelar ini. Gregorius sendiri mengatakan bahwa ia sendiri menolak gelar “Paus Universal”, dan ia merasa dirinya dihormati saat setiap Uskup menerima kehormatan yang sepatutnya bagi mereka (“kehormatanku adalah kehormatan saudara-saudaraku”, Ep. 8, 29). Ia menyebut dirinya sendiri sebagai ‘hamba dari hamba-hamba Allah (servus servorum Dei).
15. Pemahkotaan Karolus Agung pada tahun 800 oleh Paus Leo III menandai suatu era baru dalam sejarah klaim-klaim kepausan. Satu faktor yang menuntun kepada perbedaan Timur dan Barat adalah kemunculan Dekretal Palsu (c. 850), yang bertujuan memperkuat otoritas Roma untuk melindungi para Uskup. Dekretal ini memainkan peranan yang besar pada abad-abad selanjutnya, karena para Paus mulai bertindak dalam semangat Dekretal yang menyatakan, misalnya, bahwa semua masalah-masalah besar (causae maiores), khususnya mengenai penggeseran Uskup dan Metropolitan, merupakan tanggung jawab utama Uskup Roma, dan semua Konsili dan Sinode menerima otoritas hukum mereka melalui peneguhan dari Tahta Roma. Para Patriarkh Konstantinopel tidak menerima pandangan semacam itu yang bertentangan dengan prinsip sinodalitas. Walaupun Dekretal tersebut tidak mengacu ke Timur, namun pada masa-masa yang kemudian, di milenium kedua, sejumlah tokoh Barat menerapkannya ke Timur. Walaupun ketegangan meningkat, namun pada tahun 1000 orang Kristen di Timur dan Barat masih merasa bahwa mereka tergabung dalam satu Gereja yang tidak terbagi.
Uskup Roma Sebagai Pengganti Petrus
16. Penekanan mengenai hubungan Tahta Romawi dengan Petrus dan Paulus pada masa-masa awal, kemudian secara bertahap, di Barat, dikembangkan menjadi suatu hubungan spesifik antara Uskup Roma dan Rasul Petrus. Paus Stephanus (pertengahan abad ke 3) adalah yang pertama kali menerapkan Matius 16: 18 (“engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini akan Kudirikan Gereja-Ku”) kepada jabatannya sendiri. Konsili Konstantinopel tahun 381 menyebutkan bahwa Konstantinopel memiliki tempat kedua setelah Roma: “karena ia merupakan Roma Baru, maka Uskup Konstantinopel memiliki urutan kehormatan kedua setelah Uskup Roma” (kanon 3). Kriteria yang menjadi acuan Konsili dalam menetapkan tatanan Tahta-tahta bukanlah pendirian apostolik namun status kota tersebut dalam organisasi sipil Kekaisaran Romawi. Kriteria yang berbeda bagi penataan Tahta-tahta utama disebutkan dalam Sinode yang berkumpul di Roma tahun 382 di bawah kepemimpinan Paus Damasus (cf. Decretum Gelasianum 3). Di sini Tahta-tahta utama disebutkan antara lain Roma, Alexandria, dan Antiokhia, tanpa menyebutkan apapun mengenai Konstantinopel. Dinyatakan juga bahwa Gereja Roma diberikan tempat pertama karena sabda Kristus kepada Petrus (Mat 16:18), dan karena pendiriannya oleh Petrus dan Paulus. Tempat kedua diberikan kepada Alexandria, karena didirikan oleh Markus murid Petrus, dan tempat ketiga diberikan kepada Antiokhia, di mana Petrus tinggal sebelum ia pindah ke Roma. Gagasan mengenai tiga tahta Petrine ini kemudian diulangi oleh para Paus di abad kelima seperti Bonifatius, Leo, dan Gelasius. Maka sejak 381-382 telah muncul dua kriteria untuk menentukan urutan gerejani suatu Gereja, yang pertama mengandaikan bahwa urutan gerejani harus sesuai dengan urutan sipil kota yang dipermasalahkan, sementara yang kedua mengacu kepada asal-usul apostolik, atau lebih khusus lagi asal-usul Petrine.
17. Gagasan Petrine ini kemudian secara signifikan dikembangkan dan diperdalam oleh Paus Leo (440-461). Ia membuat pembedaan tajam antara pelayanan Petrus dan orang yang menjalankan pelayanan tersebut, yang ia pandang sebagai pewaris (haeres) tak pantas dari Santo Petrus (Serm. 3,4). Dengan menjadi pewaris, Paus menjadi “apostolicus” dan ia mewarisi “consortium” dari kesatuan tak terbagi antara Kristus dan Petrus (Serm. 5,4;4,2). Konsekuensinya, adalah tugas Paus untuk memperhatikan semua Gereja-gereja (cf 2Kor 11:28; Ep. 120,4). Keutamaan Petrus ini berdasar pada fakta bahwa Kristus mempercayakan domba-dombanya kepadanya dan hanya kepadanya (Yoh 21:17; cf Serm. 83). Uskup Roma menjaga keistimewaan tradisi Gereja Roma, tradisi Santo Petrus (cf Ep. 9; Serm.96,3). Leo memandang dirinya sebagai “penjaga iman Katolik dan penetapan para Bapa” (Ep. 114), yang berkewajiban untuk meningkatkan hormat dan pelaksanaan Konsili-konsili.
18. Pada Konsili Oikumene keempat (451), pembacaan Surat Leo ditanggapi dengan seruan: “Petrus telah berbicara melalui Leo”. Bagaimanapun juga, hal ini bukanlah definisi formal mengenai suksesi Petrus. Hal ini merupakan suatu pengakuan, bahwa Leo, uskup Roma, telah menyuarakan iman Petrus, yang secara khusus ditemukan dalam Gereja Roma. Setelah Konsili yang sama, para Uskup mengatakan bahwa Leo adalah “penyambung lidah Santo Petrus bagi semua…menyampaikan kekudusan imannya bagi semua” (Epistola concilii Chalcedoniensis ad Leonem papam= Ep.98 dari Leo). Agustinus juga lebih suka memfokuskan pada iman daripada sekedar pribadi Petrus saat ia mengatakan bahwa Petrus adalah “figura ecclesiae” (Dalam Jo. 7, 14; Sermo 149, 6) dan “typus ecclesiae” (Sermo 149, 6) dalam pengakuannya akan iman dalam Kristus. Maka, merupakan suatu penyederhaan yang berlebihan untuk mengatakan bahwa orang-orang Barat menafsirkan “batu karang” di Matius 16: 18 sebagai pribadi Petrus sementara orang-orang Timur menafsirkannya sebagai iman Petrus. Dalam Gereja awali, baik Timur dan Barat, pergantian (suksesi) iman Petrus-lah yang dianggap sangat penting.
19. Penting untuk diperhatikan bahwa semua suksesi apostolik adalah suksesi iman apostolik dalam suatu Gereja lokal tertentu. Dari sudut pandang eklesiologi, tidaklah mungkin untuk memahami suatu suksesi antar pribadi secara terpisah atau di luar suksesi iman apostolik dan suatu Gereja lokal. Maka, mengatakan Petrus berbicara melalui Uskup Roma pertama-tama berarti Uskup Roma mengungkapkan iman apostolik yang diterima Gereja dari Rasul Petrus. Dalam arti inilah terutama Uskup Roma dipahami sebagai pengganti Petrus.
20. Di Barat, penekanan yang ditempatkan pada hubungan antara Uskup Roma dan Rasul Petrus, sejak abad keempat dan seterusnya, disertai juga dengan meningkatnya acuan yang lebih spesifik terhadap peranan Petrus dalam dewan para Rasul. Primat uskup Roma diantara para Uskup secara bertahap ditafsirkan sebagai suatu keistimewaan karena ia adalah pengganti Petrus, yang pertama diantara para Rasul (cf. Hieronimus, In Isaiam 14, 53; Leo, Sermo 94, 2; 95, 3). Kedudukan Uskup Roma diantara para Uskup dipahami dalam konteks kedudukan Petrus diantara para Rasul. Di Timur, perkembangan (evolusi) dalam penafsiran semacam ini mengenai pelayanan Uskup Roma tidak muncul. Penafsiran semacam ini juga tidak pernah secara eksplisit ditolak di Timur sepanjang milenium pertama, tetapi orang Timur cenderung memahami bahwa setiap Uskup adalah pengganti semua Rasul, termasuk Petrus (cf. Cyprianus, De unit. ecc. 4-5; Origenes, Comm. in Matt).
21. Serupa dengan itu, Barat juga tidak menolak gagasan Pentarkhi (lihat atas n. 13)- sebaliknya Barat dengan cermat menaati taxis lima Tahta utama, Roma, Konstantinopel, Alexandria, Antiokhia, dan Yerusalem, bersama dengan lima kepatriarkhan yang dikembangkan Gereja kuno (cf. dokumen Ravenna, n.28). Bagaimanapun juga, Barat tidak pernah memberikan signifikansi yang sama kepada Pentarkhi sebagai suatu cara pemerintahan Gereja seperti yang dilakukan oleh Timur.
22. Penting untuk diperhatikan bahwa perbedaan pemahaman mengenai keududukan Uskup Roma dan hubungan Tahta-tahta utama di Timur dan Barat ini, yang masing-masing didasarkan kepada penafsiran alkitabiah, teologis, dan kanonis, yang cukup berbeda, tetap tinggal berdampingan (co-exist) selama beberapa abad sampai akhir milenium pertama, tanpa menyebabkan putusnya persekutuan.
Peranan Uskup Roma Pada Masa –masa Krisis Dalam Persekutuan Gerejani
23. Pada milenium pertama, Gereja mengalami banyak kesempatan saat persekutuan gerejani terancam, misalnya, saat definisi-definisi Nicaea ditantang dengan pengecaman para Uskup ortodoks oleh sejumlah konsili yang diadakan di Timur pada abad keempat, dan saat rumusan kristologis Kalsedon ditantang oleh monofisitisme dan “Henotikon” (yang menimbulkan skisma Acacian) di abad kelima, dan kemudian oleh monoenergisme dan monothelitisme di abad ketujuh, juga pada masa krisis ikonoklasme di abad kedelapan dan kesembilan. Orang-orang Katolik dan Ortodoks mengakui pentingnya peranan yang dijalankan oleh Uskup Roma pada masa-masa tersebut.
24. Pada kenyataannya, sejak abad keempat dan seterusnya, ada suatu pertumbuhan terhadap pengakuan akan Roma sebagai pusat di mana pengaduan atau permintaan bantuan dalam berbagai situasi dapat disampaikan dari seluruh dunia Kristen. Pada tahun 339-340, Uskup Alexandria, mengajukan pengaduan kepada Paus Yulius. Dalam kata-kata Paus, yang dikutip oleh Athanasius “Dia (Athanasius) datang bukan karena kemauannya sendiri, tetapi karena ia diundang oleh surat kami” (Athanasius, Apologia contra Arianos 29;cf 20. 33. dan 35). Hal ini memperlihatkan bahwa Yulius tidak sekedar menanggapi permohonan dari Athanasius, tetapi ia sendiri mengambil inisiatif untuk “mengundang” Uskup dari Alexandria itu. Maka, tampak bahwa peranan Paus lebih dari sekedar menerima pengaduan.
25. Permintaan bantuan kepada Roma disaat terjadi krisis kadang juga disertai dengan permintaan seruma kepada Tahta-tahta utama gerejani lainnya. Yohanes Krisostomus (404), misalnya, mengadu tidak hanya kepada Roma melainkan juga kepada Uskup dari Milan dan Aquilela. Maka, tindakan yang diambil oleh Uskup Roma ditujukan untuk dikoordinasikan, dalam semangat konsiliar, dengan tindakan oleh Tahta-tahta utama lainnya. Lebih jauh lagi, inisiatif Uskup Roma pada umumnya cenderung dijalankan dalam konteks Sinode Romawi dan biasanya mengacu kepada sinode itu. Misalnya, dalam korespondensi pada masa perselisihan Photius, para Uskup Roma menekankan bahwa mereka telah mengambil keputusan sejalan dengan aturan atau kanon dan secara sinodal (“regulariter et synodaliter” atau “canonice et synodaliter”).
26. Prosedur yang harus diikuti dalam mengajukan permohonan kepada Roma dikembangkan oleh Konsili Sardica (342-343, kanon 3-5). Dalam keputusan konsili itu ditetapkan bahwa seorang Uskup yang telah dihukum (condemned) dapat mengajukan banding kepada Paus, dan jika Paus memandangnya perlu, dapat memerintahkan pengadilan ulang, untuk dijalankan oleh para Uskup dari keuskupan-keuskupan yang dekat dengan keuskupan dari Uskup yang dihukum tersebut. Jika diminta oleh Uskup terhukum tersebut, Paus juga dapat mengirimkan wakilnya untuk mendampingi para Uskup dari keuskupan-keuskupan tetangga. Walaupun pada awalnya dikehendaki menjadi Konsili Oikumene, namun Sardica sebenarnya adalah konsili lokal yang diadakan di Barat. Kanon-kanon Sardica diterima di Timur pada Konsili di Trullo (692).
27. Deskripsi paling jelas mengenai kondisi yang dibutuhkan agar sebuah konsili dapat diakui sebagai oikumene diberikan oleh Konsili Oikumene VII (Nicaea II, 787), konsili terakhir yang diakui sebagai oikumene baik di Timur dan di Barat:
- konsili itu harus diterima oleh kepala-kepala (proedroi) Gereja-gereja, dan mereka harus bersepakat (symphonia) dengannya;
- Paus Roma harus menjadi “rekan kerja” (synergos) dengan konsili;
- para Patriarkh dari Timur harus berada “dalam kesepakatan” (symphronountes);
- ajaran-ajaran konsili harus sejalan dengan Konsili-konsili Oikumene sebelumnya;
-konsili harus menerima angka urutan yang spesifik, agar dapat ditempatkan dalam kelanjutan dari konsili-konsili yang diterima oleh Gereja secara keseluruhan.
28. Dapat ditegaskan bahwa pada milenium pertama, peranan Uskup Roma sebagai yang pertama (protos) diantara para Patriarkh, menjalankan suatu fungsi koordinasi dan stabilitator dalam masalah yang berkaitan dengan iman dan persekutuan, dalam kesetiaan kepada tradisi dan dengan penuh hormat terhadap konsiliaritas.
Pengaruh Faktor-faktor Non-teologis
29. Sepanjang milenium pertama, sejumlah faktor yang tidak secara langsung bersifat teologis telah memainkan peranan yang cukup penting dalam hubungan antara Gereja-gereja di Timur dan Barat, dan mempengaruhi pemahaman dan pelaksanaan primat Uskup Roma. Faktor-faktor ini bermacam-macam jenisnya, misalnya faktor politis, historis, sosial-ekonomi, dan budaya.
30. Sebagai indikasi faktor-faktor yang berkaitan, dapat dinyatakan sebagai berikut:
- peristilahan, mentalitas, dan ideologi Kekaisaran Romawi;
- perubahan politik kerajaan berkaitan dengan kehidupan Gereja;
- pemindahan ibuka Kekaisaran ke Timur;
-kemunduran dan kejatuhan Kekaisaran Romawi di Barat, serta konsekuensinya bagi keseimbangan politik dan kebudayaan antara Timur dan Barat, yang menuntun kepada saling keterasingan, ketidaktahuan, dan kesalahpahaman diantara keduanya;
- ekspansi Muslim di wilayah kepatriarkhan Alexandria, Antiokhia dan Yerusalem, serta Afrika Utara dan Spanyol.
- kemunculan Kekaisaran Barat di bawah Karolus Agung;
- pengaruh pribadi dari sejumlah tokoh sejarah tertentu.
Suatu kesadaran akan faktor-faktor non-teologis yang berkerja dalam hubungan antara orang-orang Kristen Timur dan Barat serta apresiasi terhadap bagaimana mereka berinteraksi dengan berbagai faktor teologi memungkinkan suatu pemahaman yang lebih dalam akan kehidupan dan iman Gereja, dan secara khusus perbedaan yang berkembang antara Timur dan Barat.
Kesimpulan
31. Sepanjang milenium pertama, Timur dan Barat tetap bersatu dalam perbedaan fundamental mengenai prinsip teologis, misalnya, mengenai pentingnya kelanjutan dalam iman apostolik, ke-saling tergantung-an antara primat dan konsiliaritas/sinodalitas dalam setiap tingkat kehidupan Gereja, dan suatu pemahaman mengenai otoritas sebagai “pelayanan (diakonia) cinta kasih”, dengan “penghimpunan seluruh umat manusia dalam Yesus Kristus” sebagai tujuannya (cf. dokumen Ravenna, nn. 13-14). Walaupun kesatuan Timur dan Barat terganggu beberapa kali, para Uskup dari Timur dan Barat tidak pernah gagal untuk menyadari bahwa mereka tergabung dalam Gerejayang sama dan menjadi pengganti para Rasul dalam satu jabatan Uskup. Kerekanan para Uskup diungkapkan dalam suburnya kehidupan sinodal Gereja pada semua tingkatan baik lokal, regional, dan universal. Pada tingkat universal, Uskup Roma bertindak sebagai protos diantara para kepala Tahta-tahta utama. Ada anyak contoh mengenai berbagai jenis permohonan yang diajukan kepada Uskup Roma untuk meningkatkan damai dan memelihara persekutuan Gereja dalam iman apostolik.
32. Pengalaman milenium pertama secara mendalam mempengaruhi pola hubungan antara Gereja-gereja Timur dan Barat. Walaupun perbedaan bertambah dan kadang-kadang terjadi skisma pada masa ini, namun persekutuan tetap dipelihara antara Timur dan Barat. Prinsip perbedaan-dalam-persatuan, yang secara eksplisit diterima dalam Konsili Konstantinopel yang diadakan pada tahun 879-880, memiliki dampak penting yang khusus bagi tema dari tahapan dialog kita yang berlangsung sekarang ini. Perbedaan pemahaman dan penafsiran yang jelas, tidak mencegah Timur dan Barat untuk teap tinggal dalam persekutuan. Ada perasaan yang lebih kuat sebagai satu Gereja, dan ketetapan untuk tetap ada dalam kesatuan, sebagai satu kawanan dengan satu gembala (cf. Yoh 10:16). Milenium pertama, yang telah diperiksa dalam tahap dialog kami ini, adalah tradisi bersama dari kedua Gereja kita. Dalam prinsip teologis dan eklesioginya yang dasar telah diidentifikasikan di sini, tradisi bersama ini harus melayani sebagai model bagi pemulihan persekutuan penuh kita.
3 Oktober 2008.
Diterjemahkan dari:
http://chiesa.espresso.repubblica.it/articolo/1341814?eng=y
Sabtu, 13 Maret 2010
Langganan:
Postingan (Atom)