Kali ini kita akan membahas doa persiapan persembahan pada hari jumat dalam pekan Pentakosta menurut Missale Romanum 1962 yang sayangnya tidak dipertahankan dalam Missale Romanum yang sekarang dipakai karena sekarang setelah hari raya Pentakosta kita langsung masuk ke masa biasa tanpa melewati pekan Pentakosta terlebih dahulu.
Ini adalah terjemahan bahasa Indonesia dari doa tersebut menurut Pater Wahjo, OFM:
Tuhan, semoga kurban, yang dipersembahkan dihadapan wajahMu, dimakan oleh api ilahi, yang dinyalakan Roh Kudus dalam hati murid-murid Kristus.
Saya memotong bagian doksologinya karena itu bukan pokok bahasan kita sekarang ini. Sekarang mari kita perhatikan beberapa gagasan yang menonjol dalam doa diatas tersebut.
Pertama, kita menemukan gagasan tentang kurban yang dimakan oleh api. Dalam Kitab Suci sekurangnya kita menemukan dua kisah dimana persembahan kurban yang diberikan kepada Allah dimakan atau dibakar atau dihanguskan dengan api ilahi, maksudnya dibakar dengan api yang muncul secara ajaib dan bukan dibakar seperti biasanya. Kedua kisah itu ialah kisah persembahan Abram (kemudian namanya diganti menjadi Abraham) dan kemudian ialah kisah persembahan Elia di Gunung Karmel.
Kisah mengenai persembahan Abram bisa dibaca selengkapnya di Kejadian bab 15, disini saya akan menceritakan singkatnya saja. Ketika itu Allah berjanji kepada Abram untuk membuat keturunannya sebanyak bintang di langit dan memberikan negeri Kanaan kepadanya. Ketika Abram menanyakan kepada Allah bagaimana ia tahu kalau janji-janji Allah itu akan dipenuhi maka Allah meminta agar ia meletakkan beberapa hewan untuk persembahan. Menjelang sore Allah kembali berbicara dan menubuatkan adanya kesengsaraan bagi keturunan Abram namun Ia juga menyampaikan janji pemulihan dan hukuman bagi penindas keturunan Abram itu. Akhirnya, pada malam hari muncullah api yang berasal dari Allah dan memakan semua hewan kurban itu dan Allah berfirman akan menjadikan keturunan Abram sebagai pemilik negeri itu dan hari itu diingat sebagai hari perjanjian antara Allah dengan Abram.
Sementara, kisah mengenai persembahan Elia bisa dibaca di 1 Raja-raja bab 18: 20-46 yaitu kisah pertandingan antara Elia melawan nabi-nabi Baal. Setelah kemarau yang panjang dalam masa pemerintahan raja Ahab yang murtad meninggalkan Allah dan menyembah Baal. Maka Ahab mengadakan sayembara siapa yang bisa menurunkan hujan. Pesertanya adalah 450 nabi Baal di satu pihak melawan Elia seorang diri di pihak lainnya. Singkat cerita para nabi Baal gagal, sementara Elia setelah menyiapkan kurban, ia tidak membakarnya melainkan turunlah api Tuhan dan membakar seluruh persembahannya. Akhirnya hujan turun dan Elia membantai ke 450 nabi Baal itu.
Dalam kedua kisah ini kita melihat bahwa turunnya api ilahi atas persembahan kurban itu selalu menjadi tanda atas perkenanan Tuhan terhadap kurban yang dipersembahkan dan menjadi tanda kesetiaan Tuhan terhadap janji yang diberikan kepada umatNya serta menjadi tanda kekuasanNya bahwa Dialah Allah dan Dia sanggup memenuhi semua yang telah dikatakanNya. Tetapi doa liturgi yang menjadi bahasan kita sepertinya tidak pertama-tama menunjuk kepada kisah ini walaupun jelas bahwa doa itu dipengaruhi oleh kedua kisah ini. Doa itu lebih lanjut menunjuk bahwa api ilahi itu dinyalakan oleh Roh Kudus. Peng-atribut-an api ilahi kepada Roh Kudus merupakan sesuatu yang baru dan tidak terdapat dalam kedua kisah ini. Sekarang kita akan melihat ini secara lebih mendalam.
Sejauh yang saya baca dalam Kitab Suci hanya ada satu kali saja dimana Roh Kudus muncul bersama dengan api yaitu dalam kisah Pentakosta. Disitu diceritakan bagaimana Roh Kudus turun ke atas para Rasul dalam rupa lidah-lidah api (Kis 2: 3). Apa artinya lidah-lidah api tersebut? Biasanya orang mengaitkan api dengan semangat, simbol api yang membakar seringkali dengan mudah disamakan dengan semangat yang membara atau dengan sesuatu yang membakar semangat. Tetapi kali ini kita akan melihatnya dari sisi yang berbeda.
Dalam beberapa kisah Kitab Suci kita melihat bahwa api menjadi tanda peng-ilahi-an dari sesuatu. Melalui api hewan-hewan kurban yang sifatnya materi diubah menjadi suatu persembahan yang naik ke hadirat Tuhan. Kemudian adanya api menjadi tanda bahwa suatu tempat dikuduskan bagi Tuhan, misalnya ketika Musa bertemu Allah (Kel 3: 2-5) atau mengenai api di dekat Tabut Perjanjian (Kel27:20 persisnya nyala api kecil pada lampu). Dan akhirnya juga dengan api lah yang seseorang yaitu Elia diangkat ke surge (2 Raja-raja 2: 11).
Lalu apa artinya lidah-lidah api turun atas para Rasul? Bagi saya ini berarti tanda bahwa Allah telah menguduskan mereka dan menyatakan bahwa Allah berkenan pada mereka, meneguhkan perjanjian yang telah diadakanNya dengan mereka dalam Kristus dan menunjukkan bahwa Ia setia dan akan memenuhi semua janjiNya yang telah Ia berikan melalui Kristus. Dalam kaitannya dengan bahasan mengenai doa liturgis diatas, kita akan menyempitkan kembali bahasan ini yaitu soal menguduskan saja.
Dalam suratnya kepada umat di Roma st. Paulus meminta agar kita mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan berkenan kepada Allah (Rom 12:1). Tetapi permasalahannya adalah kita tidak kudus, kita sering jatuh dan sering berbuat dosa, bahkan dosa yang itu-itu saja, lalu bagaiamana kita bisa mempersembahkan tubuh kita sebagai suatu persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah? Jawaban pertama untuk pertanyaan ini adalah bahwa bagi kita kekudusan itu merupakan pertama-tama adalah anugerah atau pemberian dari Allah dan bukan dari hasil usaha kita. Adalah Roh Kudus yang memberikan atau mengerjakan kekudusan dalam diri kita, atau dalam istilah yang lebih teologis nya Roh Kudus menyalurkan kepada kita rahmat pengudus. Rahmat ini memberikan kepada jiwa kita kemampuan untuk menyenangkan hati Allah dengan perbuatan-perbuatan baik kita. Tanpa rahmat pengudus bisa dikatakan bahwa semua perbuatan baik kita tidak berarti di mata Allah dan tidak mendatangkan kekudusan bagi kita. Rahmat ini tentunya adalah sesuatu yang diberikan dengan gratis. Dan karena definsi gratis dilihat dari sudut pandang manapun pastinya tidak memasukkan unsur pemaksaan didalamnya maka perlu juga ada tanggapan dari pihak kita terhadap rahmat ini> [ita0jugq xarus }au }e}bukq tiri terhadap karya Roh Kudus didalam diri kita.
Lidah-lidah api itu dengan sendirinya menjadi tanda bahwa rahmat yang menguduskan telah diberikan. Pencurahan Roh Kudus menjadikan tubuh kita sebagai baitNya yang kudus, dan menjadikan tubuh kita dapat dipersembahkan sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. Bagi kita juga saat kita menerima sakramen-sakramen dan setiap kali kita melakukan perbuatan baik dalam keadaan ‘memiliki’ rahmat pengudus ini maka rahmat ini dicurahkan dan ditambahkan sehingga kita menjadi semakin dikuduskan. Penerimaan rahmat ini membuat nilai perbuatan-perbuatan baik kita juga semakin berkenan di hadapan Allah dan semakin menyenangkanNya selain tentunya meningkatkan kekudusan kita sendiri.