Sabtu, 27 Oktober 2007

Interview dengan Msgr. Guido Marini

CITTA' DEL VATICANO- Ia baru saja tiba di Vatikan: pria berusia 42 tahun dengan aksen Genoanya yang kental, dididik oleh Giuseppe Cardinal Siri dan rekan kerja yang akrab dari Uskupagung Dionigi Tettamanzi, Tarcisio Bertone dan Angelo Bagnasco, dialah Msgr. Guido Marini Ceremoniarius liturgi kepausan yang baru, pengganti dari Msgr. Piero Marini, berbicara pertama kasilnya sejak pengangkatan dirinya untuk tugas yang penting ini dan ia berbicara kepada Petrus (pewawancara yang asli).

Tuanku (Monsignor), pertama-tama selamat datang dan Saya berharap agar pekerjaan Anda berjalan lancar
GM: Terimakasih atas dukungannya, Saya benar-benar membutuhkan itu. Kamu tahu, bahwa Saya masih baru di Roma, dan Saya masih melihat-lihat keadaan, Saya terlibat didalamnya, dan juga ada dalam pikiran Saya bahwa disini ada banyak hal yang harus dikerjakan dan diperhatikan, percayalah.

Jadi kita beralih dari satu Marini kepada yang lainnya: apa yang ingin Anda katakan tentang Piero, pendahulu Anda?
GM: Saya berterimakasih kepadanya dari dalam hati saya. Dia telah melakukan banyak hal bagi Gereja, dia telah melayani dua Paus, dan Saya disini hanya pada permulaan pelayanan Saya.

Katanya tugas Anda itu berat.....
GM: Jelas..Kehidupan setiap ceremoniarius kepausan dipenuhi masalah. Kami ada dalam sorotan, dan kami disini tidak dapat memberikan kelonggaran untuk melakukan kesalahan mencolok.

Banyak yang memperkirakan bahwa Anda dipanggil karena dalam hal liturgi Anda lebih tradisional dan ketat daripada Uskupagung Piero Marini. Tapi apa sebenarnya konsep Anda tentang liturgi?
GM: Apa yang Gereja inginkan dan ajarkan, tidak lebih, tidak kurang. Saya bukan tipe orang yang mencari-cari sesuatu yang baru atau aneh. Mungkin Saya terdengar blak-blakan, tapi liturgi membutuhkan hormat terhadap aturan yang ditetapkan oleh Gereja, dan Saya tidak melihat alasan apapun mengapa Saya harus mengabaikan semua aturan itu.

Katanya di Genoa, dimana Anda bekerja sampai saat ini, liturgi sangat diperhatikan, meriah dan anggun, tanpa ada yang aneh-aneh
GM: Liturgi memang sudah begitu dari hakekatnya. Biarkan Saya mengulanginya: Tidak seorangpun dapat mengesampingkan norma-norma liturgi. Misa adalah pemberian, adalah rahmat, bukan pertunjukkan. Jadi, tidak ada ruang untuk kreatifitas dibuat-buat, tapi ketaatan mutlak kepada norma liturgi.

Paus Benediktus XVI, selain seorang teologian yang hebat, juga seorang liturgis yang baik. Dia memberi banyak sumbangan pemikiran terhadap liturgi, tanggapan Anda
GM: Bekerjasama dengan Bapa Suci akan menjadi rahmat bagi saya. Popularitas Paus memenuhi kepala setiap orang sebagaimana dia mewartakan kebenaran dan semangatnya. Sejauh mengenai liturgi, Saya sepenuhnya sejalan dengan pendapat Paus: Misa adalah kurban.

Menurut Anda, apakah liturgi telah sering dilanggar belakangan ini?
GM: Kamu tahu, Gereja itu besar. tapi sebagaimana Paus juga telah mengakui sendiri dalam suratnya yang menjelaskan Motu Proprio Summorum Pontificum, telah terjadi penyelewengan dan penafsiran keluar jalur dari liturgi. Yang bisa Saya katakan adalah Saya memastikan Saya tidak akan menjadi biang kerok dari penyimpangan apapun, dan Saya akan membatasi diri Saya untuk menerapkan secara sangat seksama aturan yang berlaku sekarang ini.

Dalam hal itu, apa pendapat Anda mengenai Motu Proprio yang memperluas penggunaan Misa Tridentine?
GM: Saya setuju 100% dengan Motu Proprio sebagai tindakan yang sesuai dengan akal sehat, keadilan, kebebasan, dan berpandangan luas.

Artikel ini diambil dari What Does The Prayer Really Say

Pertanyaan tentang keselamatan

Diambil dari Katekismus St. Pius X

24 Q. Untuk diselamatkan apakah cukup dengan menjadi anggota Gereja Katolik?

A. Tidak, untuk diselamatkan tidak cukup sekedar menjadi anggota Gereja Katolik; adalah perlu untuk menjadi anggotanya yang hidup.

25 Q. Siapakah anggota Gereja yang hidup?

A. Anggota Gereja yang hidup adalah mereka yang hidup benar, dan hanya mereka yang hidup benar inilah, yang sesungguhnya berada dalam rahmat Allah.

26 Q. Dan siapa anggotanya yang mati?

A. Anggota Gereja yang mati adalah orang beriman yang ada dalam dosa berat.

27 Q. Dapatkah seorang diselamatkan diluar Gereja Katolik, Apostolik dan Romawi?

A. Tidak, tidak ada seorangpun dapat diselamatkan diluar Gereja Katolik, Apostolik dan Romawi, seperti halnya tidak seorangpun diselamatkan diluar bahtera Nuh, yang merupakan lambang dari Gereja.

28 Q. Kalau begitu bagaimanakah para bapa bangsa, nabi, dan orang benar Perjanjian Lama lainnya diselamatkan?

A. Orang benar Perjanjian Lama diselamatkan berkat iman mereka akan Mesias yang akan datang, dengan cara ini secara rohani mereka termasuk kedalam Gereja.

29 Q. Bagaimana jika seorang bukan karena kesalahannya sendiri berada diluar Gereja, dapatkah ia diselamatkan?

A. Jika seseorang bukan karena kesalahannya sendiri, yaitu bahwa jika ia memiliki kehendak baik, dan jika ia telah menerima Baptisan atau setidaknya secara implisit ia memiliki keinginan untuk dibaptis; dan jika ia, dengan tulus hati mencari kebenaran dan melakukan kehendak Allah dengan sekuat tenaga maka orang itu walaupun ia terpisah dari tubuh Gereja, tapi ia bersatu dengan jiwa Gereja sehingga ia berada dalam jalan keselamatan.

30 Q. Jika seorang adalah anggota Gereja Katolik namun tidak menjalankan ajarannya, apakah ia akan diselamatkan?

A. Orang yang merupakan anggota Gereja Katolik dan tidak menjalankan ajarannya adalah anggota yang mati dan karenanya tidak dapat diselamatkan; untuk memperoleh keselamatan bagi orang dewasa (yang mampu menggunakan rasionya) yang diperlukan tidak hanya iman dan Baptis, tetapi lebih jauh lagi, adalah perbuatan yang sejalan dengan iman.

Naik ke gunung Tuhan

Kali ini kita akan membahas teks doa yang dalam misa Tridentine diucapkan imam dengan suara perlahan saat ia menaiki anak tangga Altar. Inilah teks doanya:

Aufer a nobis, quaesumus, Domine , iniquitates nostras: ut ad Sancta sanctorum puris mereamur mentibus nostris. Per Christum Dominum nostrum. Amen.

[Jauhkanlah dari kami, kami mohon kepadaMu, Tuhan, segala kejahatan kami: agar kami memasuki tempat kudusMu dengan hati yang murni. Demi Kristus Tuhan kami. Amin]

Ketika Musa bertemu dengan Tuhan pertama kalinya di gunung Horeb, Tuhan meminta Musa untuk melepas kasutnya karena ia akan masuk ke dalam tempat kudusNya dan begitu Musa sadar bahwa ia berhadapan dengan Dia yang disembah oleh para leluhurnya yaitu Abraham, Ishak, dan Yakub ia menutupi wajahnya karena takut memandang Allah (Kel 3:5-6). Allah adalah kudus (Im 19:2), Ia adalah terang dan di dalam Dia tidak ada kegelapan (1Yoh 1:5) dan tanpa kekudusan kita tidak dapat melihat Allah (Ibr 12:14). Cukup jelas bahwa saat hendak menghadap Allah kita memerlukan suatu keadaan yang bernama kekudusan.

Dalam misa yang sama juga, sebelum imam naik ke Altar, ia bersama para putera altar akan mendoakan mazmur 43 secara bergantian. Sekarang, kita akan mengarahkan perhatian kita ke ayat 3 dan 4 yang merupakan inti dari mazmur ini dan merupakan alasan utama mengapa ia didoakan di awal misa kudus:

“Suruhlah terangMu dan kesetiaanMu datang, supaya aku dituntun dan dibawa ke gunungMu yang kudus dan ke tempat kediamanMu! Maka aku dapat pergi ke mezbah Allah, menghadap Allah yang adalah sukacita dan kegembiraanku.”

Altar adalah gunung Tuhan, tempat Ia berdiam dan kurban kepadaNya dipersembahkan. Hal ini cukup jelas misalnya dalam nubuat Yesaya ini:

“Dan orang-orang asing akan menggabungkan diri kepada Tuhan untuk melayani Dia, untuk mengasihi nama Tuhan dan untuk menjadi hamba-hambaNya, semuanya yang memelihara hari sabat dan tidak menajiskannya, dan yang berpegang pada perjanjianKu, mereka akan Kubawa ke gunungKu yang kudus dan akan Kuberi kesukaan di rumah doaKu, Aku akan berkenan kepada kurban-kurban bakaran dan kurban-kurban sembelihan mereka yang dipersembahkan di atas mezbahKu, sebab rumahKu akan disebut rumah doa bagi segala bangsa.” (Yes 56: 6-7)

Rasa takut dan tidak pantas yang dialami oleh Musa, juga hendaknya dialami oleh para imam. Ketakutan ini adalah kesadaran bahwa diri tidak pantas untuk naik ke gunung Tuhan dan untuk mempersembahkan kurban kepada Allah, karena kenyataaan bahwa diri tidak selalu berpegang kepada perjanjianNya. Lebih jauh lagi, nubuat nabi Yesaya diatas secara khusus berbicara mengenai para imam perjanjian baru yang tidak berasal dari keturunan Harun dan adalah orang asing namun Ia bawa ke gunungNya dan Ia berkenan atas persembahan kurban mereka.

Doa ini digunakan untuk mengingatkan para imam akan ketidakpantasan mereka naik ke Altar dan mempersembahkan kurban, dan terutama untuk membuat mereka semakin maju dan bersemangat mengusahakan kekudusan diri mereka. Dan ketika imam mempersembahkan misa dengan pribadi yang kudus maka ia mendatangkan banyak rahmat bukan hanya bagi dirinya tapi juga bagi umat beriman yang ikut merayakan misa bersamanya. Dalam doa ini para imam meminta agar Allah menjauhkan mereka dari segala kejahatan agar mereka dapat masuk ke tempat kudus Allah, dengan cara yang serupa gagasan ini juga muncul dalam mazmur 24:

“Siapakah yang boleh naik ke atas gunung Tuhan? Siapakah yang boleh berdiri di tempatNya yang kudus? Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan dan yang tidak bersumpah palsu. Dialah yang akan menerima berkat dari Tuhan dan keadilan dari Allah yang menyelamatkan Dia.” (3-5)

Sejalan dengan banyak kutipan kitab suci diatas kita kembali lagi kepada kesimpulan bahwa kekudusan mutlak perlu bagi para imam yang akan mempersembahkan kurban di Altar. Mereka harus hidup dalam pertobatan yang terus-menerus, memperbaiki diri dan melatihnya agar semakin bertumbuh dalam keutamaan hidup Kristen. Dan jika mereka jatuh mereka harus secepatnya berdamai kembali dengan Allah melalui tobat pribadi dan jika mereka berdosa berat dengan secepatnya menerima sakramen Tobat. Menarik bahwa Missale Romanum sebelum 1970 masih menganjurkan agar sedapat mungkin imam menerima sakramen tobat (dari seorang imam lain tentunya) setiap kali ia hendak mempersembahkan misa! (aku tidak tahu apakah imam-imam zaman sekarang masih rajin menerima sakramen tobat, tapi rasanya menarik jika ini diteliti).

Walaupun secara khusus doa ini digunakan oleh para imam (jika mereka merayakan misa Tridentine persisnya) namun doa ini juga penting untuk kita karena kita pun ikut mempersembahkan kurban dan juga kita ikut ambil bagian dalam persembahan kurban Kristus yang dipersembahkan kepada Bapa dalam Roh Kudus melalui tangan mereka. Persembahan kita ialah tubuh kita yang kita persembahkan sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah (Rom 12:1), maka kita juga perlu untuk memotivasi diri dan sudah pasti selalu mengusahakan agar hidup kita menjadi lebih baik dan lebih benar.

Sekalipun doa ini tidak lagi digunakan dalam misa Paulus VI, namun bukan berarti gagasan yang terkandung didalamnya ditolak atau tidak digunakan lagi. Gagasan itu tetap hidup dan ada, walaupun tidak lagi diungkapkan dengan cara yang se-eksplisit atau se-intensif dalam misa Tridentine. Sekurangnya toh kita masih menemukan hal ini dalam Kitab Hukum Kanonik:

Kan 916. Seorang yang sadar telah berdosa berat jangan merayakan Misa ( ini berbicara tentang para imam) atau menerima Tubuh Tuhan (ini menyangkut umat) tanpa pengakuan sakramental kecuali jika ada alasan berat dan tidak ada kesempatan mengaku dosa, dalam hal ini orang tersebut hendaknya ingat bahwa ia berkewajiban membuat sesal sempurna yang termasuk didalamnya niat untuk mengaku dosa secepat mungkin.

Dan juga bagi para imam tentang perlunya mempersiapkan diri dengan layak sebelum masuk ke tempat kudus Allah, juga dikatakan:

Kan 909. Imam tidak boleh lalai mempersiapkan dirinya secara layak melalui doa untuk perayaan
kurban ekaristi dan untuk bersyukur kepada Allah sesudahnya.

Berlututlah didepan Tuhanmu!


Ini adalah gambar foto bagaimana umat menerima Komuni dalam Misa Tridentine. Kita menerima Komuni dengan berlutut dan langsung di lidah.

Imam akan memperlihatkan Hosti kepada kita dan sambil membuat tanda salib mengatakan:
Corpus Christi custodiat animam tuam ad vitam aeternam (Tubuh Kristus menjaga jiwamu untuk hidup kekal)
dan kita menjawab "Amen". Setelahnya Imam akan meletakkan Hosti di lidah kita.

Sementara itu seorang Putera Altar akan membawa Patena untuk menjaga agar jangan sampai ada pecahan Hosti yang jatuh ke lantai.

Sekarang ini menerima Komuni seperti itu tidak dilarang, tapi pasti akan terlihat cukup aneh sekalipun kita tidak berminat untuk menarik perhatian orang lain. Aku masih merasa bahwa menerima dengan berlutut lebih sopan dibandingkan dengan berdiri, dan begitu juga menerima langsung di lidah lebih pas daripada menerima di tangan.

Roma sendiri menganjurkan agar menerima di lidah dipertahankan, dan menerima di tangan sebisa mungkin dihindarkan. Praktek sekarang menerima di tangan hanya diizinkan untuk wilayah tertentu namun Imam (dan pembagi Komuni) berhak untuk memaksa penerima menerima langsung di lidah apabila terlihat tanda sikap tidak hormat dan adanya bahaya sakrilegi dan dengan sendirinya melarang penerimaan Komuni di tangan. Tapi tidak seorangpun entah siapapun dia boleh memaksa orang menerima Komuni di tangan, menerima Komuni langsung di lidah, entah berdiri atau berlutut adalah hak semua orang beriman dimanapun dan kapanpun!

Bagaimanapun yang terpenting ialah menerima Komuni dalam keadaan rahmat.

Rabu, 24 Oktober 2007

Mengenal Ibadat Harian

Kata “ibadat harian” merupakan terjemahan dari liturgia horarum yang merupakan nama resmi dari serangkaian doa yang dijalankan oleh Gereja sepanjang hari. Sebelumnya kegiatan ini disebut dengan nama ofisi ilahi atau kadang dipakai istilah brevir (kependekan dari breviarium romanum) yang merupakan judul dari buku yang berisi mazmur, kidung, himne, bacaan dan doa yang digunakan untuk ofisi ilahi pada masa pra vatikan II. Nama brevir sendiri berarti rangkuman dan buku itu disebut demikian karena sudah merangkum atau memuat semua teks yang sebelumnya tersebar pada berbagai buku (Alkitab, buku nyanyian, buku doa) sesuai dengan yang dibutuhkan untuk mendoakan ibadat harian sehingga saat memudahkan pendoa yang harus berpergian karena ia tidak perlu lagi membawa banyak buku yang berat dan mahal.

Doa ini dijalankan dalam jam-jam tertentu sepanjang hari, dan dengannya Gereja menguduskan segala kegiatannya sepanjang hari dan mempersembahkannya kepada Allah. Secara tradisional jam-jam itu ialah: Officium Lectionis atau sebelumnya Nocturno (dilakukan subuh menjelang pagi ataupun malam hari, namun sekarang ini dibebaskan untuk mendoakannya pada waktu kapanpun) Laudes (pagi hari, saat matahari terbit), Terce (jam 9 pagi), Sext (jam 12 siang, tengah hari), Nona ( jam 3 siang) [ketiga jam doa siang ini sekarang disebut dengan nama Ibadat siang atau Hora media], Vesper (sore hari, saat matahari terbenam), Completorium (menjelang tidur). Sedapat mungkin hendaknya agar ibadat-ibadat ini didoakan dalam waktu tradisionalnya, namun penyesuaian dengan jadwal kegiatan sehari-hari tetaplah dimungkinkan.

Pada komunitas-komunitas biara yang menjalani hidup kontemplatif diharapkan agar pola tradisional ini tetap dijalankan, sementara bagi mereka yang diluar itu diperbolehkan untuk mengurangi jumlah jam sesuai dengan keadaan masing-masing dengan batas minimal ialah Laudes dan Vesper, yang merupakan dua ibadat utama tetap didoakan. Meskipun yang terikat kewajiban untuk mendoakan ibadat harian ini hanyalah para imam, diakon transisional (yang nantinya akan ditahbiskan imam), serta para biarawan/wati yang sudah berkaul kekal, namun sangat dianjurkan agar mereka yang tidak terikat kewajiban ini (ditempat pertama adalah para calon imam dan biarawan/wati dan selanjutnya semua umat beriman) juga entah bersama para imam atau dalam komunitas biara atau antar mereka sendiri atau sendirian saja dapat ambilbagian dalam ibadat ini. Sangat diharapkan agar dalam retret, rekoleksi, ataupun pembinaan rohani yang dijalani para awam ibadat harian diperkenalkan dan didoakan (dinyanyikan) bersama-sama terutama pada Laudes, Vesper dan Completorium. Juga dalam paroki-paroki hendaknya para imam berusaha agar umat beriman dapat ambilbagian dalam ibadat harian terutama Vesper di hari minggu dan hari-hari raya.

Gereja mewarisi kebiasaan ini dari umat Allah perjanjian lama (cf. Mzm 119:164; Dan 3: 11) dan mengembangkannya sendiri dalam tradisinya. Karena alasan itu, maka mazmur-mazmur tetap merupakan unsur utama dari ibadat ini, penambahan antifon (refrein) dan kebiasaan menutup mazmur dengan “kemuliaan kepada Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus” memberikan makna kristen yang baru kepada tiap mazmur dan kidung dari perjanjian lama.

Harus diakui bahwa mengikuti ibadat ini dalam bentuk resminya tidak begitu mudah, selain bukunya agak mahal (sekitar Rp. 75.000) juga menggunakannya pun butuh sedikit latihan sebelum terbiasa. Bagi yang ingin menggunakan buku itu sangat perlu untuk membaca baik-baik petunjuk-petunjuk di halaman depannya dan juga membaca Pedoman Umum Ibadat Harian yang merupakan pedoman resmi dari Roma untuk pelaksanaan ibadat harian. Sementara untuk struktur yang disederhanakan kita bisa melihatnya di Puji Syukur no. 29 untuk ibadat pagi (hal. 25), no. 51 untuk ibadat sore (hal 51), serta no. 69 untuk ibadat penutup (hal. 73). Untuk ibadat pagi dan ibadat sore dipilih 3 mazmur setiap kali berdoa, sementara untuk ibadat penutup cukup satu mazmur saja (dan dapat menggunakan pilihan mazmur secara lebih bebas). Madah dapat diganti dengan lagu lain atau ditiadakan, sementara bacaan dapat diganti atau diperpanjang dengan perikop pilihan sendiri, biasanya bacaan untuk pagi hari digunakan dari perjanjian lama sementara untuk sore digunakan bacaan dari perjanjian baru, juga doa permohonan dan penutup dapat diganti dengan doa spontan. Kita juga bisa mendoakan ibadat harian dalam bahasa inggris secara on-line dengan membuka website http://www.universalis.com

Walaupun, mungkin, kita tidak dapat mengikuti ibadat harian dalam bentuk resmi atau yang disederhanakan ini, tetapi hendaknya kita selalu berusaha untuk menyediakan waktu doa secara teratur dalam satu hari. Selain doa resmi ini, kita juga masih mengenal devosi populer Angelus dan Regina Caeli. Harapannya ialah dengan berdoa secara teratur dalam satu hari, kita benar-benar menguduskan aktifitas kita sehari-hari dan mempersembahkannya kepada Allah dan dengan cara itu kita ambilbagian dalam perutusan Gereja menguduskan dunia dan mempersembahkannya kepada Allah.

Daftar baca pribadiku

Aku termasuk orang yang senang membaca, dan termasuk tipe orang yang membaca buku apa saja. Dibawah ini adalah daftar buku-buku yang sedang aku baca setidaknya dalam satu bulan terakhir ini:

1. Prajurit dan Negara: Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil oleh Samuel P. Huntington

Buku ini berisi tentang berbagai pandangan mengenai hubungan militer-sipil dengan mengambil contoh dari yang terjadi di Eropa, Amerika dan Jepang. Penekanan yang sangat besar diberikan pada hubungan militer-sipil di Amerika sejak revolusi kemerdekaan sampai era modern, sementara hubungan militer-sipil di Jerman sejak menjelang perang dunia I sampai akhir perang dunia II dan Jepang setelah restorasi Meiji sampai akhir perang dunia II mendapat penjelasan yang lumayan tapi tidak terlalu mendalam, sementara di negara-negara eropa lainnya hanya disinggung sepintas saja.

2. Kumpulan Kisah Klasik Dinasti Ming dikompilasi oleh Feng Menglong (1574-1646): Berkumpulnya Kembali Naga dan Harimau (kisah 1-10) dan Zhang Sunnmei Bertemu Gadis Cantik di Festival Lentera (kisah 21-40)

Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek yang sudah hidup dan sepertinya cukup populer di Cina pada masa akhir pemerintahan Ming. Kumpulan cerita ini diedit oleh Feng Menglong seorang ahli sastra yang bisa dikatakan terbaik di Cina pada masanya. Cara bertutur yang jauh berbeda dengan pengarang modern membuat cerita-cerita ini kadang terasa membosankan dan berputar-putar karena diselingi oleh banyak komentar dan puisi yang diselipkan diantara cerita. Yang mengejutkan ialah gaya hidup Feng Menglong yang bebas (pada zamannya gaya hidup Feng menimbulkan kontroversi antara dirinya dengan para moralis Konfusian) tampaknya cukup mempengaruhi gaya penulisannya. Dalam beberapa cerita hubungan seks diantara para tokoh digambarkan dengan cara yang cukup detail, terbuka tapi tidak murahan. Kadang-kadang dalam beberapa cerita Feng seolah mengidentikkan dirinya dengan kepribadian sejumlah tokoh, terutama yang memiliki ciri-ciri: pecinta ulung (atau playboy), cerdas, berkemauan kuat, menjunjung tinggi persahabatan lebih daripada keluarga (cukup aneh pada masyarakat Cina tradisional yang sangat terikat pada keluarganya), dan memiliki tanggungjawab sosial yang tinggi.

3. China Undercover: Rahasia Di Balik Kemajuan Cina oleh Chen Guidi dan Wu Chuntao

Belum dibaca bahkan sampai setengahnya sekalipun, tapi garisbesarnya ingin menunjukkan bahwa kemajuan yang dicapai oleh pemerintahan RRC dalam beberapa tahun terakhir ini hanya semu saja, dan kenyataannya ialah mayoritas rakyat Cina hidup dalam kemiskinan dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah. Di Cina buku ini dilarang beredar dan pemerintah menyatakan bahwa isinya adalah kebohongan, penulisnya telah diadili dan sampai maret 2006 (saat mereka menulis kata pengantar buku ini) masih menantikan keputusan pengadilan.

4. Orang Indonesia dan Orang Prancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX oleh Bernard Dorleans

Hasil penelitian dari berbagai teks-teks Perancis mengenai Indonesia, beberapa diantaranya adalah arsip pemerintah, catatan perjalanan wartawan, laporan ekspedisi ilmiah, atau kesan pelancong yang berkunjung ke Nusantara. Beberapa diantaranya sangat menarik bahkan lucu.

5. Latihan Pelayan Sel Komunitas: Komunitas Tritunggal Mahakudus

Sebenarnya yang ini baru dilihat-lihat saja dan belum benar-benar dibaca. Nantilah kalau iseng baru dibaca ^_^ .

6. Keluar Dari Benteng Pertahanan oleh Olaf Schumann

Penulisnya adalah seorang pendeta Lutheran yang mendalami hubungan antar agama. Pengalamannya mempelajari Islam di Majma al-Buhuth al-Islamiyya al-Azhar menjadikan ia memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Islam dan membuatnya terbiasa dengan suatu cara pandang non-Kristen. Dalam buku ia hanya mencoba menampilkan bagaimana agama-agama memandang hal-hal tertentu seperti maut dan kebangkitan. Selain buku ini ia juga pernah menulis buku berjudul Pemikiran Keagamaan Dalam Tantangan yang membahas hubungan Yahudi, Kristen, dan Islam. Informasi yang dia sampaikan sangat bagus dan aku pikir merupakan buku yang layak dibaca. Pandangan Schumann terhadap agama-agama non-Kristen umumnya sangat positif meskipun ia mengakui bahwa ada hal-hal yang tidak bisa direkonsiliasikan menyangkut ajaran, bisa dikatakan ia seorang pendukung pluralisme walaupun teologi kristen nya cenderung terlalu terbuka dan malahan sepertinya ia menganut relativisme, tapi rasanya berbicara ortodoksi disini bukan pada tempatnya karena Schumann toh memang bukan Katolik dan ini adalah buku teologi dan bukan buku rohani. Namun, bukunya sangat bagus dan bisa dianggap sangat baik untuk buku teologi berbahasa indonesia

Senin, 22 Oktober 2007

Penjelasan Liturgi Misa (bag. 2 Liturgi Sabda)

Bacaan-Bacaan

Sejak 1969 ditetapkan bahwa dalam Misa Hari Minggu digunakan struktur Bacaan Pertama-Mazmur Tanggapan- Bacaan Kedua-Bacaan Injil. Bacaan dibagi kedalam siklus 3 tahun menurut bacaan Injil yang mendominasi tahun tersebut (A-Matius, B-Markus, C-Lukas, sementara Yohanes disebar dalam tiga tahun tersebut). Sementara, untuk Hari Raya walaupun berstruktur sama namun hanya ada satu rangkaian bacaan yang digunakan setiap tahunnya.

Biasanya Bacaan Pertama diambil dari Perjanjian Lama, kecuali pada masa Paskah dimana seluruhnya diambil dari Kisah Para Rasul. Sementara Bacaan Kedua selalu diambil dari Perjanjian Baru non-Injil. Bacaan Pertama umumnya selalu memiliki kaitan tematis yang langsung dengan Bacaan Injil sementara Bacaan Kedua umumnya bersifat kontinuitas (penerusan) dan tidak selalu memiliki kaitan tematis yang langsung baik dengan Bacaan Pertama maupun Injil (kecuali pada Hari Raya dan Masa liturgis khusus dimana pengaturannya umumnya lebih tematis).

Untuk Pesta, Peringatan (Memoria obligatoria dan facultativa) dan Hari Biasa tanpa pesta (Feria) digunakan struktur Bacaan Pertama-Mazmur Tanggapan-Bacaan Injil. Perbedaannya ialah jika dalam Pesta ditunjuk bacaan-bacaan khusus sementara untuk Peringatan dan Feria bacaan mengikuti siklus dua tahunan yang terdiri dari tahun I dan II. Dalam siklus dua tahunan ini bacaan Injilnya sama dan yang berbeda ialah bacaan pertama dan pilihan mazmurnya.

Harap diperhatikan bahwa Mazmur merupakan bagian integral dari Liturgi Sabda dan karenanya tidak bisa digantikan dengan “lagu antarbacaan” (PUMR 61). Sementara Alleluia yang mengiringi perarakan kecil dari Altar ke Ambo (mimbar) dapat ditiadakan jika tidak dinyanyikan, selama masa Prapaskah Alleluia juga tidak dinyanyikan dan hanya ayatnya saja yang dinyanyikan.

Dalam beberapa Hari Raya khusus sebelum bacaan Injil dinyanyikan Sequentia. Untuk sekarang ini Sequentia hanya wajib pada Hari Raya Paskah (Victimae Paschali Laudes) dan Pentakosta (Veni, Sancte Spiritu) sementara Sequentia menjadi fakultatif pada Hari Raya Tubuh Kristus (Lauda Sion Salvatorem), Peringatan Dukacita Bunda Maria (Stabat Mater Dolorosa) dan Misa Requiem serta Peringatan Arwah Orang Beriman (Dies Irae).

Bacaan dimulai dengan menyebutkan dari Kitab atau surat apa bacaan diambil (Lectio secundum….) tanpa menyebut bab dan ayat-ayatnya dan diakhiri dengan “Verbum Domini” yang dijawab “Deo gratias” kecuali Injil yang dijawab “Laus tibi Christe)

Sikap khusus saat Pembacaan Injil

Jika dalam semua bacaan umat mendengarkan dengan duduk, maka saat Injil dibacakan umat berdiri. Sebelum membaca Injil pembaca (Imam) mengucap doa persiapan “Munda cor (sucikanlah hati..)” dengan berbisik atau mohon berkat dari Imam (jika pembaca adalah Diakon).

Sebelum membaca, pembaca memberi salam kepada umat dan sambil mengumumkan dari kitab mana bacaan diambil ia menandai buku bacaan dengan tanda salib dan bersama umat menandai dirinya dengan tiga tanda salib kecil di dahi, bibir, dan dada. Dalam perayaan meriah buku bacaan didupai terlebih dahulu dan Injil (bersama semua bacaan lain) dinyanyikan.

Setelah bacaan Imam mencium Injil sambil diam-diam mengucap doa “Per evangelica dicta, deleantur nostra delicta (semoga karena pewartaan Injil ini pelanggaran kita dihapuskan).” Pemberkatan umat dengan menggunakan buku Injil (evangeliarium) dianjurkan untuk dilakukan pada Misa Agung terutama pada Misa yang dipimpin oleh Uskup (Misa Agung Pontifikal).

Homili

Diwajibkan pada Misa Hari Minggu dan Hari Raya serta pada Misa-misa lain dengan banyak umat berdatangan. Yang diizinkan untuk membawakan homili hanya Imam tertahbis dan dalam situasi khusus Diakon tertahbis. Awam (biarawan/wati, frater, mahasiswa teologi, dll) tidak diizinkan untuk membawakan homili.

Credo

Hanya diwajibkan pada Hari Minggu, Hari Raya dan Pesta. Dianjurkan agar digunakan Credo Nicaea dan dinyanyikan. Pada saat pengakuan akan misteri inkarnasi diucapkan atau dinyanyikan semua membungkuk kecuali pada Misa Vigili Natal dan Hari Raya Kabar Sukacita semua berlutut.

Doa umat

Hanya diadakan pada Hari Minggu dan Hari Raya, walaupun boleh diperluas pada Misa-misa dengan tingkat kemeriahan yang lebih rendah jika dikehendaki demikian. Urut-urutan permohonannya selalu adalah: bagi Gereja, bagi pemerintahan negara dan kesejahteraan seluruh dunia, bagi mereka yang ditimpa berbagai kesulitan hidup, dan bagi komunitas lokal. Namun kebebasan menyusun intensi doa dan isinya diberikan kebebasan yang relatif besar.

Pada zaman Gereja Perdana para katekumen, simpatisan dan pendosa berat yang tidak dapat menyambut Komuni dipersilahkan meninggalkan Gereja sesudah bagian ini selesai. Walaupun sekarang ini tidak ada aturan yang mengharuskan atau menganjurkan untuk memelihara kebiasaan kuno ini namun juga tidak ada larangan untuk meneruskannya.

Sesuai dengan keadaan setempat tidak ada salahnya jika kebiasaan ini diteruskan, terutama pada Misa-misa dimana ada kemungkinan cukup banyak orang tak beriman yang hadir seperti dalam Misa-misa penyembuhan atau Misa-misa besar lainnya. Jika ini dilakukan maka sebaiknya teks doa penutup dari doa umat sebaiknya menyebut mereka secara khusus dan juga dimohonkan berkat bagi mereka.

Penjelasan Liturgi Misa (bag. 1 Ritus Pembuka)

Antifon Pembukaan dan Perarakan Masuk

Dalam buku Missale Romanum ditentukan sebuah ayat dari Kitab Suci, atau kadang kutipan dari Bapa Gereja yang harus dinyanyikan untuk mengiringi jalannya perarakan. Jika perarakan berlangsung dengan cara meriah dan agak panjang maka ayat itu digunakan sebagai “refrein” bagi suatu mazmur yang dapat ditemukan dalam buku Graduale Romanum atau dipilih sendiri. Sebuah lagu dari buku nyanyian yang diakui oleh Konferensi Uskup dapat menggantikan fungsi antifon ini.

Ritus ini berfungsi terutama untuk mengiringi jalannya perarakan dari sakristi ke Altar, tetapi, juga dapat berguna untuk mempersatukan umat yang hadir dan menyiapkan hati untuk menghadap Allah. Karena itu, ritus ini selalu dapat dihapus jika perarakan berlangsung singkat dan sederhana. Dalam kesempatan khusus (Minggu Prapaskah I dan Hari-hari Tobat) dapat dinyanyikan Litani Para Kudus untuk mengiringi jalannya perarakan.

Tanda Salib dan Salam

Ibadat Israel selalu diawali dengan menyebut nama Allah (Shema Israeli; Ul 6:4), karena alasan inilah ibadat Kristen juga diawali dengan menyebut nama Allah “Bapa dan Putera dan Roh Kudus”. Sementara gerakan tangan menandai diri dengan tanda “T” yang diawali pada dahi menunjuk pada Yehezkiel 9: 4 dan Wahyu 7:3;9:4. Orang Kristen mengartikan tanda T adalah pralambang dari Salib Kristus dan memodifikasi bentuk T menjadi bentuk salib (sekalipun simbol salib “T” masih dipakai sejumlah komunitas tertentu seperti para Fransiskan).

Setelah Tanda Salib menyusul salam. Dalam Gereja Perdana tampaknya ada kebiasaan untuk meninggalkan salam khas Yahudi “Shalom Aleichem” dan seperti nampak dalam surat-surat Rasuli menggantinya dengan bentuk salam baru yang lebih panjang dan lebih khas Kristen walaupun maknanya sejalan, seperti “Kasih karunia menyertai kamu dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus (Rom 1:7; dan dengan sedikit variasi pada tiap awal surat-surat). Bagaimanapun juga generasi Kristen sesudahnya tampaknya lebih menyukai bentuk salam yang lebih singkat dan lebih mirip dengan bentuk salam Yahudi yaitu “Dominus vobiscum (Rut 2:4)” (Tuhan bersamamu) dan untuk Uskup “Pax vobis (Yoh 20: 19, 21)” (Damai bersamamu), disamping kemudian sejak 1969 kembali dipergunakan bentuk salam panjang gaya surat-surat Rasuli, seperti umum dipakai dalam Misa sekarang. Semua jawaban untuk salam ini adalah “et cum spiritu tuo” (dan bersama rohmu) yang diambil dari Gal 6:18.

Pengantar Singkat

Bagian ini samasekali tidak pernah dikenal dalam liturgi Kristen sepanjang zaman, dan baru diperkenalkan oleh Paus Paulus VI tahun 1969. Bagian ini boleh ditiadakan atau dalam Misa-misa yang tidak dinyanyikan antifon pembukaan dapat dibacakan disini.

Confiteor (Pernyataan Tobat)

Bagian ini baru muncul setidaknya sekitar abad ke 5, mulanya digunakan sebagai bagian dari persiapan pribadi Imam dan para pelayan sebelum Misa mulai, namun kemudian dimasukkan sebagai bagian tetap dari Misa sebagai salah satu doa persiapan di kaki Altar (bersama Mazmur 43 dan beberapa doa lain yang sekarang sudah “dipensiunkan”). Pada abad pertengahan seruan ini bertambah panjang dengan dimasukkannya sejumlah nama-nama orang kudus yang dimintai bantuan doa. Missale Romanum 1969 kemudian mempersingkat kembali seruan ini mendekati bentuk aslinya.

Dalam Missale Romanum seruan “Confiteor” boleh diganti dengan beberapa pilihan seperti: 1) litani pujian kepada Kristus yang dijawab seruan “Kyrie eleison, Christe eleison, Kyrie eleison”, 2) mengucapkan atau menyanyikan sejumlah mazmur tobat, 3) pemercikan air suci diiringi madah “asperges me” atau “vidi aquam” dalam masa paskah. Bentuk alternatif ke 3 merupakan tradisi yang tertua dari semua pilihan yang tersedia, sekitar abad pertengahan tradisi ini memudar dan muncul kebiasaan untuk mengambil sendiri air suci dan kemudian menandai diri sendiri dengannya saat masuk gedung gereja. Walaupun secara khusus kebiasaan pemercikan air suci sebelum Misa dimulai tetap dipertahankan dalam Misa Agung.

Sesudah bagian ini selesai Imam menucapkan pernyataan pengampunan yang singkat dan sederhana.

Kyrie eleison

Walaupun artinya adalah “Tuhan kasihani” namun mulanya seruan ini tidak digunakan sebagai seruan pertobatan tetapi digunakan sebagai tanggapan atas permohonan-permohonan (atau sebagai jawaban dalam doa umat) an sebenarnya lebih bernada pujian “Tuhan engkau penuh belaskasih” daripada seruan pertobatan. Dalam Liturgi abad keempat (dan di Gereja-gereja Timur sampai hari ini) doa umat (atau litani permohonan) diucapkan atau dinyanyikan di awal Misa dengan tiap permohonan dijawab “Kyrie eleison, Kyrie eleison, Kyrie eleison”, sementara di Roma muncul “Christe eleison” diselipkan diantara “Kyrie eleison” yang masih kita gunakan sampai sekarang. Di Roma rupanya muncul kebiasaan yaitu pada hari-hari biasa atau Misa dengan sedikit umat doa-doa permohonan itu dihilangkan dan hanya jawabannya saja yang diucapkan. Kebiasaan ini masih dipertahankan sampai sekarang, bahkan ketika doa umat dipindah ke sesudah Credo jawaban versi kuno nya tetap ditinggal di awal Misa, dan muncul penggunaan versi baru seperti dalam alternatif 2 Pernyataan Tobat diatas. Jika alternatif 2 dari pernyataan tobat dipakai maka bagian ini dihilangkan.

Gloria in excelsis Deo

Madah ini berasal mungkin dari sekitar abad ke 3, dan digunakan dalam Ibadat Pagi menurut Ritus Byzantine. Kemudian pengunaannya menyebar sampai akhirnya digunakan dalam semua Misa berkarakter pesta meriah. Dalam ritus Latin sekarang ini Gloria wajib dinyanyikan atau diucapkan dalam Misa yang diadakan pada Hari Minggu (kecuali selama Prapaskah dan Adven) serta Hari Raya (Solemnitas) dan Pesta (Festum). Pedoman Umum Misale Romawi no. 53 melarang teks madah ini diganti dengan teks-teks lain.

Collecta (Doa Pembukaan)

Di sebut Collecta (mengumpulkan) karena kebiasaan dimana sesudah Imam mengucapkan “Marilah berdoa” diadakan saat hening sejenak dimana setiap umat berdoa dalam hati untuk ujudnya masing-masing dan Imam dengan berbisik (atau dalam hati) mengucapkan intensi-intensi Misa yang diajukan pada hari itu. Biasanya teks dari Collecta ini mengungkapkan secara ringkas tema dari Misa pada hari yang bersangkutan. Collecta memiliki cirikhas bahwa ia wajib ditutup dengan konklusi panjang dimana ketiga pribadi Trinitas disebut satu per satu “Per Dominum nostrum Iesum Christum Filium tuum: Qui tecum vivit et regnat in unitate Spiritu Sancti, Deus, per omnia saecula saeculorum” (Demi Yesus Kristus, PuteraMu, Tuhan kami, yang bersama Dikau hidup dan berkuasa dalam persatuan Roh Kudus, Allah, sepanjang segala masa) dan variannya sesuai terdapat dalam Pedoman Umum Misale Romawi.

Collecta harus dibaca sesuai dengan yang ditunjuk dalam Misa yang bersangkutan kecuali dalam hari-hari biasa tanpa pesta dapat digunakan pilihan sesuai yang diatur dalam buku-buku liturgis.

God Is Near Us: The Eucharist The Heart of Life by Joseph Cardinal Ratzinger

Awalnya tulisan ini dibuat untuk R.P. Crispinus Budiman, O.S.C, katanya siapa tahu bisa buat untuk inspirasi homili untuk misa-adorasi tanggal 11 oktober yang lampau. Walaupun akhirnya tidak jadi digunakan karena yang bersangkutan sedang libur, aku memutuskan untuk mempublikasikannya disini.

Dalam buku kecil yang terdiri dari beberapa artikel dan homili yang disusun kembali dalam kesatuan yang baru ini, orang bisa melihat bagaimana garis besar pemikiran Ratzinger mengenai sakramen ekaristi. Dan dalam tulisan ini, saya akan mengungkapkan beberapa hal, yang menurut saya, merupakan gagasan yang menarik dari buku tersebut. Urutan gagasan yang disampaikan disini tidak sepenuhnya sama dengan yang ada dibuku tersebut, saya menyusunnya kembali sesuai jalan pikiran saya.

Ratzinger memandang seluruh hidup Yesus adalah pemberian diri Allah kepada manusia, dan pemberian ini berpuncak pada pengurbanan diri Yesus yang melalui wafatNya di Salib dan kebangkitanNya menyelamatkan seluruh manusia. Peristiwa wafat dan kebangkitan, misteri paskah, dengan begitu merupakan asalmula (origin) dari seluruh tindakan sakramen, khususnya sakramen ekaristi yang merupakan puncak dari semua sakramen-sakramen Gereja.

Dalam bukunya Ratzinger berkali-kali menegaskan sifat kurban dari ekaristi. Betul, bahwa ekaristi juga serentak merupakan suatu perjamuan, tapi ini tidak dapat dipisahkan dari sifat kurbannya (KGK 1382), dan berangkat dari titik ini Ratzinger membela seluruh proses perkembangan liturgi dari zaman gereja perdana sampai pembaruan liturgi tahun 1970. Ia menentang dua gagasan radikal yaitu mereka: pertama, yang ingin menghapus semua bagian misa yang muncul dari zaman post-apostolik atas dasar bahwa Yesus hanya menginginkan sekedar perjamuan sederhana untuk memperingati wafatNya, dan, kedua, ia menentang mereka yang menolak pembaruan liturgi tahun 1970 karena menganggap misa Paulus VI sudah menghapus hampir semua bahasa kurban dari liturgi misa. Ratzinger menegaskan bahwa kurban dalam misa terjadi dalam Doa Syukur Agung, sehingga penghapusan offertorium beserta sebagian besar doa-doanya yang diganti dengan preparatio donorum beserta doa-doa baru yang berasal dari tradisi perjamuan paskah yahudi tidak berpengaruh terhadap sifat kurban misa, beliau juga menambahkan bahwa ada doa dalam offertorium dimana roti yang belum dikonsekrasi sudah disebut hostiam (kurban) berpotensi menimbulkan sedikit salah paham. Ratzinger juga mengingatkan kita bahwa perjamuan malam terakhir, dimana Yesus menetapkan perjamuan kurban tubuh dan darahNya sebagai antisipasi atas sengsaraNya, adalah perjamuan paskah. Ia menjelaskan bagaimana Yesus menggunakan Haggadah, dan mengemukakan pendapatnya bahwa Kanon Romawi merupakan perkembangan langsung darinya, dan kemudian ia menjelaskan beberapa hal yang menarik dari isi Kanon.

Ratzinger juga berbicara mengenai sifat perjamuan dari ekaristi. Ini adalah suatu perjamuan keluarga, perjamuan yang diadakan Yesus hanya dengan orang-orang terdekatNya, yaitu Para Rasul, meskipun Ia juga menghendaki agar semua orang berpartisipasi didalamNya. Anak-anak hilang, yang berdosa berat, tidak dapat ambilbagian dalam perjamuan keluarga ini, kecuali jika mereka pulang ke rumah dan kembali menjadi bagian dalam keluarga. Dan ini juga mengapa hidangan perjamuan ini dikhususkan hanya bagi anggota keluarga dan tidak bagi semua orang, walaupun siapa saja dapat bergabung menjadi anggota keluarga Allah. Dalam spesies sakramen tubuh dan darah Kristus benar-benar hadir, makanan ini mengubah kita menjadi seperti Dia, mempersatukan kita tidak hanya dengan Dia tapi juga dengan semua orang lain yang menyambut komuni yang satu dan sama. Ekaristi membangun Gereja dan menguatkan kesatuannya. Karena itu kita tidak dapat merayakan ekaristi diluar Gereja, dan inilah alasan mengapa dalam setiap doa syukur agung kita menyatakan dihadapan Tuhan persatuan kita dengan Paus dan Uskup dioses kita. Ratzinger juga menekankan bahwa penerimaan Kristus secara sakramental tidak terpisahkan dengan penerimaan secara pribadi, hal ini sudah menjadi bagian dari liturgi yang mengubah doa-doa liturgi yang bersifat komunal menjadi doa pribadi pada saat menjelang komuni. Menerima Kristus juga berarti ambilbagian dalam kurbanNya, dimana kita didalam Dia mempersembahkan diri kita sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Bapa (Rom 12:1) dan mewajibkan kita untuk melatih tubuh kita dan menguasainya (1 Kor 9: 27) agar kita hidup seperti Yesus hidup (1 Yoh 2:6).

Kehadiran Kristus secara nyata dalam rupa sakramen, juga menjadi tanda kediaman Allah dibumi, tanda yang nyata bahwa Allah hadir di dekat kita. Seperti halnya umat perjanjian lama memiliki tabernakel (tabut perjanjian) dimana didalamnya terdapat loh-loh batu berisi sepuluh firman, maka umat perjanjian baru juga mengembangkan tabernakelnya sendiri dimana didalamnya terdapat Firman yang menjelma menjadi manusia dan hadir dalam rupa roti. Tempat ini menjadi shekinah di dunia kita, menjadi tempat sunyi dimana manusia dapat menarik diri sejenak dari kesibukannya dan memandang wajah Allah (Why 22:4). Semua kesalehan disekitar tabernakel, atau pada periode yang lebih awal ciborium, ini kemudian berkembang menjadi adorasi ekaristi, sebuah sekolah cintakasih yang menguatkan komuni kita dengan Dia yang kita sambut dalam misa, dan tempat untuk mengarahkan diri kita selalu kepadaNya, agar di dalam segala hal yang kita kerjakan hati kita terarah kepada Dia yang merupakan tujuan akhir dan kebahagiaan sempurna kita.