Sabtu, 08 Januari 2011

Misa Pembaptisan Tuhan

Antifon Pembukaan (Mat 3:16-17)
Setelah Yesus dibaptis, terbukalah langit, dan Roh Kudus seperti burung merpati turun pada-Nya, serta terdengarlah suara Bapa, “Inilah Putera-Ku terkasih, pada-Nya Aku amat berkenan.”

Doa Pembukaan
Allah yang mahakuasa dan kekal, Engkau telah memaklumkan Yesus Kristus sebagai Putera-Mu, ketika sesudah pembaptisan-Nya di Sungai Yordan. Ia keluar dari air, dengan disaksikan oleh Roh Kudus yang turun pada-Nya seperti burung merpati. Kami pun telah Kau angkat menjadi putera dan puteri-Mu, ketika kami dilahirkan kembali dari air dan Roh Kudus. Kami mohon, semoga kami tetap setia dan hidup pantas sebagai putera dan puteri-Mu. Demi Yesus Kristus, Putera-Mu, Tuhan kami, yang hidup dan berkuasa bersama Dikau, dalam persatuan Roh Kudus, Allah, sepanjang segala masa.

Bacaan Kitab Suci
Yesaya 42: 1-4, 6-7; Mazmur 29: 1-4,9-10; Kisah Para Rasul 10: 34-38; Mat 3:13-17
(Anda dapat membaca renungan saya tentang Bacaan Kitab Suci dan pesta hari ini di sini [klik])

Doa Persiapan Persembahan
Ya Allah, terimalah kiranya persembahan yang kami unjukkan pada hari Engkau memaklumkan Putera-Mu. Semoga persembahan umat-Mu ini disatukan dengan kurban-Nya, sebab dalam belas kasih-Nya Ia mau membersihkan dunia dari dosa-dosa. Dia yang hidup dan berkuasa sepanjang masa

Antifon Komuni (Yoh 1: 32,34)
Yohanes berkata, “Aku telah melihat dan memberi kesaksian: Dia inilah Putera Allah.”

Doa Sesudah Komuni
Ya Allah, Engkau telah menyegarkan kami berkat anugerah-Mu yang suci. Kami mohon, semoga kami dengan setia mendengarkan Putera-Mu yang tunggal, supaya kami bukan saja dinamakan, tetapi benar-benar menjadi putera dan puteri-Mu. Demi Kristus Tuhan kami.

Baptis dan Pertobatan (Renungan Pesta Pembaptisan Tuhan)

Hari ini kita mendengarkan bacaan Injil tentang pembaptisan Yesus. Walaupun Pembaptisan Yesus tidak sama artinya dengan pembaptisan kita, namun kita juga punya pengalaman dibaptis. Ketika saya dibaptis, saya tidak mengerti apa makna baptisan saya, dan hal ini wajar karena saya dibaptis ketika masih anak-anak. Ketika itu, saya bahkan sempat membuat seluruh gereja tertawa karena saya menyeka rambut saya agar air yang masih tersisa segera turun. Saya membutuhkan waktu sangat lama untuk kemudian menyadari makna baptisan saya dan kemudian mulai berusaha menghayatinya. Dan sampai hari ini pun saya seringkali gagal menghayati makna baptisan saya.

Ketika Yesus dibaptis, terdengarlah suara Bapa “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Saya kira hal yang sama juga terjadi pada saat kita dibaptis, yaitu Allah mengatakan kepada kita “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Pada zaman Yesus hidup, Yohanes Pembaptis membaptis orang-orang sebagai tanda pertobatan, dan Yesus, sang Anak Allah, yang tidak membutuhkan pertobatan ini bersedia dibaptis semata-mata untuk menunjukkan kepada kita bahwa pertobatan adalah jalan hidup yang dikehendaki Allah agar kita menjadi anak-anak-Nya.

Kita seringkali memaknai pertobatan sebagai penyesalan atas dosa-dosa dan niat untuk tidak mengulanginya lagi. Tetapi ini hanya sebagian saja dari pertobatan. Sekedar menyesal dan tidak berniat mengulanginya tidaklah cukup. Lihatlah Yudas Iskariot, ia pun menyesal sungguh-sungguh atas tindakannya dan ia pun tidak ingin mengulanginya lagi. Tetapi dia mati gantung diri dan tertolak selamanya. Apakah yang kurang pada diri Yudas? Hanya satu hal yang kurang, yaitu ia tidak mau kembali kepada Allah. Maka, pertobatan adalah kembali kepada Allah. Percuma saja jika kita meninggalkan yang jahat namun tidak kembali kepada Allah. Jika kita menyesali dosa kita sungguh-sungguh dan berniat tidak mengulanginya lagi, namun enggan kembali kepada Allah maka kita akan menjadi Yudas Iskariot yang baru. Maka dalam baptisan Yesus terdengarlah suara “Inilah Anak-Ku”, Allah memanggil kita untuk memiliki hubungan yang intim dengan-Nya, yang dalam Injil digambarkan sebagai hubungan ayah dan anak.

Maka pada pesta pembaptisan Tuhan ini, kita diajak untuk memperbarui hubungan kita dengan Allah, untuk mempererat hubungan kita dengan-Nya supaya kita dapat hidup seperti Yesus hidup. Yesus ini sendiri mengatakan bahwa makanan-Ku adalah melakukan kehendak Bapa (Yoh 4:34). Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang Yesus perbuat, Ia lakukan dalam persatuan dengan Bapa-Nya. Inilah tujuan akhir dari pembaptisan kita, supaya kita hidup dalam persatuan dengan Allah dan apapun yang kita lakukan, kita lakukan untuk Dia (Kol 3:17). Semoga kita juga menjadi anak-anak yang dikasihi Allah, yang kepada kita Ia berkenan.

Kamis, 06 Januari 2011

Homili Natal St. Gregorius Agung (sang Teolog)

Kristus sudah lahir, muliakanlah dia!

Kristus datang dari surga, pergilah menemui Dia!

Kristus ada di bumi, tinggikanlah Dia! Bernyanyilah bagi Tuhan, hai seluruh bumi; semoga aku dapat bergabung dengan satu ucapan, dan hendaklah langit bersukacita, dan bumi bergembira, karena Dia yang dari surga ada di bumi. Kristus dalam daging, bersukacitalah dengan gemetar dan penuh sukacita; dengan gemetar karena dosa-dosamu dan dengan sukacita karena harapanmu.

Sekali lagi, kegelapan sudah berlalu, dan Terang sudah muncul; sekali lagi Mesir dihukum dengan kegelapan, dan sekali lagi Israel diterangi dengan sebuah tiang. Orang yang diam dalam kegelapan

Hal-hal yang lama sudah berlalu, lihatlah segala sesuatu sudah menjadi baru. Huruf (hukum Taurat) telah lampau, dan Roh tampil ke depan. Bayang-bayang sudah berlalu, dan kini kebenaran sudah tiba. Melkisedek sudah ditutup. Dia yang tanpa Ibu menjadi tanpa Bapa (Kristus sebagai sang Sabda tidak memiliki ibu, namun sebagai manusia Ia tidak memiliki ayah jasmani). Hukum alam terkejut; surga telah penuh. Kristus memerintahkannya, janganlah kita menentang Dia.

Bertepuk tanganlah kalian semua, karena seorang Anak telah lahir untuk kita, seorang Putera telah diberikan kepada kita, pemerintahan atas di atas bahu-Nya (karena dengan Salib Ia mengangkatnya), dan nama-Nya adalah Penasehat Bapa, Malaikat yang Agung. Hendaklah Yohanes berseru, mempersiapkan jalan bagi Tuhan; Aku pun akan menyerukan betapa hebatnya hari ini. Dia yang tidak berdaging menjadi daging, Putera Allah menjadi Putera Manusia, Yesus Kristus tetap sama kemarin, hari ini, dan selamanya. Biarlah orang-orang Yahudi tersinggung, biarlah orang-orang Yunani meratap; biarlah para bidaah berbicara sampai lidah mereka sakit. Maka mereka akan percaya, saat mereka melihat-Nya naik ke surga, dan jika masih belum percaya juga, meeka akan percaya saat Dia datang dari surga dan duduk sebagai hakim.

Inilah Hari Raya kita; yang kita rayakan pada hari ini, datangnya Allah kepada manusia, supaya kita dapat dapat pergi (atau dalam ungkapan yang lebih tepat) dapat kembali kepada Allah- agar dengan menanggalkan manusia lama, kita dapat mengenakan yang baru; dan sebagaimana kita mati dalam Adam, agar kita dapat hidup dalam Kristus, dilahirkan bersama Kristus dan disalibkan serta dimakamkan bersama Dia agar dapat bangkit bersama-Nya.

Tetapi saya harus segera meninggalkan pertukaran yang indah ini, sebagaimana rasa sakit mendahului kebahagiaan, begitu jugalah semakin besar kegembiraan semakin kuat juga rasa sakitnya. Karena di mana ada banyak dosa di situlah ada banyak rahmat; dan jika suatu rasa menghukum kita, betapa lebihnya sengsara Kristus membenarkan kita?

Maka dari itu, marilah kita merayakan Pesta ini, jangan seperti perayaan Pesta orang kafir, tetapi dengan cara yang saleh; jangan merayakan Pesta ini dengan cara duniawi, tetapi dengan cara surgawi; jangan merayakan Pesta ini sebagai Pesta kita sendiri tetapi sebagaimana kita adalah milik Dia yang menjadi milik Kita, Dia yang adalah Tuan kita; bukan sebagai kelemahan, tetapi sebagai penyembuhan; bukan sebagai ciptaan, tetapi sebagai penciptaan kembali.

Interview dengan Kardinal Urbano Navarrete Cortes

VATICAN CITY –Beliau telah melayani tidak kurang dari lima Paus, sejak Pius XII sampai Benediktus XVI dengan kesetiaan mutlak. Kami berbicara tentang Kardinal Urbano Navarrete Cortes, seorang Spanyol dari Camarena de la Sierra, yang menajdi Rektor Universitas Kepausan Gregorian sejak tahun 1980, seorang imam Yesuit yang termasyhur, dan ahli Hukum Kanon, yang diangkat menjadi Kardinal dalam konsistori 24 Novemnver 2007.

Yang Mulia, apakah Anda memiliki cerita yang dapat dibagikan kepada kami mengenai pelayanan Anda selama melayani Gereja?

”Saya punya banyak cerita dan anekdot, tetapi jika Anda berkenan, saya lebih senang memusatkan perhatian saya kepada dua Paus yang paling saya sayangi, tanpa mengurangi peranan dan rasa sayang saya kepada yang lain.”

Mari kita mulai berdasarkan urutan waktu dengan membahas Pius XII.


“Mengenai beliau, telah ada banyak fitnah dan catatan sejarah yang tidak tepat telah ditulis dan dibicarakan yang perlu dibantah sekali untuk selamanya. Misalnya, mengenai tuduhan bahwa beliau itu anti-Semit: ini adalah penipuan yang berteriak menuntut pembalasan! Saya sendiri sadar bahwa ada fakta-fakta yang belum pernah dipublikasikan dan sampai sekarang belum dibuka”

Tolong, katakanlah kepada kami!

“Saat saya menjadi Rektor, beberapa pengajar yang berusia lebih tua daripada saya mengatakan kepada saya bahwa selama Perang Dunia II, Paus Pacelli telah merancang dan memerintahkan- saya tekankan bahwa beliau “memerintahkan”- sebuah istana untuk dijadikan tempat pengungsian Yahudia di bagian subterran Universitas Gregorian untuk menyelamatkan mereka. Saya bertanya kepadamu: Dapatkah kenyataan ini selaras dengan tuduhan bahwa Pius XII itu anti-Semit?

Namun diamnya Pacelli dengan kasus Shoah seringkali dikecam oleh masyarakat.

“Seriuslah! Apa lagi yang dapat ia lakukan? Ia diam bukan karena tidak peduli tetapi karena pertimbangan yang matang berdasarkan situasi sejarah. Sebenarnya Pius XII memilih keburukan yang lebih kecil, bersikap diam saja ini ditujukan agar tidak memperburuk keadaan orang Yahudi dan mencegah mengganasnya penganiayaan Nazi terhadap mereka. Hal ini juga membuktikan Pacelli tidak pernah menjadi anti-Semit, dan saya menantikan saatnya ia dinyatakan kudus sambil tetap menghormati keputusan Gereja.”

Mari beralih kepada Hamba Allah Paulus VI.

“Saya mengenalnya secara pribadi dan dapat memberikan kesaksian mengenai kekudusannya. Dia orang yang sangat teliti, kaku dan dengan tekun memperhatikan setiap detail. Jadi, sungguh menyenangkan sekaligus sulit untuk bekerja dengannya.”

Seperti apakah kepribadian Paus Montini?

“ Ia penyendiri dan pendiam. Tetapi setelah Vatikan II, ia merasa terluka, diserang dan dalam arti tertentu ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri.”

Dalam arti apa?

“Ia disalahkan atas kekacauan paska-Konsili: Ia merasa diserang dan dituduh bahkan oleh mereka yang umum disebut faksi progresif dalam Gereja. Saya dapat meyakinkan kamu bahwa hal itu sangat menyakitkan baginya.”

Dalam pandangan Anda, apakah yang dimaksud oleh Paulus VI dengan ungkapan “asap Setan dalam Gereja”?

“Saya ingin mengingatkan kamu akan apa yang saya katakana sebelumnya. Ungkapan ini diucapkannya sesudah Konsili, ketika hidup telah menjadi sulit baginya. Jadi, pada masa itu, menurut beliau, kehadiran asap setan dalam Gereja terdapat pada gagasan bernuansa memberontak yang dianut oleh beberapa pejabat Gereja yang telah meninggalkan dia sendirian.”

Apa yang sebenarnya Paulus VI pikirkan tentang Konsili Vatikan II pada akhir Konsili?

“Dia tidak menafsirkannya sebagai pemutusan terhadap masa lalu. Sebaliknya, ia mempertahankan gagasan bahwa sungguh salah menggambarkan Konsili sebagai semacam revolusi, sebaliknya ia mendorong supaya Konsili “dibaca” dalam terang kesinambungan dengan tradisi Gereja”

Mari berbicara mengenai “kreatifitas liturgi” ibu dari begitu banyak pelecehan sepanjang Misa Kudus.


“Salah satu penyebab kesedihan Paulus VI adalah pandangan dari begitu banyak tokoh dalam Gereja yang memerintahkan, bahwa sesudah Vatikan II “buanglah semua yang lampau!” untuk memutus semua ikatan dengan masa lalu. “Kreatifitas liturgi” semacam ini telah disalahgunakan untuk melindungi dan mendorong segala kelakuan dan imajinasi dari para Imam yang berpikir bahwa mereka mengendalikan Gereja”

Apakah Anda berharap bahwa Pius XII dan Paulus VI akan dibeatifikasi dalam waktu dekat?

“Bagi saya, keduanya sudah menajdi orang kudus karena apa yang telah mereka lakukan dan karena penderitaan yang mereka tanggung demi iman mereka. Perkataan saya ini, saya serahkan kepada penilaian Gereja.”

Dalam motu proprio “Summorum Pontificum” telah membebaskan perayaan Misa Kudus menurut buku-buku liturgi Santo Pius V. Apakah Anda setuju dengan gagasan Benediktus ini?

“Tentu saja. Paus telah menjalankan suatu tindakan kejujuran intelektual dan kebijaksanaan, juga kebebasan dan keadilan. Saya sendiri bertanya, bagaimana mungkin suatu ritus yang telah menguatkan banyak generasi orang beriman dilarang atas nama modernisme yang absurg? Saya percaya bahwa orang-orang tradisionalis memiliki hak untuk merayakan Misa Kudus menurut ritus kuno dalam persekutuan dengan Pengganti Petrus, terutama karena hal ini tidak bertentangan dengan Novus Ordo”

Apakah Anda menemukan keagungan, spiritualitas dan Misteri dalam Misa secara lebih baik dalam ritus St. Pius V?

“Untuk lebih jelasnya, saya tidak memiliki apapun untuk menentang tata cara Misa Paulus VI, dan saya menganggapnya valid sebagaimana tata cara St. Pius V. Tetapi, pada kenyataannya, Misa Pius V, melalui Kanon Romawi lebih terarah kepada Allah daripada Kanon yang terlalu singkat (Doa Syukur Agung II). Maka, saya piker Misa St. Pius V lebih terarah kepada Allah dibandingkan dengan Misa Novus Ordo, selain dalam pandangan saya doa-doa dalam Misa St. Pius V lebih lengkap dibanding Novus Ordo.

Apa pendapat Anda mengenai Komuni di tangan?

“Saya percaya lebih baik membagikan Ekaristi di lidah daripada di tangan, untuk mencegah bagian atau remahnya disentuh tangan yang kotor. Saya tidak ikhlas mengizinkan pembagian Komuni di tangan; dibutuhkan suatu pendidikan yang jauh lebih baik, juga karena Komuni di tangan cenderung membuat orang menganggap enteng menerima Komuni.



Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Daniel P. dari terjemahan Inggris oleh Carlos Antonio Palad:

http://rorate-caeli.blogspot.com/

Versi asli Italia:

http://www.papanews.it/dettaglio_interviste.asp?IdNews=8150#a

Terjemahan Indo- Surat Benediktus XVI Yang Menyertai Summorum Pontificum

Saudara-saudaraku terkasih para uskup,

Dengan penuh kepercayaan dan harapan, Saya menyerahkan kepada kalian selaku gembala-gembala teks dari Surat Apostolik yang baru “Motu Proprio data” tentang penggunaan liturgi Romawi sebelum pembaruan tahun 1970. Dokumen ini adalah buah dari banyak permenungan, konsultasi, dan doa.

Ada banyak berita dan penilaian yang dibuat tanpa informasi yang cukup, dan telah menciptakan banyak kebingungan. Ada berbagai reaksi terhadap dokumen ini, yang nyatanya isinya belum diketahui, mulai dari yang menerima dengan gembira sampai yang menolak dengan keras.

Dokumen ini ditentang secara keras terutama karena dua ketakutan, yang sekarang ingin saya bahas lebih jauh dalam surat ini.

Pertama-tama, ada ketakutan bahwa dokumen ini menyimpang dari otoritas Konsili Vatikan II, yang salah satu keputusan mendasarnya- pembaruan liturgi- sedang dipertanyakan. Ketakutan ini tidak berdasar. Dalam hal ini, harus dikatakan bahwa pertama-tama Misale yang diterbitkan oleh Paulus VI dan kemudian diterbitkan kembali dalam dua edisi oleh Yohanes Paulus II, tetap menajdi bentuk yang normal-bentuk biasa- dari liturgi Ekaristi. Versi terakhir dari Missale Romanum sebelum Konsili, yang diterbitkan dengan otoritas Paus Yohanes XXIII di tahun 1962 dan digunakan selama Konsili, sekarang dapat digunakan sebagai bentuk luar biasa dalam perayaan liturgi. Sungguh tidak patut untuk berbicara mengenai dua versi Misale Romawi ini seolah-olah mereka adalah “dua ritus”. Sebaliknya, ini adalah masa dua cara penggunaan dari ritus yang satu dan sama.

Mengenai penggunaan Misale 1962 sebagai bentuk luar biasa dari liturgi Misa, saya ingin menarik perhatian kalian kepada fakta bahwa Misale ini tidak pernah dibatalkan secara hukum, dan konsekuensinya adalah, selalu diizinkan untuk digunakan. Pada saat penerbitan Misale baru, tampaknya tidak ada kebutuhan untuk mengeluarkan norma khusus bagi kemungkinan penggunaan Misale yang lebih tua. Mungkin pada masa itu dipikirkan bahwa hal ini akan timbul sebagai kasus yang menyangkut sedikit orang, dan dapat diselesaikan secara kasus per kasus pada tingkat lokal. Namun, kemudian menjadi jelas bahwa sejumlah orang dalam jumlah yang cukup banyak tetap terikat kepada penggunaan ritus Romawi ini, yang telah akrab dengan mereka sejak masa kanak-kanak. Hal ini terutama menyangkut kasus-kasus di negara-negara dimana gerakan liturgi telah memberikan pendidikan liturgi yang mendalam dan keakraban yang pribadi dengan bentuk perayaan liturgi yang lebih tua. Kita semua tahu bahwa dalam gerakan yang dipimpin oleh Uskupagung Lefebvre, kesetiaan kepada Misale kuno menajdi tanda lahiriah identitas mereka, walaupun alasan perpecahan dengan mereka ada pada tingkatan yang lebih dalam. Banyak orang yang secara tegas menerima karakter mengikat dari Konsili Vatikan II, setia kepada Paus dan para Uskup, juga ingin memulihkan bentuk liturgi suci yang mereka sayangi. Hal ini terjadi karena di banyak tempat perayaan menurut tata cara baru telah dirayakan dengan tidak setia, malahan dipahami sebagai pengesahan atas kreatifitas yang seringkali menuntun kepada kehancuran liturgi yang sulit diterima. Saya mengemukakan hal ini dari pengalaman, karena saya sendiri juga mengalami masa-masa itu dengan segala harapan dan kebingungannya. Dan saya juga telah melihat bagaimana penghancuran liturgi secara sembarangan ini telah menimbulkan luka yang dalam bagi umat yang sepenuhnya berakar dalam iman Gereja.

Maka, Paus Yohanes Paulus II merasa berkewajiban untuk menyediakan panduan bagi penggunaan Misale 1962 dalam Motu Proprio Ecclesia Dei ( 2 Juli 1988), bagaimanapun juga dokumen itu tidak memuat persyaratan yang rinci selain sebuah permohonan secara umum agar para uskup bermurah hati kepada “keinginan yang sah” dari umat beriman yang meminta penggunaan ritus Romawi ini. Pada saat itu tujuan utama Paus adalah untuk membantu Serikat Santo Pius X untuk memulihkan kesatuan penuh dengan Pengganti Petrus, dan untuk menyembuhkan suatu luka menyakitkan yang pernah dialami. Sayangnya, rekonsiliasi ini belum membuahkan hasil yang diahrapkan. Namun begitu, ada juga sejumlah komunitas yang dengan senang hati menggunakan kemungkinan-kemungkinan yang disediakan oleh Motu Proprio itu. Di sisi lain, tetap ada kesulitan untuk menggunakan Misale 1962 di luar kelompok-kelompok tersebut, karena kurang rincinya norma-norma hukum yang ada, secara khusus kesulitan ini timbul karena para Uskup seringkali merasa takut otoritas Konsili akan dipertanyakan. Saat Konsili Vatikan II selesai diduga bahwa permintaan penggunaan Misale 1962 hanya akan terbatas kepada generasi tua yang telah tumbuh dengannya, namun seiring berjalannya waktu jelas pula bahwa orang-orang muda telah menemukan bentuk liturgi ini dan merasakan daya tariknya, serta menemukan perjumpaan dengan Misteri Ekaristi Mahakudus, dengan cara yang cocok bagi mereka. Maka, muncullah kebutuhan bagi pengaturan hukum yang lebih jelas, yang belum dianggap perlu pada saat penerbitan Motu Proprio 1988. Norma-norma yang sekarang ini juga bertujuan untuk membebaskan para Uskup dari keharusan untuk melakukan evaluasi terus-menerus mengenai bagaimana cara mereka menganggapi berbagai situasi yang muncul.

Kedua, ketakutan juga diungkapkan bahwa Motu Proprio yang akan muncul ini, yang memungkinkan penggunaan Misale 1962 secara lebih luas, akan menuntun kepada pemisahan atau bahkan perpecahan dalam komunitas paroki. Saya menganggap ketakutan ini tidak berdasar. Penggunaan Misale lama mengandaikan pendidikan liturgi dalam tingkatan tertentu dan sedikit pengetahuan bahasa Latin; kedua hal ini tidaklah sering dijumpai. Dari keadaan nyata ini, jelaslah bahwa Misale baru akan tetap menajdi bentuk biasa dari ritus Romawi, bukan hanya secara hukum, tetapi juga karena situasi nyata komunitas umat beriman.

Juga benar bahwa kadang-kadang beberapa aspek sosial dari sikap umat yang terikat dengan tradisi liturgi Latin kuno telah dilebih-lebihkan secara tidak bertanggung jawab. Cinta kasih dan kebijaksanaan pastoral kalian akan menjadi suatu bantuan dan panduan untuk memperbaiki keadaan ini. Karena itu, dua bentuk dari ritus Romawi bisa saling memperkaya; santo-santa baru dan prefasi-prefasi baru dapat dan harus ditambahkan ke Misale lama. Komisi “Ecclesia Dei”, bersama dengan berbagai lembaga yang setia menggunakan usus antiquior (cara lama), akan mempelajari berbagai kemungkinan praktis tentang hal ini. Sebaliknya, perayaan Misa menurut Misale Paulus VI juga akan mampu untuk menunjukkan dengan lebih baik segala hal yang dikaitkan dengan Misale lama, yaitu sakralitas yang telah menarik banyak orang ke cara lama. Jaminan paling kuat bahwa Misale Paulus VI dapat menyatukan komunitas paroki dan dicintai oleh umat beriman bergantung pada cara merayakannya yang sesuai dengan aturan-aturan liturgi. Hal ini akan memperlihatkan kekayaan rohani dan kedalaman teologi dari Misale ini.

Sekarang saya akan menjelaskan alasan positif yang mendorong keputusan saya untuk mengeluarkan Motu Proprio yang memperbarui Motu Proprio tahun 1988. Alasan ini adalah mengenai rekonsiliasi internal dalam jantung Gereja. Menatap kembali ke masa lalu, kepada perpecahan yang selama rentang waktu berabad-abad telah menyobek Tubuh Kristus, seseorang dapat memiliki kesan bahwa setiap kali terjadi saat kritis menjelang perpecahan, para pemimpin Gereja tidak cukup berupaya untuk memelihara atau memulihkan kembali rekonsiliasi dan kesatuan. Seseorang dapat memiliki kesan bahwa kelalaian dari pihak Gereja ini menunjukkan bahwa mereka memiliki tanggung jawab atas kenyataan bahwa perpecahan ini kemudian menjadi semakin keras. Keadaan masa lalu ini memberikan kewajiban kepada kita di zaman sekarang; untuk melakukan segala usaha yang membuka kesempatan bagi mereka yang sungguh-sungguh ingin tetap berada dalam kesatuan atau ingin memperolehnya kembali secara baru. Saya teringat suatu kalimat dalam Surat Kedua kepada umat Korintus, ketika Paulus menulis: “Hai orang Korintus! Kami telah berbicara terus terang kepada kamu, hati kami terbuka lebar-lebar bagi kamu. Dan bagi kamu ada tempat yang luas dalam hati kami, tetapi bagi kami hanya tersedia empat yang sempit dalam hati kamu. Maka sekarang, supaya timbale balik- Bukalah hati kamu selebar-lebarnya!” (2 Kor 6: 11-13). Paulus memang berbicara dalam konteks yang lain, tetapi anjurannya dapat dan harus menyentuh kita juga dalam masalah ini. Marilah kita dengan murah hati membuka hati kita dan membuat ruang bagi segala hal yang diizinkan oleh iman itu sendiri.

Tidak ada pertentangan antara dua edisi Misale Romawi ini. dalam sejarah liturgi ada pertumbuhan dan perkembangan, tetapi tidak ada ketidaksinambungan. Apa yang dipandang oleh generasi sebelumnya sebagai suci, akan tetap suci dan agung bagi kita, tidak mungkin terjadi suatu hal tiba-tiba dianggap terlarang dan berbahaya. Pada kita tergantung tugas untuk memelihara kekayaan yang telah berkembang dalam iman dan doa Gereja, dan bergantung pula tugas untuk memberi tempat yang pantas bagi kekayaan ini. Tidak usah dijelaskan lagi bahwa agar dapat mengalami persekutuan penuh, para imam dari komunitas-komunitas yang setia menggunakan cara lama, pada prinsipnya tidak dapat menyingkirkan secara total perayaan menurut buku-buku liturgi yang baru. Penyingkiran total ritus baru tidak akan sejalan dengan pengakuan akan nilai dan kesuciannya.

Saudara-saudaraku terkasih, sebagai penutup, saya ingin menekankan bahwa norma-norma baru ini tidak memperkecil otoritas dan tanggung jawabmu, baik mengenai liturgi atau mengenai kepedulian pastoral bagi umat berimanmu. Sesungguhnya, setiap uskup adalah moderator liturgi di keuskupannya sendiri (cf. Sacrosanctum Concilium, 22: "Sacrae Liturgiae moderatio ab Ecclesiae auctoritate unice pendet quae quidem est apud Apostolicam Sedem et, ad normam iuris, apud Episcopum").

Maka, tidak ada sesuatu pun yang diambil dari otoritas para uskup, yang perannya tetap bertugas untuk menjaga agar segala sesuatu dilakukan dalam damai dan ketentraman. Jika kemudian muncul masalah yang tidak dapat diselesaikan para pastor paroki, Ordinaris lokal selalu dapat mengintervensi sejalan dengan setiap hal yang telah diatur oleh norma-norma baru yang disampaikan Motu Proprio ini.

Lebih jauh lagi, saudara-saudara terkasih, saya mengundang kalian semua untuk mengirimkan kisah pengalaman kalian kepada Tahta Suci dalam jangka waktu 3 tahun setelah Motu Proprio ini berlaku. Jika memang ada masalah yang benar-benar serius, maka cara penyembuhannya juga harus dicari.

Saudara-saudara terkasih, dengan penuh syukur dan kepercayaan, saya mempercayakan ke dalam hati kalian sebagai gembala halaman-halaman surat ini dan norma-norma Motu Proprio. Ingatlah selalu akan kata-kata Rasul Paulus yang ia sampaikan kepada para penatua di Efesus: “Jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi uskup untuk menggembalakan Gereja Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Putera-Nya sendiri.” (Kis 20:28)

Saya mempercayakan norma-norma ini kepada bantuan doa penuh kuasa dari Maria, Bunda Gereja, dan dengan sepenuh hati saya menyampaikan berkat Apostolik saya kepada kalian semua, saudara-saudara terkasih, kepada para pastor paroki keuskupan kalian, kepada semua imam kalian, rekan kerja kalian, dan juga seluruh umat beriman kalian.

Diberikan di Santo Petrus, 7 Juli 2007