Jumat, 12 September 2008

Katekese dari Paus Benediktus XVI tentang St. Hieronimus (part 1)

Saudara-saudari terkasih

Hari ini, kita memusatkan perhatian kita kepada St. Hieronimus, Bapa Gereja yang memusatkan hidupnya kepada Alkitab: dia menerjemahkannya ke dalam bahasa latin, menafsirkannya dalam karya-karyanya, dan diatas segalanya, ia berjuang menghayatinya sepanjang hidupnya di dunia, walaupun ia memiliki kesulitan berupa sifat temperamen tinggi yang menjadi bawaannya.

Hieronimus dilahirkan dalam sebuah keluarga Kristen sekitar tahun 347 AD di Stridon. Dia menerima pendidikan yang baik dan kemudian dikirim ke Roma untuk menyelesaikan studinya. Sebagai pria muda ia tertarik dengan kehidupan duniawi (cf. Ep 22, 7), tetapi ketertarikan dan minatnya terhadap agama Kristen tetap tinggi.

Hieronimus dibaptis tahun 366 dan memilih hidup asketis. Dia pergi ke Aquileia dan bergabung dengan suatu kelompok kesalehan Kristen yang berhimpun disekeliling Uskup Valerian yang ia gambarkan hampir menyerupai “komunitas para kudus” (Chron ad ann. 374). Dia kemudian pergi ke Timur dan hidup sebagai hermit di di Padang Gurun Chalcis, selatan Aleppo (Ep 14,10), dan membaktikan hidupnya untuk belajar secara intensif. Dia menyempurnakan pengetahuan bahasa Yunani nya, dan mulai belajar bahasa Ibrani (cf. Ep 125, 12), dan menyalin kodeks serta tulisan para Bapa (cf. Ep 5,2). Meditasi, penyendirian diri, dan kontak dengan Sabda Allah menolong sensitifitas Kristennya menjadi semakin dewasa. Dengan pahit ia menyesali kesembronoan masa mudanya (Ep. 22, 7) dan secara mendalam menyadari betapa berbedanya mentalitas kafir dan kehidupan Kristen: melalui sebuah “visiun” yang dramatis dan hidup ia membuat sebuah pengkontrasan yang terkenal- dimana ia meninggalkan kepada kita dalam suatu tulisannya- didalam visiun itu ia melihat bahwa ia diusir dari hadapan Allah karena ia lebih menyerupai pengikut Cicero daripada seorang Kristen” (cf. Ep. 22, 30).

Tahun 382 ia pindah ke Roma: karena kehidupan asketis dan kemampuannya sebagai pakar, Paus Damasus memintanya bekerja sebagai sekretaris dan penasehatnya, Paus mendorong dia, untuk alasan pastoral dan cultural, mengerjakan suatu terjemahan Latin baru dari teks-teks Alkitab. Beberapa orang dari para aristokrat Romawi, khususnya para bangsawan wanita seperti Paula, Marcella, Asella, Lea dan beberapa yang lain, didorong oleh keinginan untuk menjalani kesempurnaan hidup Kristen secara lebih mendalam dan memperdalam pengetahuan mereka akan Sabda Allah, memilih dia sebagai pembimbing rohani dan guru dalam pembelajaran yang terstruktur terhadap teks-teks suci. Para bangsawan wanita ini juga mempelajari bahasa Yunani dan Ibrani

Setelah kematian Paus Damasus, Hieronimus meninggalkan Roma tahun 385 dan berziarah pertama-tama ke Tanah Suci, saksi bisu dari kehidupan Kristus di dunia, dan kemudian ke Mesir negara yang sangat disukainya karena di sana terdapat banyak rahib (cf. Contra Rufinum, 3, 22; Ep. 108, 6-14). Tahun 386 ia menetap di Bethlehem sampai ia mati, dan di sana juga ia menulis sejumlah besar karyanya: ia menafsirkan Sabda Allah, ia membela iman dan dengan penuh semangat melawan berbagai bidaah; ia mendorong para biarawan kepada kesempurnaan; ia mengajar kebudayaan Kristen dan filsafat klasik kepada para orang muda; dengan hati seorang gembala ia m menyambut para peziarah yang berkunjung ke Tanah Suci. Dia meninggal dalam sel nya yang terletak dekat Grotto Kelahiran Yesus tanggal 30 September 420.

Kecerdasan dan luasnya pengetahuan Hieronimus dalam bidang sastra memampukannya memperbaiki dan menerjemahkan banyak teks-teks bibis: suatu pekerjaan yang tak ternilai hasilnya bagi Gereja Latin dan kebudayaan Barat. Dengan mendasarkan diri pada teks berbahasa asli Yunani dan Ibrani, dan dengan bantuan perbandingan dengan versi-versi yang lebih tua, ia memperbarui terjemahan empat Injil dalam bahasa Latin, lalu Psalter dan sebagian besar Perjanjian Lama. Dengan mempelajari teks berbahasa asli Ibrani dan terjemahan Yunani Septuaginta, serta terjemahan dalam bahasa Yunani klasik yang berasal dari sebelum era Kristen, sebagaimana juga terjemahan Latin yang lebih awal, Hieronimus dengan bantuan para rekan kerjanya, mampu menghasilkan terjemahan yang lebih baik: terjemahan ini membentuk apa yang sering disebut “Vulgata”, teks ‘resmi’ Gereja Latin yang diakui demikian oleh Konsili Trente, dan setelah beberapa revisi tetap diakui sebagai teks ‘resmi’ Gereja dalam bahasa Latin. Sangat menarik untuk menegaskan criteria yang digunakan oleh Hieronimus dalam karyanya sebagai penerjemah. Dia sendiri mengungkapkan kriteria itu saat dia mengatakan bahwa ia menghormati susunan kata dalam Kitab Suci, karena dalam susunan itu, ia mengatakan “susunan kata-kata juga merupakan suatu misteri” (Ep. 57, 2), yaitu, suatu pewahyuan. Lebih jauh lagi, ia menegaskan kembali kebutuhan untuk mengacu keapda teks asli: “Perbedaan pandangan tentang Perjanjian Baru diantara orang-orang Latin seringkali terjadi karena interpretasi mereka didasarkan kepada manuskrip yang buruk, marilah kita kembali kepada yang asli, yaitu ke dalam bahasa Yunani, yang dengan bahasa itu Perjanjian Baru ditulis.” Demikian halnya juga dengan Perjanjian Lama, jika ada perbedaan antara teks Latin dan Ibrani kita harus mengacu keapda teks Ibrani; dan, kemudian kita akan mampu menemukan aliran yang mengalir dari sumbernya” (Ep. 106, 2). Hieronimus juga menafsirkan banyak teks-teks Alkitab. Baginya penafsiran harus menawarkan berbagai kemungkinan “agar pembaca, setelah membaca berbagai penjelasan yang berbeda dan mendengar banyak pendapat- bisa menerima atau menolak- dan dapat menilai mana yang paling masuk akal, dan seperti penukar uang yang ahli, dapat menolak uang yang palsu” (Contra Rufinum 1, 16).

Dengan penuh semangat dan tak kenal lelah Hieronimus melawan semua bidaah yang menentang tradisi dan iman Gereja. Dia juga menunjukkan betapa penting dan benar nya literatur Kristen yang kemudianmenjadi kebudayaan nyata dan diperbandingkan dengan literatur klasik: ia melakukan itu dengan mengarang De Viris Illustribus, sebuah karya yang didalamnya Hieronimus menampilkan biografi lebih dari seratus pengarang Kristen. Ia juga menulis banyak biografi para rahib, dan memperbandingkan kedalaman spiritualitas mereka dengan kehidupan monastik yang ideal. Sebagai tambahan, ia menerjemahkan berbagai karya pengarang Yunani. Akhirnya, dalam Epistulae yang sangat penting, sebuah mahakarya literatur Latin, Hieronimus dengan kekhasan keahliannya menampilkan, suatu panduan asketis bagi jiwa-jiwa.

Apa yang dapat kita pelajari dari St. Hieronimus? Bagi saya, pertama-tama adalah: cinta kepada Sabda Alalh dalam Kitab Suci. St. Hieronimus mengatakan: “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus”. Maka sangat penting bagi setiap orang Kristen memiliki hubungan pribadi yang hidup dengan Sabda Allah yang diberikan kepada kita dalam Kitab Suci. Dialog dengan Kitab Suci harus memiliki dua dimensi di satu sisi, dialog ini harus menjadi dialog pribadi karena Allah berbicara dengan setiap kita melalui Kitab Suci dan Kitab Suci itu juga memiliki pesan untuk setiap kita. Kita harus membaca Kitab Suci bukan sebagai kata-kata yang ditulis di masa lalu tetapi sebagai Sabda Allah yang juga disampaikan kepada kita, dan kita harus mencoba untuk mengerti apa yang ingin Tuhan katakana kepada kita. Bagaimanapun, agar tidak jatuh kepada individualisme, kita harus ingat bahwa Sabda Allah diberikan keapda kita untuk membangun persekutuan dan menyatukan kekuatan dalam kebenaran dalam perjalanan kita menuju Allah. Jadi, walaupun Sabda Allah selalu merupakan Sabda pribadi, ia juga sella merupakan Sabda yang membangun komunitas, membangun Gereja. Maka kita harus membacanya dalam persekutuan dengan Gereja yang hidup. Tempat istimewa untuk membaca dan mendengarkan Sabda Allah adalah Liturgi, di dalamnya, kita merayakan Sabda dan menjadikan Tubuh Kristus hadir dalam Sakramen, kita mengaktualisasikan Sabda dalam hidup kita dan menghadirkannya di tengah kita. Kita juga tak boleh lupa bahwa Sabda Allah melampaui waktu. Pendapat manusia dating dan pergi. Apa yang sangat modern hari ini bisa jadi sangat kuno esok hari. Di sisi lain, Sabda Allah adalah Sabda hidup abadi, ia berada dalam keabadian dan tetap benar selamanya. Dengan membawa Sabda Allah dalam hidup kita, kita membawa dalam diri kita keabadian, hidup abadi.

Saya ingin menutup dengan kata-kata St. Hieronimus yang pernah ia sampaikan kepada St. Paulinus Nola. Dalam kata-kata ini sang penafsir hebat ini mengungkapkan kenyataan yang sangat mendasar, yaitu, dalam Sabda Allah kita menerima keabadian, hidup abadi. St. Hieronimus berkata: “Cari dan pelajarilah di dunia kebenaran yang akan tetap berlaku di Surga” (Ep. 53, 10).

Paulus: Rasul Sukacita Kristus

Jika seseorang ditanya apa yang membuat dia bersukacita maka kita akan mendapat jawaban berupa hal-hal yang menyenangkan seperti: lulus ujian, mendapat perkerjaan atau naik gaji, mendapat pasangan hidup dan semacamnya, dan ini sangat wajar dan manusiawi, hal-hal semacam itu memang membuat hati kita menjadi penuh sukacita. Tetapi, hidup kita tidak selalu diisi oleh hal-hal yang menyenangkan, seringkali kita harus menanggung banyak kesusahan. Kesusahan seperti itu kadang membuat kita sedih dan kehilangan sukacita kita, hal-hal seperti; orang yang disayangi meninggal, kebakaran rumah, tidak lulus ujian, atau kehilangan pekerjaan jelas membuat kita sedih, dan kesedihan ini wajar dan manusiawi.

Paulus mengatakan kepada umat di Filipi untuk bersukacita, ia mengatakan: “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah” (Filipi 4:4). Disini kita diminta untuk selalu bersukacita, selalu berarti tanpa henti, dalam segala keadaan kita harus terus bersukacita. Apakah ini mungkin? Apakah bersukacita di tengah segala kesusahan hidup yang kita alami itu mungkin? Kalau ditanya “mungkin” atau “tidak mungkin” jawabannya yah jelas mungkin saja, toh dalam hidup sehari-hari kita juga bisa melihat bagaimana orang bisa tetap bersukacita walaupun ia harus menanggung kesusahan dalam hidupnya. Contoh yang paling sederhana adalah melihat bagaimana misalnya para orang tua harus bekerja keras demi mencukupi kebutuhan hidup anak-anaknya, seringkali para orangtua harus bekerja sangat keras namun mereka melakukannya dengan penuh sukacita. Mereka mungkin jengkel dengan bos di kantor atau pelanggan di toko, dan beratnya pekerjaan mungkin membuat mereka stress juga, tapi mengingat bahwa semua ini dilakukan untuk anak menimbulkan suatu sukacita tersendiri. Saya kira hal ini benar pada kebanyakan orang tua kita, dan Anda yang menjadi orang tua saya rasa juga mengalami sendiri hal ini. Jadi pada prinsipnya apa yang diperintahkan Kitab Suci bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Kita mungkin belum mampu melakukannya tapi kita dapat mengetahui dengan pasti bahwa dibantu dengan rahmat Allah kita bisa mencapai hal itu.

Allah memerintahkan kita untuk selalu bersukacita melalui Paulus, seorang Rasul besar yang memiliki peranan istimewa mengembangkan Gereja pada masa-masa awal berdirinya. Paulus bernama asli Saulus adalah seorang Yahudi yang lahir di Tarsus (Kis 22:3) sebuah daerah yang sekarang ini berada di Republik Turki, yang memiliki kewarganegaraan Romawi sejak lahir (Kis 22:8) dan dari situ kita dapat menyimpulkan ia berasal dari keluarga yang memiliki status sosial cukup tinggi karena dalam kekaisaran Romawi seorang non-Roma yang memperoleh kewarganegaraan Roma adalah sesuatu yang istimewa. Saulus adalah seorang yang terpelajar dalam hal hukum taurat menurut tradisi farisi, ia belajar di bawah bimbingan Gamaliel dan mahir berbahasa Ibrani (Kis 22:2-3). Ketika Saulus bertemu dengan Yesus ia menjadi buta dan perlu dituntun (Kis 9:9; 22:11), dan disini Paulus belajar untuk tidak lagi melihat dengan matanya sendiri dan menuntun dirinya sendiri, sejak saat itu ia bukan lagi dirinya tapi Kristus yang hidup dalam dia dan hidupnya yang sekarang adalah hidup dalam iman akan Putera Allah yang telah mengasihi dia dan menyerahkan diriNya untuk dia (Gal 2:20).

Penyerahan diri kepada Kristus memiliki akibat yang sangat panjang bagi Paulus ia mengalami banyak hal yang tidak menyenangkan; dianggap penipu entah oleh orang Yahudi ataupun sebagian orang Kristen yang menentangnya, ia pernah dipukuli sampai hampir mati, kapalnya pernah tenggelam dan ia kelaparan, ia dipenjara beberapa kali, dan akhirnya dipenggal di Roma setelah permohonan bandingnya ditolak Kaisar. Paulus menyebut dirinya pernah mengalami apa itu kelimpahan dan kekurangan (Filipi 4: 12). Kita bisa memperkirakan bahwa ia mengalami kelimpahan sebelum ia bertemu Yesus dan mulai kekurangan sesudah bertemu Yesus. Sangat sulit membayangkan Saulus yang berasal dari keluarga Yahudi elite dan mampu memperoleh pendidikan yang baik adalah seorang yang berkekurangan, sementara sangat mudah membayangkan Paulus yang ditengah perjalanannya sebagai pewarta Injil masih harus menjalankan bisnis kecil-kecilan sebagai tukang tenda untuk mencari makan (Kis 18:1) adalah orang yang hidupnya serba pas-pas an.

Paulus mengatakan: “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat! (Filipi 4: 4-5)”. Bagi Paulus “sukacita”, “kebaikan hati” dan “Tuhan sudah dekat” adalah sesuatu yang saling berkaitan. Istilah “Tuhan sudah dekat” menunjuk kepada kedatangan Tuhan, saat akhir dan final dari penyelamatan manusia, saat dimana Yesus datang mengadili semua orang; yang baik akan hidup kekal dan yang jahat akan dihukum (Yoh 5: 28-29; 2 Kor 5: 10). Ini menjelaskan kepada kita mengapa pesan “Tuhan sudah dekat” memiliki kaitan yang erat dengan “bersukacita” dan “kebaikan hati”. Kalau Tuhan sudah dekat maka kita semua sepantasnya bersukacita karena saat penyelamatan kita yang akhir dan final sudah semakin dekat, kita menyambut datangnya saat itu dengan berbuat baik agar nanti kita menerima pemenuhan janji keselamatan dari Yesus.

Di sini kita melihat kaitan antara sukacita dan harapan. Di awal saya menggunakan contoh orang tua untuk menunjukkan bahwa bersukacita dalam saat susah dan tidak menyenangkan adalah sesuatu yang masih mungkin bagi manusia biasa semacam kita ini. Kalau kita melihat contoh itu lagi kita juga bisa melihat bahwa sukacita itu juga berhubungan dengan harapan orang tua akan masa depan yang indah bagi anaknya. Orang tua yang memiliki harapan akan masa depan yang baik bagi anaknya memiliki kemampuan untuk tetap bersukacita walaupun ia harus menderita demi mencukupi kebutuhan-kebutuhan anaknya. Disini kita melihat sekali lagi bahwa hal ini secara alami juga dapat dibenarkan.

Katekismus Gereja Katolik mengungkapkan hubungan antara harapan akan kedatangan Tuhan dan kegembiraan sebagai berikut: “Kebajikan harapan adalah kebajikan teologal yang dengannya kita menginginkan Kerajaan Surga dan kehidupan abadi sebagai kebahagiaan kita, dengan menaruh kepercayaan pada janji Kristus dan bukan bersandar pada kekuatan kita sendiri, tapi dalam pertolongan rahmat Roh Kudus. Kebajikan harapan menanggapi kerinduan manusia akan kebahagiaan yang telah Allah tempatkan dalam hati setiap orang; ia mengangkat harapan yang menginspirasi semua akifitas manusia dan memurnikannya serta mengarahkannya kepada Kerajaan Surga; kebajikan harapan memelihara manusia dari keputusasaan, menguatkannya pada masa kesusahan; membuka hatinya untuk menginginkan kebahagiaan kekal. Dipenuhi harapan, orang dibebaskan dari keegoisan dan dituntun kepada kebahagiaan yang mengalir dari cinta kasih” (KGK no. 1817 dikutip sebagian dan 1818).

Hubungan antara sukacita, harapan akan kedatangan Tuhan dan perbuatan baik sebagaimana kita lihat dalam tulisan St. Paulus juga diungkapkan oleh St. Teresa dari Avila yang mengatakan kepada jiwanya: “ Berharaplah, jiwaku, berharaplah. Kamu tahu tidak tahu kapan hari dan waktunya. Berjagalah dengan cermat, bahkan sekalipun ketidaksabaranmu membuat kamu meragukan apa yang pasti dan mengubah waktu yang sebenarnya sangat singkat menjadi sangat lama. Bayangkanlah bahwa semakin kamu berjuang, semakin kamu membuktikan cintamu kepada Allah, dan semakin kamu akan bersukacita bersama Dia yang kamu cintai, dalam kebahagiaan dan pengangkatan yang tidak akan berakhir” (Exclamaciones del alma a Dios 15: 3, dikutip dari KGK no. 1821).

Sampai di sini, marilah kita mencoba meringkas apa yang telah kita bahas sebelumnya. Paulus selalu bersukacita dalam setiap peristiwa yang ia alami karena ia memiliki harapan akan Kristus yang menyelamatkannya dan yang memiliki rencana indah atas hidupnya. Harapan inilah yang menggerakan Paulus untuk terus bekerja di ladang Tuhan dan menebarkan benih injil dalam seluruh perjalanan kerasulannya dan harapan ini juga yang menggembirakan dia dalam segala kesusahan dan kegagalan yang dialaminya, dia tetap gembira dan tetap optimis serta tetap tekun dalam pekerjaannya apapun yang terjadi karena harapannya ia dasarkan pada Kristus yang selalu setia kepadanya.

Kita semua juga mengalami banyak kesulitan dalam hidup kita, kadang terasa begitu menghimpit sehingga membuat kita hampir kehilangan semangat. Jika kita percaya kepada Kristus yang telah menaklukkan kematian, maka kita tahu bahwa seburuk apapun situasi kita Allah mampu mengubahnya menjadi sesuatu yang baik. Harapan itu lah yang membuat kita selalu bergembira, tidak ada sesuatu yang benar-benar buruk karena Allah selalu mampu mengubah keburukan menjadi kebaikan, bahkan Ia telah mengubah kematian menjadi kehidupan. Jika kita benar-benar percaya akan Allah yang bangkit dari mati, maka dalam kesulitan seberat apapun kita harus atau mungkin lebih enak dikatakan kita diajak untuk selalu optimis dan selalu tekun melakukan apa yang baik dan benar dan untuk selalu bersukacita karena kita percaya akan akhir bahagia yang disediakan Allah untuk kita. Paulus mengatakan “Spe salvi facti sumus” Kita diselamatkan dalam pengharapan (Rom 8: 24). Semoga kita menaruh harapan kita hanya pada Kristus dan selalu bergembira karenanya!

Jumat, 25 Juli 2008

Ratzinger: Ilah-ilah palsu

Ilah-ilah palsu apapun nama, bentuk atau rupa yang kita berikan kepada mereka, selalu berkaitan dengan penyembahan terhadap tiga hal: kepemilikan materi, cinta yang cemburuan, atau kekuasaan. Biarkan Saya menjelaskan apa yang Saya maksudkan.

Pada prinsipnya memiliki materi adalah baik. Kita tak dapat bertahan lama tanpa uang, pakaian dan tempat tinggal. Kita harus makan untuk tetap hidup. Tetapi, jika kita rakus, jika kita menolak untuk berbagi apa yang kita punyai dengan mereka yang miskin dan lapar kita menjadikan harta milik kita sebagai ilah palsu. Dan bukannya membawa hidup ia malahan membawa kematian.

Cinta yang otentik jelas adalah suatu yang baik. Tanpanya akan sulit untuk hidup bahagia. Ia memenuhi kebutuhan terdalam kita, dan saat kita mencintai, kita menjadi diri kita sendiri sepenuhnya, menjadi manusia yang utuh. Tetapi betapa mudahnya ia berubah menjadi ilah palsu! Orang sering berpikir mereka sedang mencintai pada saat mereka menjadi ingin memiliki dan memanipulasi. Orang seringkali memperlakukan sesamanya sebagai obyek untuk memenuhi kebutuhan dirinya daripada sebagai pribadi untuk dicintai dan dihargai. Betapa mudahnya kita tertipu oleh suara-suara dalam masyarakat kita yang membela sikap permisif terhadap seksualitas, tanpa memperdulikan batas-batas kesopanan serta penghargaan terhadap nilai-nilai moral yang meningkatkan kualitas hubungan manusia! Ini juga adalah penyembahan terhadap ilah palsu. Dan bukannya membawa hidup ia malahan membawa kematian.

Kuasa yang diberikan Allah kepada kita untuk menaklukkan dunia ini jelas adalah sesuatu yang baik. Penggunaan sepatutnya dan bertanggungjawab, memampukan kita mengubah hidup orang. Setiap komunitas membutuhkan pemimpin yang baik. Tetapi muncul godaan untuk menggunakan kekuasaan untuk keuntungan sendiri, untuk mendominasi yang lain atau mengeksploitasi lingkungan hidup untuk tujuan-tujuan egois. Ini menjadikan kekuasaan ilah palsu. Dan bukannya membawa hidup ia malahan membawa kematian.

Pemujaan terhadap harta milik, cinta yang cemburuan dan kekuasaan seringkali membuat orang berusaha "mempermainkan Allah". Mencoba menguasai hal-hal itu secara penuh tanpa memandang perintah yang Allah berikan kepada kita. Inilah jalan menuju kematian. Sebaliknya, penyembahan kepada satu Allah yang benar berarti mengakui Dialah sumber semua kebaikan, mempercayakan segalanya kepada Dia, membuka diri kita kepada kuasa penyembuhan dalam rahmatNya dan mematuhi perintahNya: inilah jalan yang menuju kepada kehidupan






Benediktus P.P. XVI
Pidato pada pertemuan dengan para penyandang cacat
July 18, 2008

Homili Paus Penutupan WYD

Teman-teman terkasih,

"Kamu akan menerima kuasa saat Roh Kudus turun atasmu" (Kis 1:8). Kita telah melihat janji ini dipenuhi! Pada hari Pentakosta seperti yang kita dengar dalam bacaan pertama, Tuhan yang bangkit, duduk disisi kanan Bapa, mengutus Roh Kudus atas para murid yang berkumpul di Ruang Atas. Dalam kuasa Roh itu, Petrus dan Para Rasul pergi mewartakan Injil sampai ke ujung bumi. Dalam setiap zaman, dan dalam segala bahasa, Gereja terus menerus mewartakan keajaiban Allah dan memanggil segala bangsa dan semua orang kepada iman, harapan dan hidup baru dalam Kristus.

Dalam hari-hari ini juga Saya telah dating, sebagai Pengganti Santo Petrus, ke tanah Australia yang mengagumkan ini. Saya dating untuk meneguhkan kamu, saudara-saudari muda saya, dalam imanmu, dan untuk mendorong kamu membuka hatimu kepada kuasa Roh Kristus dan kepada kekayaan anugerahNya. Saya berdoa agar pertemuan besar ini, yang menyatukan orang-orang muda "dari segala bangsa di kolong langit" (Kis 2:5), akan menjadi Ruang Atas yang baru. Semoga api cinta Allah turun memenuhi hatimu, menyatukan kamu secara lebih penuh dengan Tuhan dan GerejaNya, dan mengutus kamu sebagai generasi rasul-rasul yang baru, untuk membawa dunia kepada Kristus!

"Kamu akan menerima kuasa saat Roh Kudus turun atasmu". Kata-kata Tuhan yang bangkit ini memiliki arti khusus bagi kaum muda yang akan menerima Sakramen Krisma, yang akan dimeteraikan dengan anugerah Roh Kudus pada Misa hari ini. Tetapi kata-kata ini juga dialamatkan kepada setiap kita- kepada kita semua yang telah menerima anugerah Roh Kudus yaitu pendamaian dan kelahiran baru saat Baptisan, kepada kita semua yang telah menyambut Roh Kudus dalam hati kita sebagai penolong dan pembimbing saat Krisma, dan yang setiap hari bertumbuh dalam anugerah rahmat ini melalui Ekaristi Kudus. Dalam setiap Misa, sesungguhnya Roh Kudus dicurahkan secara baru melalui doa agung Gereja, bukan hanya untuk mengubah persembahan roti dan anggur kita menjadi Tubuh dan Darah Tuhan tetapi juga untuk mengubah hidup kita, untuk menjadikan kita, dalam kuasaNya, "satu tubuh dan satu roh dalam Kristus".


Tapi kuasa macam apakah yang diberikan Roh Kudus ini? Ini adalah kuasa kehidupan dari Allah! Ini adalah kuasa dari Roh yang sama yang melayang di atas air pada permulaan penciptaan dan yang, dalam kepenuhan waktu, membangkitkan Yesus dari kematian. Inilah kuasa yang menunjuk kita, dan dunia kita, dan mengarahkannya kepada kedatangan Kerajaan Allah. Dalam Injil hari ini, Yesus mewartakan suatu zaman baru telah dimulai, dimana Roh Kudus akan dicurahkan kepada semua manusia (Luk 4:21). Dia sendiri, dikandung oleh Roh Kudus dan dilahirkan dari Perawan Maria, datang diantara kita membawa Roh itu. Roh Kudus itu adalah sumber hidup baru kita dalam Kristus, dan dengan cara yang senyatanya Roh Kudus itu juga adalah jiwa Gereja, Dialah cinta yang mengikat kita dengan Tuhan dan sesama dan cahaya yang membuka mata kita untuk melihat keajaiban rahmat Allah disekitar kita

Disini di Australia,"tanah Roh Kudus di selatan yang besar ini", kita semua memiliki pengalaman akan Roh Kudus yang tak terlupakan, akan kehadiran dan kuasaNya dalam keindahan alam. Mata kita telah dibuka untuk melihat dunia kita sebagaimana sesungguhnya ia: "didandani" seperti dalam sebuah puisi dikatakan "dengan keagungan Allah", dipenuhi dengan kemuliaan cintaNya yang kreatif. Di sini juga dalam perkumpulan orang muda Kristen yang besar ini dari seluruh dunia, kita memiliki pengalaman yang hidup akan kehadiran dan kuasa Roh Kudus dalam hidup Gereja. Kita telah melihat Gereja sebagaimana ia adanya: Tubuh Kristus, komunitas cinta yang hidup, yang terdiri dari semua orang dari segala suku, bangsa dan bahasa, dari setiap tempat dan waktu, dalam kesatuan yang lahir dari iman kita dalam Tuhan yang bangkit.

Kuasa Roh Kudus tidak pernah berhenti memenuhi Gereja dengan hidup! Melalui rahmat sakramen Gereja, kuasa itu juga mengalir kedalam diri kita, seperti sungai yang tak pernah kering yang menguatkan roh kita dan menarik kita semakin dekat ke dalam sumber hidup yang sejati, yaitu Kristus. Santo Ignatius dari Antiokhia, yang mati sebagai martir di Roma pada permulaan awal abad kedua, telah meninggalkan kita gambaran yang mengagumkan tentang kuasa Roh Kudus yang berdiam dalam kita. Dia berbicara seperti sumber air yang memancar dalam hati dan berbisik: "Datanglah, datang kepada Bapa" (Ad. Rom 6:1-9).

Namun kuasa ini, rahmat Roh Kudus ini bukanlah sesuatu yang bisa kita usahakan atau kita peroleh, tetapi hanya dapat kita terima sebagai anugerah saja. Cinta Allah hanya dapat menjalankan kuasanya saat ia diizinkan untuk mengubah kita dari dalam. Kita harus membiarkannya menghancurkan kekerasan hati kita, kekhawatiran batin kita, kebutuhan hati kita terhadap roh-roh zaman ini. Hanya dengan itu kita dapat membiarkannya menerangi bayangan (imagination) kita dan membentuk keinginan kita yang terdalam. Itulah sebabnya doa sangat penting: doa harian, doa pribadi dalam keheningan hati kita dan dihadapan Sakramen Mahakudus, dan doa liturgy dalam jantung Gereja. Doa adalah penerimaan murni atas rahmat Allah, cinta dalam tindakan, persekutuan dengan Roh Kudus yang diam dalam kita, memimpin kita, melalui Yesus, dalam Gereja, kepada Bapa Surgawi kita. Dalam kuasa Roh Kudus ini, Yesus selalu hadir dalam hati kita, dengan tenang menunggu kita untuk terbuka bagiNya, untuk mendengar suaraNya, untuk terikat dengan cintaNya, dan untuk menerima "kuasa dari tempat tinggi", yang memapukan kita menjadi garam dan terang bagi dunia kita.

Pada hari Ia terangkat, Tuhan yang bangkit berkata kepada para muridNya: "Kamu akan menjadi saksi-saksiKu…sampai ujung dunia" (Kis 1:8). Di sini, di Australia, marilah kita bersyukur kepada Allah untuk anugerah iman, yang telah diwariskan kepada kita seperti harta warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam persekutuan Gereja. Disini, di Oceania, marilah kita bersyukur secara khudus atas para misionaris yang heroik, para imam dan religius yang berdedikasi, atas para orang tua dan leluhur Kristen kita, atas para guru dan katekis yang membangun Gereja di tanah ini- para saksi seperti Beata Mary MacKillop, Santo Peter Chanel, dan Beato Peter To Rot, serta banyak lagi yang lain! Kuasa Roh Kudus yang nampak dalam hidup merekam masih bekerja dalam kebaikan yang mereka tinggalkan, dalam komunitas yang mereka bentuk dan yang sekarang diwariskan kepada kamu.

Orang muda terkasih, sekarang saya akan bertanya kepada kamu. Apa yang akan kamu tinggalkan bagi generasi yang akan datang? Apakah kamu akan membangun hidupmu dalam dasar yang teguh, membangun sesuatu yang akan bertahan? Apakah kamu menjalani hidupmu dengan membuka ruang bagi Roh Kudus di tengah dunia yang ingin melupakan Allah, atau menolak Dia atas nama kebebasan palsu? Apakah kamu menggunakan anugerah yang telah diberikan kepadamu, kuasa Roh Kudus yang bahkan sekarang bersiap membebaskan kamu? Apa yang akan kamu bawa kepada kaum muda yang akan datang? Perbedaan macam apa yang akan kamu buat?

Kuasa Roh Kudus tidak hanya menerangi dan menghibur kita. Ia juga menunjuk kepada masa depan, kepada kedatangan Kerajaan Allah. Visi yang mengagumkan tentang manusia yang ditebus dan diperbarui kita lihat dalam zaman baru yang dijanjikan dalam Injil hari ini! Santo Lukas mengatakan kepada kita bahwa Yesus Kristus adalah pemenuhan dari semua janji Allah, Mesias yang sepenuhnya memiliki Roh Kudus untuk mencurgakan anugerah Roh itu kepada semua manusia. Pencurahan Roh Kudus atas diri manusia adalah wujudnyata dari harapan dan pembebasan dari semua yang mempermiskin kita. Ia memberi orang buta pandangan baru, ia menegakkan yang terkulai, dan menciptakan kesatuan dalam dan melalui perbedaan (Luk 4: 18-19, Yes 61:1-2). Kuasa ini dapat menciptakan dunia baru: "ia dapat memperbarui dunia ini" (Mzm 104:30)!

Dikuatkan oleh Roh Kudus, dan menarik kekayaan visi iman, generasi Kristen baru dipanggil untuk membantu membangun dunia ini dimana anugerah hidup dari Allah disambut, dihormati, dan dipelihara- bukan ditolak, ditakuti sebagai ancaman dan dimusnahkan. Zaman baru dimana cinta tidak menjadi rakus dan mementingkan diri, tetapi murni, setia, dan sejatinya bebas, terbuka kepada yang lain, menghormati martabat mereka, menginginkan kebaikan bagi semua, menyinarkan kegembiraan dan keindahan. Suatu zaman baru dimana harapan membebaskan kita dari ketakutan, sikap apatis dan mementingkan diri yang mematikan jiwa kita dan meracuni petemanan kita. Teman muda yang terkasih, Tuhan memintamu menjadi nabi dalam zaman baru ini, utusan cintaNya, menarik orang kepada Bapa dan membangun harapan akan masa depan bagi semua orang.

Dunia membutuhkan pembaruan ini! Dalam banyak komunitas kita, bersamaan dengan kemakmuran materi, suatu padang gurun rohani menyebar, kekosongan batin, ketakutan yang tak bernama, keputusasaan yang tersembunyi. Betapa banyak reka-rekan kita telah membentuk bejana yang retak dan kosong (Yer 2:13) dalam pencarian putus asa akan arti-arti tertinggi bahwa hanya cinta yang dapat memberi. Inilah anugerah besar yang membebaskan yang dibawa oleh Injil: ia mewahyukan martabat kita sebagai pria dan wanita yang diciptakan dalam gambar dan rupa Allah. Ia mewahyukan panggilan manusia yang indah, yang mencapai pemenuhannya dalam cinta. Ia membuka kebenaran tentang manusia dan hidup.
Gereja juga membutuhkan pembaruan ini! Dia membutuhkan imanmu, idealisme mu, dan kemurahanmu, supata ia bisa tetap muda dalam Roh (Lumen Gentium, 4)! Dalam bacaan kedua hari ini, Rasul Paulus mengingatkan bahwa kita semua dan setiap orang Kristen telah menerima anugerah untuk membangun Tubuh Kristus. Gereja secara khusus membutuhkan anugerah orang-orang muda, semua orang muda. Gereja perlu bertumbuh dalam kuasa Roh Kudus yang sampai sekarang memberikan kegembiraan kepada orang muda dan menginspirasi kalian untuk melayani Tuhan dengan gembira. Bukalah hatimu kepada kuasa itu! Saya memohon secara khusus kepada kalian yang dipanggil kepada imamat dan hidup bakti. Jangan takut mengatakan "iya"kepada Yesus, untuk menemukan sukacita dalam melakukan kehendakNya, memberikan dirimu seluruhnya untuk memperoleh kekudusan, dan menggunakan seluruh talentamu untuk melayani sesama!

Sebentar lagi, kita akan merayakan Sakramen Krisma. Roh Kudus akan tercurah atas para kandidat, mereka akan dimeteraikan dengan anugerah Roh Kudus dan diutus menjadi saksi-saksi Kristus. Apa maksudnya menerima materai Roh Kudus? Ini berarti ditandai secara khas, perubahan yang tidak bisa diubah lagi, menjadi ciptaan yang baru. Bagi mereka yang telah menerima anugerah ini, tak dapat lagi terjadi hal yang sama! Dibaptis dalam satu Roh (1 Kor 12:13) berarti dibakar dalam api cinta Allah. "Minum" dalam Roh berarti disegarkan dengan keindahan rencana Allah bagi kita dan bagi dunia, dan pada gilirannya kita menjadi sumber kesegaran rohani bagi sesama. Dimeteraikan dalam Roh Kudus berarti tidak takut berdiri bagi Kristus, membirakan kebenaran Injil menentukan sudut pandangan kita dalam berpikir dan bertindak, sebagai mana kita bekerja bagi kejayaan peradaban cinta.

Saat kita berdoa bagi para kandidat, marilah kita mohon agar kuasa Roh Kudus juga membangkitkan kembali rahmat Krisma kita. Semoga Ia mencurgakan anugerahNya secara berlimpah kepada semua yang hadir, di kota Sydney ini, di atas tanah Australia dan kepada semua umatNya! Semoga kita semua diperbarui dalam roh kebijaksanaan dan pengertian, dalam keadilan dan keberanian, dalam pengetahuan dan kesalehan, dalam kekaguman dan takut akan kehadiran Allah!

Melaui bantuan doa penuh cinta dari Maria, Bunda Gereja, semoga World Youth Day ke-23 ini menjadi pengalaman Ruang Atas, bagi kita semua, agar kita dibakar dengan api dan cinta Roh Kudus, yang mengutus kita untuk mewartakan Tuhan yang bangkit dan menarik semua hati kepadaNya! amen.

Senin, 12 Mei 2008

Api yang menghanguskan

Kali ini kita akan membahas doa persiapan persembahan pada hari jumat dalam pekan Pentakosta menurut Missale Romanum 1962 yang sayangnya tidak dipertahankan dalam Missale Romanum yang sekarang dipakai karena sekarang setelah hari raya Pentakosta kita langsung masuk ke masa biasa tanpa melewati pekan Pentakosta terlebih dahulu.

Ini adalah terjemahan bahasa Indonesia dari doa tersebut menurut Pater Wahjo, OFM:

Tuhan, semoga kurban, yang dipersembahkan dihadapan wajahMu, dimakan oleh api ilahi, yang dinyalakan Roh Kudus dalam hati murid-murid Kristus.

Saya memotong bagian doksologinya karena itu bukan pokok bahasan kita sekarang ini. Sekarang mari kita perhatikan beberapa gagasan yang menonjol dalam doa diatas tersebut.

Pertama, kita menemukan gagasan tentang kurban yang dimakan oleh api. Dalam Kitab Suci sekurangnya kita menemukan dua kisah dimana persembahan kurban yang diberikan kepada Allah dimakan atau dibakar atau dihanguskan dengan api ilahi, maksudnya dibakar dengan api yang muncul secara ajaib dan bukan dibakar seperti biasanya. Kedua kisah itu ialah kisah persembahan Abram (kemudian namanya diganti menjadi Abraham) dan kemudian ialah kisah persembahan Elia di Gunung Karmel.

Kisah mengenai persembahan Abram bisa dibaca selengkapnya di Kejadian bab 15, disini saya akan menceritakan singkatnya saja. Ketika itu Allah berjanji kepada Abram untuk membuat keturunannya sebanyak bintang di langit dan memberikan negeri Kanaan kepadanya. Ketika Abram menanyakan kepada Allah bagaimana ia tahu kalau janji-janji Allah itu akan dipenuhi maka Allah meminta agar ia meletakkan beberapa hewan untuk persembahan. Menjelang sore Allah kembali berbicara dan menubuatkan adanya kesengsaraan bagi keturunan Abram namun Ia juga menyampaikan janji pemulihan dan hukuman bagi penindas keturunan Abram itu. Akhirnya, pada malam hari muncullah api yang berasal dari Allah dan memakan semua hewan kurban itu dan Allah berfirman akan menjadikan keturunan Abram sebagai pemilik negeri itu dan hari itu diingat sebagai hari perjanjian antara Allah dengan Abram.

Sementara, kisah mengenai persembahan Elia bisa dibaca di 1 Raja-raja bab 18: 20-46 yaitu kisah pertandingan antara Elia melawan nabi-nabi Baal. Setelah kemarau yang panjang dalam masa pemerintahan raja Ahab yang murtad meninggalkan Allah dan menyembah Baal. Maka Ahab mengadakan sayembara siapa yang bisa menurunkan hujan. Pesertanya adalah 450 nabi Baal di satu pihak melawan Elia seorang diri di pihak lainnya. Singkat cerita para nabi Baal gagal, sementara Elia setelah menyiapkan kurban, ia tidak membakarnya melainkan turunlah api Tuhan dan membakar seluruh persembahannya. Akhirnya hujan turun dan Elia membantai ke 450 nabi Baal itu.

Dalam kedua kisah ini kita melihat bahwa turunnya api ilahi atas persembahan kurban itu selalu menjadi tanda atas perkenanan Tuhan terhadap kurban yang dipersembahkan dan menjadi tanda kesetiaan Tuhan terhadap janji yang diberikan kepada umatNya serta menjadi tanda kekuasanNya bahwa Dialah Allah dan Dia sanggup memenuhi semua yang telah dikatakanNya. Tetapi doa liturgi yang menjadi bahasan kita sepertinya tidak pertama-tama menunjuk kepada kisah ini walaupun jelas bahwa doa itu dipengaruhi oleh kedua kisah ini. Doa itu lebih lanjut menunjuk bahwa api ilahi itu dinyalakan oleh Roh Kudus. Peng-atribut-an api ilahi kepada Roh Kudus merupakan sesuatu yang baru dan tidak terdapat dalam kedua kisah ini. Sekarang kita akan melihat ini secara lebih mendalam.

Sejauh yang saya baca dalam Kitab Suci hanya ada satu kali saja dimana Roh Kudus muncul bersama dengan api yaitu dalam kisah Pentakosta. Disitu diceritakan bagaimana Roh Kudus turun ke atas para Rasul dalam rupa lidah-lidah api (Kis 2: 3). Apa artinya lidah-lidah api tersebut? Biasanya orang mengaitkan api dengan semangat, simbol api yang membakar seringkali dengan mudah disamakan dengan semangat yang membara atau dengan sesuatu yang membakar semangat. Tetapi kali ini kita akan melihatnya dari sisi yang berbeda.

Dalam beberapa kisah Kitab Suci kita melihat bahwa api menjadi tanda peng-ilahi-an dari sesuatu. Melalui api hewan-hewan kurban yang sifatnya materi diubah menjadi suatu persembahan yang naik ke hadirat Tuhan. Kemudian adanya api menjadi tanda bahwa suatu tempat dikuduskan bagi Tuhan, misalnya ketika Musa bertemu Allah (Kel 3: 2-5) atau mengenai api di dekat Tabut Perjanjian (Kel27:20 persisnya nyala api kecil pada lampu). Dan akhirnya juga dengan api lah yang seseorang yaitu Elia diangkat ke surge (2 Raja-raja 2: 11).

Lalu apa artinya lidah-lidah api turun atas para Rasul? Bagi saya ini berarti tanda bahwa Allah telah menguduskan mereka dan menyatakan bahwa Allah berkenan pada mereka, meneguhkan perjanjian yang telah diadakanNya dengan mereka dalam Kristus dan menunjukkan bahwa Ia setia dan akan memenuhi semua janjiNya yang telah Ia berikan melalui Kristus. Dalam kaitannya dengan bahasan mengenai doa liturgis diatas, kita akan menyempitkan kembali bahasan ini yaitu soal menguduskan saja.

Dalam suratnya kepada umat di Roma st. Paulus meminta agar kita mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan berkenan kepada Allah (Rom 12:1). Tetapi permasalahannya adalah kita tidak kudus, kita sering jatuh dan sering berbuat dosa, bahkan dosa yang itu-itu saja, lalu bagaiamana kita bisa mempersembahkan tubuh kita sebagai suatu persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah? Jawaban pertama untuk pertanyaan ini adalah bahwa bagi kita kekudusan itu merupakan pertama-tama adalah anugerah atau pemberian dari Allah dan bukan dari hasil usaha kita. Adalah Roh Kudus yang memberikan atau mengerjakan kekudusan dalam diri kita, atau dalam istilah yang lebih teologis nya Roh Kudus menyalurkan kepada kita rahmat pengudus. Rahmat ini memberikan kepada jiwa kita kemampuan untuk menyenangkan hati Allah dengan perbuatan-perbuatan baik kita. Tanpa rahmat pengudus bisa dikatakan bahwa semua perbuatan baik kita tidak berarti di mata Allah dan tidak mendatangkan kekudusan bagi kita. Rahmat ini tentunya adalah sesuatu yang diberikan dengan gratis. Dan karena definsi gratis dilihat dari sudut pandang manapun pastinya tidak memasukkan unsur pemaksaan didalamnya maka perlu juga ada tanggapan dari pihak kita terhadap rahmat ini> [ita0jugq xarus }au }e}bukq tiri terhadap karya Roh Kudus didalam diri kita.

Lidah-lidah api itu dengan sendirinya menjadi tanda bahwa rahmat yang menguduskan telah diberikan. Pencurahan Roh Kudus menjadikan tubuh kita sebagai baitNya yang kudus, dan menjadikan tubuh kita dapat dipersembahkan sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. Bagi kita juga saat kita menerima sakramen-sakramen dan setiap kali kita melakukan perbuatan baik dalam keadaan ‘memiliki’ rahmat pengudus ini maka rahmat ini dicurahkan dan ditambahkan sehingga kita menjadi semakin dikuduskan. Penerimaan rahmat ini membuat nilai perbuatan-perbuatan baik kita juga semakin berkenan di hadapan Allah dan semakin menyenangkanNya selain tentunya meningkatkan kekudusan kita sendiri.

Kita semua pernah diajar bahwa adalah penting untuk mempersembahkan kepada Allah hal-hal yang kita alami dan kita lakukan sehari-hari mulai dari belajar, pekerjaan rumah tangga, main-main dan bersantai, juga pelayanan dan doa-doa kita. Semua ini menyenangkan Tuhan bukan dari dirinya sendiri tapi dari kenyataan bahwa rahmat yang terlebih dahulu diberikanlah yang membuat semua hal ini dapat berkenan di hati Tuhan. Kesadaran semacam ini saya kira akan membuat kita tidak bisa berlagak suci atau berlagak kudus. Itu adalah pemberian dan bukan usaha kita.

Minggu, 11 Mei 2008

Sorang Penolong Yang Lain

Hari ini kita merayakan hari Pentakosta, dan karena Injil pada hari ini diambil dari Yohanes 20: 19-23 maka dalam tulisan ini kita akan mencoba merenungkan mengenai Roh Kudus terutama dari sudut pandang Injil Yohanes.

Yesus menyebut Roh Kudus sebagai seorang Penolong yang lain (Yoh 14:15) yang akan menyertai kita selama-lamanya. Jika kita mendengar kata “seorang penolong” kita tentunya akan berpikir tentang seorang yang bersedia membantu kita dalam semua kesulitan kita seperti halnya Doraemon bagi Nobita. Gambaran seperti itu tidak sepenuhnya salah, tetapi rasanya bukan itu yang dimaksudkan oleh Yesus ketika dia menyebut Roh Kudus sebagai “seorang Penolong yang lain”.

Yesus menyebut Roh Kudus sebagai penolong atau dalam bahasa yunaninya parakletos, kata yunani parakletos ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin sebagai advocatus. Kata yang terakhir ini tentu sudah tidak terlalu asing lagi, kita pun masih menggunakan istilah itu dengan arti yang kurang lebih tetap sama. Kata itu menunjuk kepada seseorang yang dipanggil untuk mendampingi seorang yang sedang digugat atau menjalani tuntutan di pengadilan. Seorang advocatus memberi saran, nasehat atau memberikan pembelaan agar orang yang memanggilnya tidak terkena atau terbebas dari tuntutan pengadilan. Dan Roh Kudus adalah “seorang Penolong” pertama-tama dalam arti yang semacam ini.

Dalam kitab Wahyu, yang menurut tradisi juga ditulis oleh Rasul Yohanes yang menulis Injil ini, iblis digambarkan sebagai seorang pendakwa (dan kata aslinya dalam bahasa ibrani memang berarti demikian) yang mendakwa kaum beriman siang malam dihadapan Allah kita (Why 12:10). Iblis, pendakwa kita disebut sebagai pembunuh manusia sejak semula, dia adalah pendusta dan bapa segala dusta (Yoh 8:44). Iblis ingin agar kita ditemukan bersalah dihadapan Allah, ia menginginkan kita bercela seperti yang dulu ia lakukan terhadap Ayub (Ayb 1:7-12). Ia menyerang, menyakiti dan membujuk kita supaya berdosa. Santo Petrus menggambarkannya sebagai singa yang berkeliling dan mencari korbannya (1 Petrus 5:8). Dengan gambaran semacam itu cukup dimengerti bahwa kita sangat membutuhkan seorang advocatus yang selalu mendampingi kita.

Jika si pendakwa disebut sebagai pendusta dan bapa segala dusta maka Penolong kita itu disebut sebagai Roh Kebenaran (Yoh 14:17). Di atas tadi kita telah membahas bagaimana pendakwa kita begitu ingin membuat kita bersalah di hadapan Allah sehingga kita dihukum. Tetapi Penolong kita adalah Roh Kebenaran, dan kebenaran itu memerdekakan (Yoh 8:32; 2Kor 3:17). Penolong kita itu menginsyafkan kita akan dosa, kebenaran dan penghakiman (Yoh 16:8-11), menuntun kita kepada seluruh kebenaran (Yoh 16:13) dan memberitakan segala yang telah diterimaNya dari Kristus (Yoh 16:14-15). Itulah Penolong kita yang membantu kita mengalahkan pendakwa kita, si iblis, yang ingin kita bersalah di hadapan Allah dan dihukum, Penolong ini diutus untuk membantu kita hidup benar sehingga kita tidak ditemukan bercela di hadapan Allah (1 Tes 5: 23) sehingga kita pun terbebaskan dari tuduhan dan hukuman.

Kita tahu bahwa iblis menanamkan kekuasaannya dalam diri kita melalui dosa, karena alasan itu juga maka Roh Kudus dihubungkan dengan pengampunan dosa, yang melaluinya kita menerima penyembuhan dari racun mematikan yang ditanamkan iblis dalam diri kita. Maka tidaklah heran jika dalam Injil Yohanes Roh Kudus juga dihubungkan dengan kuasa untuk mengampuni dosa, seperti yang kita baca dalam Yohanes 20: 22-23 dimana para Rasul menerima kuasa untuk mengampuni dosa berkat penghembusan Roh Kudus oleh Yesus kepada mereka. Rumusan absolusi dalam sakramen tobat pun menegaskan hal yang sama:

Allah Bapa yang berbelas kasih,

melalui wafat dan kebangkitan PuteraNya

telah mendamaikan dunia dengan diriNya

dan mengutus Roh Kudus untuk pengampunan dosa;

melalui pelayanan Gereja semoga Allah memberikan

pengampunan dan damai kepada saudara,

dan aku melepaskan kamu dari segala dosamu

dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus.

Akhirnya kita juga melihat bahwa Roh Kudus selalu digambarkan seperti angin. Pada hari Pentakosta tiupan angin kencang mendahului kedatanganNya (Kis 1: 2) dan diberikan dengan hembusan (Yoh 20:22) kepada para Rasul supaya mereka menerima kuasa mengampuni dosa. Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa kata “roh” dalam bahasa ibrani adalah ruah dan dalam bahasa yunani adalah pneuma yang bisa berarti angin, nafas, hembusan, atau nyawa. Namun gagasan utama dari kata ruah dan pneuma ini adalah suatu daya yang menghidupkan, yang menggerakan, dan tidak bisa dibendung seperti halnya angin berhembus ke arah mana yang dikehendakinya. Dari sini kita dapat membayangkan bahwa ketika st. Paulus mengatakan bahwa Tuhan adalah Roh, dan dimana Roh Allah berada disitu ada kemerdekaan (2 Kor 3:17) ia merenungkan bahwa Allah adalah sumber hidup dan kekuatanNya tak dapat dibendung, Ia bebas dan tidak dikendalikan oleh kekuatan lain yang berada di luar diriNya.

Roh Kudus juga kadang digambarkan dengan merpati (Yoh 1:32), menurut Yves Congar bukanlah kebiasaan Yahudi untuk menggambarkan Roh Allah sebagai merpati, sebaliknya dalam tradisi rabbinik merpati adalah gambaran bagi umat Allah. Di sini kita melihat bahwa Roh Kudus dihubungkan dengan umatNya, pertama-tama Israel dan kemudian Israel sejati yaitu Gereja. Dari sini juga kita dapat memahami mengapa st. Paulus menekankan peranan Roh Kudus bagi kesatuan Gereja (1 Korintus bab 12 seluruhnya, ingat juga bahwa sebagian dari bab ini muncul sebagai bacaan kedua hari ini). Roh Allah tidak memecah belah tetapi menghimpunkan kita menjadi satu tubuh, menjadi satu Gereja.

Saya kira semua gambaran ini memberikan sedikit keterangan mengenai siapa Roh Kudus itu, Ia adalah pembela yang menuntun, penyembuh, dan Ia juga dinamis dan menggerakan dan lebih lagi Ia mempersatukan kita. Ketika kita menyerahkan diri kita kepada pimpinan Roh ini berarti kita menata hidup kita menurut kehendakNya. Kita menuruti bimbinganNya untuk menghindarkan yang jahat serta baik dan benar, menerima tawaran penyembuhan dan kekuatan dariNya melalui doa dan sakramen. Di sisi lain juga berarti kita menerima semangat, kekuatan dan ke-fleksibel-an atau dinamismenya. Dan jika kita mencari model orang macam apakah yang dipimpi~ luh0Rh0itu< }a{a0jqwqbqn~ya adalah Yesus. Sulit sebenarnya untuk menggambarkan seperti apa Yesus dalam beberapa kata, tapi saya kira tidak lah terlalu salah untuk mengatakan Dia sebagai orang yang; teguh, punya prinsip, tenang dan fleksibel dengan keadaan. Sebenarnya ada istilah singkat lain yang lebih tepat untuk menggambarkan seperti apa Yesus itu, yaitu “pribadi yang seimbang” tetapi istilah ini terlihat terlalu abstrak, setidaknya bagi saya sendiri. Jika kita mengikuti bimbingan Roh kita akan menjadi orang yang semacam itu, dan aku suka kata-kata dari seseorang (tante Olly persisnya) “kalian gak akan gila”.

Senin, 04 Februari 2008

+Ranjith minta Komuni di tangan dipertimbangkan!

Vatican, Feb. 1, 2008 (CWNews.com) - The secretary of the Congregation for Divine Worship has called for reconsideration of the practice of Communion in the hand.

Vatikan, Feb. 1, 2008 (CWNews.com) - Sekretaris Konggregasi untuk Ibadat Ilahi meminta pertimbangan kembali kebiasaan menerima Komuni di tangan.

In the preface to a new Italian-language book on the Eucharist, written by a bishop from Kazakhstan and released in January by the Vatican's official publishing house, Archbishop Albert Malcolm Ranjith Patabendige Don suggests that the reception of Communion in the hand has contributed to a general sense of "carelessness" about the Eucharist, as well as some flagrant abuses. The archbishop makes his remarks in the preface to Dominus Est, by Bishop Athanasisus Schneider.

Dalam kata pengantar untuk sebuah buku baru berbahasa Italia tentang Ekaristi, yang ditulis oleh seorang uskup dari Kazakhstan yang diluncurkan bulan Januari oleh penerbitan resmi Vatikan (Libreria Editrice Vaticana), Uskupagung Albert Malcolm Ranjith Patabaendige Don menyarankan bahwa penerimaan Komuni ditangan secara umum telah menimbulkan "ketidakpedulian" terhadap EKaristi, sebagaimana juga sejumlah pelanggaran yang mengejutkan. Uskupagung Ranjith memberi penekanan ini dalam kata pengantarnya bagi buku Dominus Est (Itu adalah Tuhan) oleh Uskup Athanasius Schneider.

The practice of receiving Communion in the hand was not mandated by Vatican II, nor was it introduced in response to calls from the laity, Archbishop Ranjith writes. Instead, he argues, an established practice of piety-- receiving the Eucharist kneeling, on the tongue-- was changed "improperly and hurriedly," and became widespread even before it was formally approved by the Vatican.

Penerimaan Komuni ditangan tidak diperintahkan oleh Konsili Vatikan II, juga ia tidak diperkenalkan untuk menanggapi permintaan kaum awam, tulis Uskupagung Ranjith. Sebaliknya, kata Ranjith, kebiasaan saleh yang telah mapan--menerima Komuni di lidah dengan berlutut-- telah diubah secara "sembrono dan tergesa-gesa, " dan menyebar kemana-mana bahkan sebelum diakui oleh Vatikan.

In light of a widespread lack of reverence for the Eucharist, the archbishop suggests that it is "high time to review" the policy. While he does not condemn the practice of Communion in the hand, the Vatican official praises Bishop Schneider for arguing in favor of the older practice, saying that it helps to foster a proper sense of reverence and piety.

Mengingat begitu luasnya sikap kurang horma terhadap Ekaristi, uskupagung Ranjith menyarankan bahwa inilah "saat yang tepat untuk meninjau kembali" kebijakan (penerimaan Komuni di tangan) itu. Sementara ia (Ranjith) tidak mengecam kebiasaan menerima Komuni di tangan, pejabat Vatikan ini memuji Uskup Scheider atas argumennya mendukung kebiasaan lama, dan mengatakan bahwa hal itu (menerima Komuni di lidah dengan berlutut) membantu untuk mendorong rasa hormat sepantasnya dan juga untuk kesalehan.

Selasa, 08 Januari 2008

Nasehat untuk para Jesuit

Ringkasan Homili dari Kardinal Rode, Prefek dari Konggregasi Religius dalam Misa Pembukaan Konggregasi Umum Serikat Yesus ke 35 di Gereja de Gesu tanggal 07 Januari 2008 di Roma

Pengudusan untuk melayani Kristus tak dapat dipisahkan dari pengudusan untuk melayani Gereja. Ignatius dan teman-teman pertamanya mempertimbangkan ini sehingga saat mereka menulis Formula dari Serikat kalian yang juga merupakan inti dari karisma kalian berbunyi: “Untuk melayani Tuhan dan mempelaiNya yaitu Gereja dibawah Uskup Roma (Julio III, Formula I). Dengan sedih dan gelisah saya melihat bahwa sentire cum Ecclesia (seperasaan dengan Gereja) yang kerap kali disinggung oleh pendiri kalian kini memudar bahkan pada beberapa anggota komunitas religius. Gereja menanti dari kalian satu terang untuk memulihkan sensus Ecclesiae (rasa memiliki terhadap Gereja).
...

Cinta kepada Gereja dalam setiap arti kata itu- baik Gereja sebagai umat Allah atau Gereja hierakis- bukanlah sentimen manusiawi yang datang dan pergi menurut orang yang mengalaminya atau menurut kenyamanan kita terhadap keadaan yang muncul dari mereka yang ditempatkan Tuhan memimpin Gereja. Cinta kepada Gereja didasarkan pada iman, pada karunia yang Tuhan berikan, karena Ia mencintai kita, Ia memberi kita iman kepadaNya dan kepada mempelaiNya yaitu Gereja. Tanpa karunia iman dalam Gereja tidak dapat ada cinta kepada Gereja.

Saya menggabungkan diri dengan kalian dalam doa memohon kepada Tuhan agar Ia memberi kalian rahmat untuk bertumbuh dalam iman dan cinta bagi Gereja ini yang kita akui kudus, katolik, dan apostolik.

Dengan sedih dan gelisah saya juga melihat perkembangan yang menjauhi Hierarki. Spiritualitas Ignatian bagi pelayanan apostolik “dibawah Uskup Roma: tidak mengizinkan pemisahan ini. Dalam Konstitusi yang ia tinggalkan bagi kalian, Ignatius menginginkan untuk membentuk pikiran kalian secara sungguh-sungguh dan dalam buku Latihan Rohani (n 353) dia menulis “kita harus selalu menjaga pikiran kita siap dan siaga untuk mematuhi Mempelai Kristus sejati dan Bunda Suci kita, Gereja yang Hierarkis”. Kepatuhan religius hanya dapat dimengerti sebagai kepatuhan dalam cinta. Inti yang paling mendasar dari spiritualitas Ignatian terdapat dalam menyatukan cinta kepada Allah dan cinta kepada Gereja Hierarkis.

...

Ignatius menempatkan dirinya dibawah perintah Uskup Roma “supaya tidak tersesat dalam via Domini (jalan Tuhan)” (Konst 605) dalam penyebaran para biarawannya ke seluruh dunia dan untuk hadir dimana kebutuhan Gereja lebih besar.

Waktu berubah dan Gereja sekarang harus menghadapi kebutuhan baru dan mendesak, saya akan menyebutkan satu, yang dalam penilaian saya sangat penting dan kompleks pada masa sekarang ini dan saya mengajukannya supaya menjadi pertimbangan kalian. Yaitu kebutuhan untuk menyampaikan kepada umat dan kepada dunia kebenaran otentik yang diwahyukan dalam Kitab Suci dan Tradisi. Perbedaan doktrinal pada semua tingkatan, diantara mereka yang karena panggilan dan misi dipanggil untuk mewartakan Kerajaan kebenaran dan cinta, membingungkan umat beriman dan menuntun kepada relativisme tanpa batas. Hanya ada satu kebenaran, walaupun ia harus selalu diketahui lebih dalam.

Adalah tugas “kuasa mengajar Gereja yang hidup, yang kekuasaannya dijalankan atas nama Yesus Kristus yang adalah jaminan kebenaran yang diwahyukan. Semoga mereka yang menurut peraturan kalian, bertugas mengawasi ajaran dalam majalah dan publikasi kalian melakukannya dalam terang dan menurut “norma sentire cum ecclesia”, dengan cinta dan tanggung jawab.



Kamis, 03 Januari 2008

Antonietta Nennolina

Antonietta Nennolina adalah seorang anak kecil yang meninggal saat berumur 6,5 tahun. Ia meninggal karena kanker tulang dan kehilangan sebelah kakinya.

Tetapi imannya mengagumkan, beberapa bulan sebelum Komuni pertamanya (dan artinya juga beberapa saat sebelum kematiannya) dia menulis doa dibawah ini:


"Yesus yang terkasih dalam Ekaristi, aku sangat mencintaiMu!....
Sangat, sangat mencintaiMu!
Bukan hanya karena engkau adalah Bapa seluruh dunia, tetapi juga karena Engkau adalah Raja seluruh dunia, aku mau selalu menjadi lampu tabernakelMu yang menerangi siang dan malam didekat Engkau dan didekatMu dalam Sakramen Altar.

Aku ingin Engkau memberiku tiga rahmat- pertama jadikan aku kudus, dan ini adalah rahmat yang paling penting;
kedua, berikan aku beberapa jiwa;
dan ketiga, buatlah aku kembali berjalan normal, dan sebenarnya ini tidaklah seberapa penting. Aku tidak memintaMu untuk mengembalikan kakiku, aku memberikannya untukMu!

Yesus terkasih aku menyukai guruku Suster Naomi. Aku sangat mencintainya, maka tolonglah dia untuk melakukan semua hal yang Engkau kehendaki agar ia melakukannya.

Yesus Ekaristi terkasih!
Aku sangat mencintaiMu sehingga aku sangat menantikan natal.
Buatlah hatiku bersinar bagiMu saat Engkau datang kedalam hatiku yang miskin.
Yesus terkasih, aku akan membuat banyak kurban yang akan aku persembahkan padaMu saat Komuni Pertamaku.

Yesus Ekaristi terkasih!.....
Aku mau menderita banyak untuk menebus juga dosa orang-orang, terutama mereka yang sangat jahat.
Yesus Ekaristi terkasih, aku mengucapkan selamat tinggal padaMu dan menciumMu.
Antoinetta Mu.
Selamat malam Yesus, selamat malam Maria."


Gadis kecil ini juga mengatakan kepada ibunya:
"Saat aku menderita aku langsung berpikir tentang Yesus, sehingga aku tidak menderita lagi! Sangat mudah untuk tidak menderita: jangan pikirkan sakitmu, tapi pikirkan Yesus, karena Ia telah menderita sedemikian sehingga engkau tidak menderita lagi."

Lebih jauh tentang dia:
http://wdtprs.com/blog/2007/12/nennolina/#comments
dan
http://www.nennolina.it/index.html


Sebagai tambahan:

1. Nennolina menerima Komuni Pertamanya pada Misa Malam Natal, itulah sebabnya dia mengatakan ia sangat menantikan Natal.