Selasa, 13 November 2007

Lucunya..........




Boneka ini mengenakan Pallium yang sama dengan Paus Benediktus XVI. Very Nice....

Pelarangan Penggunaan Warna Merah Saat Berkabung Dalam Tradisi Cina

Dibawah ini adalah jawabanku yang aku tulis untuk seorang teman yang menanyakan tentang hal yang aku pasang sebagai judul posting ini diatas yaitu bagaimana seorang Kristen bersikap terhadap pantangan memakai warna tertentu (dalam hal ini merah) pada saat masa perkabungan menurut tradisi Cina. Jawabanku disini ditampilkan dengan diedit seperlunya

Pada prinsipnya adalah sangat umum dalam setiap bangsa atau masyarakat punya warna-warna khusus yang mengekspresikan perasaan atau harapan tertentu. Dalam Gereja hal seperti ini pun berlaku misalnya kita punya warna-warna liturgis.

Nah, dalam masyarakat cina aku kira merah biasanya dianggap sebagai warna kegembiraan dan kemakmuran, meskipun aku gak bisa memastikan ini tapi kita toh bisa lihat bagaimana warna ini begitu dominan saat perayaan tahun baru cina dimana orang mengharapkan agar di tahun yang baru segalanya berlangsung lebih baik dan rezeki juga lancar. Dan dari sudut pandang ini sangat wajar kalau warna merah kemudian dilarang untuk dipakai pada masa berkabung (yah anehlah lagi abis ada yang meninggal kok memakai warna yang identik dengan kegembiraan). Bagaimanapun harus ditekankan bahwa kita menolak mitos dan takhayul seperti melanggar pantangan itu (i.e memakai warna merah dalam masa berkabung) akan membawa sial, digentayangin arwah orang yang meninggal, atau apapun. Semua mitos semacam ini tidak bisa mendapat tempat dalam kehidupan iman kita.

Dari dari sisi lain seperti yang juga telah disinggung diatas jelas gak ada keberatan samasekali untuk melestarikan kebiasaan tidak memakai warna merah selama masa berkabung. Malahan, menurut aku, sebaiknya dipelihara toh menjadi Katolik tidak berarti membuang tradisi yang baik dari leluhur kita hanya perlu menyelaraskannya dengan iman kita.

Kedua, sepanjang yang aku tahu warna berkabung tradisional dalam kebudayaan cina adalah putih. Dan aku menemukan hal yang menarik dari
Literatur Lengkap Ajaran Konfusius
Bab 10.6 (dikutip sebagian)
....Sementara untuk masa berkabung, hingga selesai, ia takkan mengenakan perhiasan samasekali. Semua pakaian seragam harus dipotong lebih pendek ketimbang pakaian upacara. Ia tidak pernah mengenakan pakaian berwarna hitam kalau melayat. Pada hari pertama setiap bulannya, kalau menghadap raja, ia harus selalu mengenakan pakaian upacara.

Bagian 10.6 ini lengkapnya berbicara tentang cara memilih pakaian bagi orang terhormat. Dan disini dikatakan bahwa memakai pakaian hitam kalau melayat adalah tidak layak bagi orang terhormat. Tapi rasanya orang-orang keturunan cina di indonesia mulai cukup biasa untuk mengenakan pakaian hitam kalau melayat. Jadi rasanya ada pergeseran tradisi disini.

Aku cukup yakin bahwa pemilihan warna dalam hal ini sebenarnya hanya menggambarkan bagaimana suatu komunitas memandang arti dari suatu warna (dan bukannya mitos-mitos). Di Cina pada masa lalu rupanya putih dianggap lebih mengungkapkan perasaan dukacita atau mungkin juga menggambarkan bagaimana seorang yang mati adalah polos dimana dia tidak membawa harta atau benda materi lainnya yang telah diperoleh didunia ini semua ditinggalkan sehingga dibandingkan hitam sehingga warna putihlah yang dipakai.

Dalam liturgi Gereja sendiri pengaturan warna sebenarnya tidaklah seketat yang dibayangkan orang. Umumnya orang Katolik pasti sudah tahu pembagian itu garis besarnya, yang jarang orang tahu adalah dalam pesta-pesta besar pakaian liturgis yang bahannya paling bermutu boleh dipakai walaupun warnanya tidak sesuai dengan aturan umum (mis waktu Natal ungu bisa dipakai kalau memang bahan untuk stola dan kasula ungu lebih bermutu dibandingkan yang warna putih) dan juga ada pengaturan yang berbeda untuk ritus non-latin serta sejumlah pengecualian yang memang tidak diberikan dengan gampang bagi beberapa keuskupan (di Toledo misalnya pada pesta-pesta Maria dan masa Adven dipakai biru dan bukan putih dan ungu) atau pengecualian untuk Paus (pada Misa Arwah untuk para Paus dipakai merah).

Senin, 05 November 2007

Dimana Tangisan Itu?

Jeritan tangis itu tak terdengar lagi
dan kesunyian yang tercipta sepertinya takkan pernah pecah lagi
mereka yang merindukan suara tangis itu bertanya,
"Dimana dia? Mengapa tangisnya tak terdengar lagi?"

Tangis itu sudah lenyap sekarang
ia berubah menjadi untaian kata yang panjang
yang menyejukkan namun kadang menyakitkan
tapi ia hanya mengatakan apa yang seharusnya ia katakan

Segala sesuatu datang dan pergi seolah tanpa arti
dia yang dulu kecil kini merekah dalam kemudaannya
namun dengan segera ia pun menjadi tua dan layu
dan sekarang ia pun mencari
"apa artinya semua ini?"

Sabtu, 27 Oktober 2007

Interview dengan Msgr. Guido Marini

CITTA' DEL VATICANO- Ia baru saja tiba di Vatikan: pria berusia 42 tahun dengan aksen Genoanya yang kental, dididik oleh Giuseppe Cardinal Siri dan rekan kerja yang akrab dari Uskupagung Dionigi Tettamanzi, Tarcisio Bertone dan Angelo Bagnasco, dialah Msgr. Guido Marini Ceremoniarius liturgi kepausan yang baru, pengganti dari Msgr. Piero Marini, berbicara pertama kasilnya sejak pengangkatan dirinya untuk tugas yang penting ini dan ia berbicara kepada Petrus (pewawancara yang asli).

Tuanku (Monsignor), pertama-tama selamat datang dan Saya berharap agar pekerjaan Anda berjalan lancar
GM: Terimakasih atas dukungannya, Saya benar-benar membutuhkan itu. Kamu tahu, bahwa Saya masih baru di Roma, dan Saya masih melihat-lihat keadaan, Saya terlibat didalamnya, dan juga ada dalam pikiran Saya bahwa disini ada banyak hal yang harus dikerjakan dan diperhatikan, percayalah.

Jadi kita beralih dari satu Marini kepada yang lainnya: apa yang ingin Anda katakan tentang Piero, pendahulu Anda?
GM: Saya berterimakasih kepadanya dari dalam hati saya. Dia telah melakukan banyak hal bagi Gereja, dia telah melayani dua Paus, dan Saya disini hanya pada permulaan pelayanan Saya.

Katanya tugas Anda itu berat.....
GM: Jelas..Kehidupan setiap ceremoniarius kepausan dipenuhi masalah. Kami ada dalam sorotan, dan kami disini tidak dapat memberikan kelonggaran untuk melakukan kesalahan mencolok.

Banyak yang memperkirakan bahwa Anda dipanggil karena dalam hal liturgi Anda lebih tradisional dan ketat daripada Uskupagung Piero Marini. Tapi apa sebenarnya konsep Anda tentang liturgi?
GM: Apa yang Gereja inginkan dan ajarkan, tidak lebih, tidak kurang. Saya bukan tipe orang yang mencari-cari sesuatu yang baru atau aneh. Mungkin Saya terdengar blak-blakan, tapi liturgi membutuhkan hormat terhadap aturan yang ditetapkan oleh Gereja, dan Saya tidak melihat alasan apapun mengapa Saya harus mengabaikan semua aturan itu.

Katanya di Genoa, dimana Anda bekerja sampai saat ini, liturgi sangat diperhatikan, meriah dan anggun, tanpa ada yang aneh-aneh
GM: Liturgi memang sudah begitu dari hakekatnya. Biarkan Saya mengulanginya: Tidak seorangpun dapat mengesampingkan norma-norma liturgi. Misa adalah pemberian, adalah rahmat, bukan pertunjukkan. Jadi, tidak ada ruang untuk kreatifitas dibuat-buat, tapi ketaatan mutlak kepada norma liturgi.

Paus Benediktus XVI, selain seorang teologian yang hebat, juga seorang liturgis yang baik. Dia memberi banyak sumbangan pemikiran terhadap liturgi, tanggapan Anda
GM: Bekerjasama dengan Bapa Suci akan menjadi rahmat bagi saya. Popularitas Paus memenuhi kepala setiap orang sebagaimana dia mewartakan kebenaran dan semangatnya. Sejauh mengenai liturgi, Saya sepenuhnya sejalan dengan pendapat Paus: Misa adalah kurban.

Menurut Anda, apakah liturgi telah sering dilanggar belakangan ini?
GM: Kamu tahu, Gereja itu besar. tapi sebagaimana Paus juga telah mengakui sendiri dalam suratnya yang menjelaskan Motu Proprio Summorum Pontificum, telah terjadi penyelewengan dan penafsiran keluar jalur dari liturgi. Yang bisa Saya katakan adalah Saya memastikan Saya tidak akan menjadi biang kerok dari penyimpangan apapun, dan Saya akan membatasi diri Saya untuk menerapkan secara sangat seksama aturan yang berlaku sekarang ini.

Dalam hal itu, apa pendapat Anda mengenai Motu Proprio yang memperluas penggunaan Misa Tridentine?
GM: Saya setuju 100% dengan Motu Proprio sebagai tindakan yang sesuai dengan akal sehat, keadilan, kebebasan, dan berpandangan luas.

Artikel ini diambil dari What Does The Prayer Really Say

Pertanyaan tentang keselamatan

Diambil dari Katekismus St. Pius X

24 Q. Untuk diselamatkan apakah cukup dengan menjadi anggota Gereja Katolik?

A. Tidak, untuk diselamatkan tidak cukup sekedar menjadi anggota Gereja Katolik; adalah perlu untuk menjadi anggotanya yang hidup.

25 Q. Siapakah anggota Gereja yang hidup?

A. Anggota Gereja yang hidup adalah mereka yang hidup benar, dan hanya mereka yang hidup benar inilah, yang sesungguhnya berada dalam rahmat Allah.

26 Q. Dan siapa anggotanya yang mati?

A. Anggota Gereja yang mati adalah orang beriman yang ada dalam dosa berat.

27 Q. Dapatkah seorang diselamatkan diluar Gereja Katolik, Apostolik dan Romawi?

A. Tidak, tidak ada seorangpun dapat diselamatkan diluar Gereja Katolik, Apostolik dan Romawi, seperti halnya tidak seorangpun diselamatkan diluar bahtera Nuh, yang merupakan lambang dari Gereja.

28 Q. Kalau begitu bagaimanakah para bapa bangsa, nabi, dan orang benar Perjanjian Lama lainnya diselamatkan?

A. Orang benar Perjanjian Lama diselamatkan berkat iman mereka akan Mesias yang akan datang, dengan cara ini secara rohani mereka termasuk kedalam Gereja.

29 Q. Bagaimana jika seorang bukan karena kesalahannya sendiri berada diluar Gereja, dapatkah ia diselamatkan?

A. Jika seseorang bukan karena kesalahannya sendiri, yaitu bahwa jika ia memiliki kehendak baik, dan jika ia telah menerima Baptisan atau setidaknya secara implisit ia memiliki keinginan untuk dibaptis; dan jika ia, dengan tulus hati mencari kebenaran dan melakukan kehendak Allah dengan sekuat tenaga maka orang itu walaupun ia terpisah dari tubuh Gereja, tapi ia bersatu dengan jiwa Gereja sehingga ia berada dalam jalan keselamatan.

30 Q. Jika seorang adalah anggota Gereja Katolik namun tidak menjalankan ajarannya, apakah ia akan diselamatkan?

A. Orang yang merupakan anggota Gereja Katolik dan tidak menjalankan ajarannya adalah anggota yang mati dan karenanya tidak dapat diselamatkan; untuk memperoleh keselamatan bagi orang dewasa (yang mampu menggunakan rasionya) yang diperlukan tidak hanya iman dan Baptis, tetapi lebih jauh lagi, adalah perbuatan yang sejalan dengan iman.

Naik ke gunung Tuhan

Kali ini kita akan membahas teks doa yang dalam misa Tridentine diucapkan imam dengan suara perlahan saat ia menaiki anak tangga Altar. Inilah teks doanya:

Aufer a nobis, quaesumus, Domine , iniquitates nostras: ut ad Sancta sanctorum puris mereamur mentibus nostris. Per Christum Dominum nostrum. Amen.

[Jauhkanlah dari kami, kami mohon kepadaMu, Tuhan, segala kejahatan kami: agar kami memasuki tempat kudusMu dengan hati yang murni. Demi Kristus Tuhan kami. Amin]

Ketika Musa bertemu dengan Tuhan pertama kalinya di gunung Horeb, Tuhan meminta Musa untuk melepas kasutnya karena ia akan masuk ke dalam tempat kudusNya dan begitu Musa sadar bahwa ia berhadapan dengan Dia yang disembah oleh para leluhurnya yaitu Abraham, Ishak, dan Yakub ia menutupi wajahnya karena takut memandang Allah (Kel 3:5-6). Allah adalah kudus (Im 19:2), Ia adalah terang dan di dalam Dia tidak ada kegelapan (1Yoh 1:5) dan tanpa kekudusan kita tidak dapat melihat Allah (Ibr 12:14). Cukup jelas bahwa saat hendak menghadap Allah kita memerlukan suatu keadaan yang bernama kekudusan.

Dalam misa yang sama juga, sebelum imam naik ke Altar, ia bersama para putera altar akan mendoakan mazmur 43 secara bergantian. Sekarang, kita akan mengarahkan perhatian kita ke ayat 3 dan 4 yang merupakan inti dari mazmur ini dan merupakan alasan utama mengapa ia didoakan di awal misa kudus:

“Suruhlah terangMu dan kesetiaanMu datang, supaya aku dituntun dan dibawa ke gunungMu yang kudus dan ke tempat kediamanMu! Maka aku dapat pergi ke mezbah Allah, menghadap Allah yang adalah sukacita dan kegembiraanku.”

Altar adalah gunung Tuhan, tempat Ia berdiam dan kurban kepadaNya dipersembahkan. Hal ini cukup jelas misalnya dalam nubuat Yesaya ini:

“Dan orang-orang asing akan menggabungkan diri kepada Tuhan untuk melayani Dia, untuk mengasihi nama Tuhan dan untuk menjadi hamba-hambaNya, semuanya yang memelihara hari sabat dan tidak menajiskannya, dan yang berpegang pada perjanjianKu, mereka akan Kubawa ke gunungKu yang kudus dan akan Kuberi kesukaan di rumah doaKu, Aku akan berkenan kepada kurban-kurban bakaran dan kurban-kurban sembelihan mereka yang dipersembahkan di atas mezbahKu, sebab rumahKu akan disebut rumah doa bagi segala bangsa.” (Yes 56: 6-7)

Rasa takut dan tidak pantas yang dialami oleh Musa, juga hendaknya dialami oleh para imam. Ketakutan ini adalah kesadaran bahwa diri tidak pantas untuk naik ke gunung Tuhan dan untuk mempersembahkan kurban kepada Allah, karena kenyataaan bahwa diri tidak selalu berpegang kepada perjanjianNya. Lebih jauh lagi, nubuat nabi Yesaya diatas secara khusus berbicara mengenai para imam perjanjian baru yang tidak berasal dari keturunan Harun dan adalah orang asing namun Ia bawa ke gunungNya dan Ia berkenan atas persembahan kurban mereka.

Doa ini digunakan untuk mengingatkan para imam akan ketidakpantasan mereka naik ke Altar dan mempersembahkan kurban, dan terutama untuk membuat mereka semakin maju dan bersemangat mengusahakan kekudusan diri mereka. Dan ketika imam mempersembahkan misa dengan pribadi yang kudus maka ia mendatangkan banyak rahmat bukan hanya bagi dirinya tapi juga bagi umat beriman yang ikut merayakan misa bersamanya. Dalam doa ini para imam meminta agar Allah menjauhkan mereka dari segala kejahatan agar mereka dapat masuk ke tempat kudus Allah, dengan cara yang serupa gagasan ini juga muncul dalam mazmur 24:

“Siapakah yang boleh naik ke atas gunung Tuhan? Siapakah yang boleh berdiri di tempatNya yang kudus? Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan dan yang tidak bersumpah palsu. Dialah yang akan menerima berkat dari Tuhan dan keadilan dari Allah yang menyelamatkan Dia.” (3-5)

Sejalan dengan banyak kutipan kitab suci diatas kita kembali lagi kepada kesimpulan bahwa kekudusan mutlak perlu bagi para imam yang akan mempersembahkan kurban di Altar. Mereka harus hidup dalam pertobatan yang terus-menerus, memperbaiki diri dan melatihnya agar semakin bertumbuh dalam keutamaan hidup Kristen. Dan jika mereka jatuh mereka harus secepatnya berdamai kembali dengan Allah melalui tobat pribadi dan jika mereka berdosa berat dengan secepatnya menerima sakramen Tobat. Menarik bahwa Missale Romanum sebelum 1970 masih menganjurkan agar sedapat mungkin imam menerima sakramen tobat (dari seorang imam lain tentunya) setiap kali ia hendak mempersembahkan misa! (aku tidak tahu apakah imam-imam zaman sekarang masih rajin menerima sakramen tobat, tapi rasanya menarik jika ini diteliti).

Walaupun secara khusus doa ini digunakan oleh para imam (jika mereka merayakan misa Tridentine persisnya) namun doa ini juga penting untuk kita karena kita pun ikut mempersembahkan kurban dan juga kita ikut ambil bagian dalam persembahan kurban Kristus yang dipersembahkan kepada Bapa dalam Roh Kudus melalui tangan mereka. Persembahan kita ialah tubuh kita yang kita persembahkan sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah (Rom 12:1), maka kita juga perlu untuk memotivasi diri dan sudah pasti selalu mengusahakan agar hidup kita menjadi lebih baik dan lebih benar.

Sekalipun doa ini tidak lagi digunakan dalam misa Paulus VI, namun bukan berarti gagasan yang terkandung didalamnya ditolak atau tidak digunakan lagi. Gagasan itu tetap hidup dan ada, walaupun tidak lagi diungkapkan dengan cara yang se-eksplisit atau se-intensif dalam misa Tridentine. Sekurangnya toh kita masih menemukan hal ini dalam Kitab Hukum Kanonik:

Kan 916. Seorang yang sadar telah berdosa berat jangan merayakan Misa ( ini berbicara tentang para imam) atau menerima Tubuh Tuhan (ini menyangkut umat) tanpa pengakuan sakramental kecuali jika ada alasan berat dan tidak ada kesempatan mengaku dosa, dalam hal ini orang tersebut hendaknya ingat bahwa ia berkewajiban membuat sesal sempurna yang termasuk didalamnya niat untuk mengaku dosa secepat mungkin.

Dan juga bagi para imam tentang perlunya mempersiapkan diri dengan layak sebelum masuk ke tempat kudus Allah, juga dikatakan:

Kan 909. Imam tidak boleh lalai mempersiapkan dirinya secara layak melalui doa untuk perayaan
kurban ekaristi dan untuk bersyukur kepada Allah sesudahnya.

Berlututlah didepan Tuhanmu!


Ini adalah gambar foto bagaimana umat menerima Komuni dalam Misa Tridentine. Kita menerima Komuni dengan berlutut dan langsung di lidah.

Imam akan memperlihatkan Hosti kepada kita dan sambil membuat tanda salib mengatakan:
Corpus Christi custodiat animam tuam ad vitam aeternam (Tubuh Kristus menjaga jiwamu untuk hidup kekal)
dan kita menjawab "Amen". Setelahnya Imam akan meletakkan Hosti di lidah kita.

Sementara itu seorang Putera Altar akan membawa Patena untuk menjaga agar jangan sampai ada pecahan Hosti yang jatuh ke lantai.

Sekarang ini menerima Komuni seperti itu tidak dilarang, tapi pasti akan terlihat cukup aneh sekalipun kita tidak berminat untuk menarik perhatian orang lain. Aku masih merasa bahwa menerima dengan berlutut lebih sopan dibandingkan dengan berdiri, dan begitu juga menerima langsung di lidah lebih pas daripada menerima di tangan.

Roma sendiri menganjurkan agar menerima di lidah dipertahankan, dan menerima di tangan sebisa mungkin dihindarkan. Praktek sekarang menerima di tangan hanya diizinkan untuk wilayah tertentu namun Imam (dan pembagi Komuni) berhak untuk memaksa penerima menerima langsung di lidah apabila terlihat tanda sikap tidak hormat dan adanya bahaya sakrilegi dan dengan sendirinya melarang penerimaan Komuni di tangan. Tapi tidak seorangpun entah siapapun dia boleh memaksa orang menerima Komuni di tangan, menerima Komuni langsung di lidah, entah berdiri atau berlutut adalah hak semua orang beriman dimanapun dan kapanpun!

Bagaimanapun yang terpenting ialah menerima Komuni dalam keadaan rahmat.

Rabu, 24 Oktober 2007

Mengenal Ibadat Harian

Kata “ibadat harian” merupakan terjemahan dari liturgia horarum yang merupakan nama resmi dari serangkaian doa yang dijalankan oleh Gereja sepanjang hari. Sebelumnya kegiatan ini disebut dengan nama ofisi ilahi atau kadang dipakai istilah brevir (kependekan dari breviarium romanum) yang merupakan judul dari buku yang berisi mazmur, kidung, himne, bacaan dan doa yang digunakan untuk ofisi ilahi pada masa pra vatikan II. Nama brevir sendiri berarti rangkuman dan buku itu disebut demikian karena sudah merangkum atau memuat semua teks yang sebelumnya tersebar pada berbagai buku (Alkitab, buku nyanyian, buku doa) sesuai dengan yang dibutuhkan untuk mendoakan ibadat harian sehingga saat memudahkan pendoa yang harus berpergian karena ia tidak perlu lagi membawa banyak buku yang berat dan mahal.

Doa ini dijalankan dalam jam-jam tertentu sepanjang hari, dan dengannya Gereja menguduskan segala kegiatannya sepanjang hari dan mempersembahkannya kepada Allah. Secara tradisional jam-jam itu ialah: Officium Lectionis atau sebelumnya Nocturno (dilakukan subuh menjelang pagi ataupun malam hari, namun sekarang ini dibebaskan untuk mendoakannya pada waktu kapanpun) Laudes (pagi hari, saat matahari terbit), Terce (jam 9 pagi), Sext (jam 12 siang, tengah hari), Nona ( jam 3 siang) [ketiga jam doa siang ini sekarang disebut dengan nama Ibadat siang atau Hora media], Vesper (sore hari, saat matahari terbenam), Completorium (menjelang tidur). Sedapat mungkin hendaknya agar ibadat-ibadat ini didoakan dalam waktu tradisionalnya, namun penyesuaian dengan jadwal kegiatan sehari-hari tetaplah dimungkinkan.

Pada komunitas-komunitas biara yang menjalani hidup kontemplatif diharapkan agar pola tradisional ini tetap dijalankan, sementara bagi mereka yang diluar itu diperbolehkan untuk mengurangi jumlah jam sesuai dengan keadaan masing-masing dengan batas minimal ialah Laudes dan Vesper, yang merupakan dua ibadat utama tetap didoakan. Meskipun yang terikat kewajiban untuk mendoakan ibadat harian ini hanyalah para imam, diakon transisional (yang nantinya akan ditahbiskan imam), serta para biarawan/wati yang sudah berkaul kekal, namun sangat dianjurkan agar mereka yang tidak terikat kewajiban ini (ditempat pertama adalah para calon imam dan biarawan/wati dan selanjutnya semua umat beriman) juga entah bersama para imam atau dalam komunitas biara atau antar mereka sendiri atau sendirian saja dapat ambilbagian dalam ibadat ini. Sangat diharapkan agar dalam retret, rekoleksi, ataupun pembinaan rohani yang dijalani para awam ibadat harian diperkenalkan dan didoakan (dinyanyikan) bersama-sama terutama pada Laudes, Vesper dan Completorium. Juga dalam paroki-paroki hendaknya para imam berusaha agar umat beriman dapat ambilbagian dalam ibadat harian terutama Vesper di hari minggu dan hari-hari raya.

Gereja mewarisi kebiasaan ini dari umat Allah perjanjian lama (cf. Mzm 119:164; Dan 3: 11) dan mengembangkannya sendiri dalam tradisinya. Karena alasan itu, maka mazmur-mazmur tetap merupakan unsur utama dari ibadat ini, penambahan antifon (refrein) dan kebiasaan menutup mazmur dengan “kemuliaan kepada Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus” memberikan makna kristen yang baru kepada tiap mazmur dan kidung dari perjanjian lama.

Harus diakui bahwa mengikuti ibadat ini dalam bentuk resminya tidak begitu mudah, selain bukunya agak mahal (sekitar Rp. 75.000) juga menggunakannya pun butuh sedikit latihan sebelum terbiasa. Bagi yang ingin menggunakan buku itu sangat perlu untuk membaca baik-baik petunjuk-petunjuk di halaman depannya dan juga membaca Pedoman Umum Ibadat Harian yang merupakan pedoman resmi dari Roma untuk pelaksanaan ibadat harian. Sementara untuk struktur yang disederhanakan kita bisa melihatnya di Puji Syukur no. 29 untuk ibadat pagi (hal. 25), no. 51 untuk ibadat sore (hal 51), serta no. 69 untuk ibadat penutup (hal. 73). Untuk ibadat pagi dan ibadat sore dipilih 3 mazmur setiap kali berdoa, sementara untuk ibadat penutup cukup satu mazmur saja (dan dapat menggunakan pilihan mazmur secara lebih bebas). Madah dapat diganti dengan lagu lain atau ditiadakan, sementara bacaan dapat diganti atau diperpanjang dengan perikop pilihan sendiri, biasanya bacaan untuk pagi hari digunakan dari perjanjian lama sementara untuk sore digunakan bacaan dari perjanjian baru, juga doa permohonan dan penutup dapat diganti dengan doa spontan. Kita juga bisa mendoakan ibadat harian dalam bahasa inggris secara on-line dengan membuka website http://www.universalis.com

Walaupun, mungkin, kita tidak dapat mengikuti ibadat harian dalam bentuk resmi atau yang disederhanakan ini, tetapi hendaknya kita selalu berusaha untuk menyediakan waktu doa secara teratur dalam satu hari. Selain doa resmi ini, kita juga masih mengenal devosi populer Angelus dan Regina Caeli. Harapannya ialah dengan berdoa secara teratur dalam satu hari, kita benar-benar menguduskan aktifitas kita sehari-hari dan mempersembahkannya kepada Allah dan dengan cara itu kita ambilbagian dalam perutusan Gereja menguduskan dunia dan mempersembahkannya kepada Allah.

Daftar baca pribadiku

Aku termasuk orang yang senang membaca, dan termasuk tipe orang yang membaca buku apa saja. Dibawah ini adalah daftar buku-buku yang sedang aku baca setidaknya dalam satu bulan terakhir ini:

1. Prajurit dan Negara: Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil oleh Samuel P. Huntington

Buku ini berisi tentang berbagai pandangan mengenai hubungan militer-sipil dengan mengambil contoh dari yang terjadi di Eropa, Amerika dan Jepang. Penekanan yang sangat besar diberikan pada hubungan militer-sipil di Amerika sejak revolusi kemerdekaan sampai era modern, sementara hubungan militer-sipil di Jerman sejak menjelang perang dunia I sampai akhir perang dunia II dan Jepang setelah restorasi Meiji sampai akhir perang dunia II mendapat penjelasan yang lumayan tapi tidak terlalu mendalam, sementara di negara-negara eropa lainnya hanya disinggung sepintas saja.

2. Kumpulan Kisah Klasik Dinasti Ming dikompilasi oleh Feng Menglong (1574-1646): Berkumpulnya Kembali Naga dan Harimau (kisah 1-10) dan Zhang Sunnmei Bertemu Gadis Cantik di Festival Lentera (kisah 21-40)

Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek yang sudah hidup dan sepertinya cukup populer di Cina pada masa akhir pemerintahan Ming. Kumpulan cerita ini diedit oleh Feng Menglong seorang ahli sastra yang bisa dikatakan terbaik di Cina pada masanya. Cara bertutur yang jauh berbeda dengan pengarang modern membuat cerita-cerita ini kadang terasa membosankan dan berputar-putar karena diselingi oleh banyak komentar dan puisi yang diselipkan diantara cerita. Yang mengejutkan ialah gaya hidup Feng Menglong yang bebas (pada zamannya gaya hidup Feng menimbulkan kontroversi antara dirinya dengan para moralis Konfusian) tampaknya cukup mempengaruhi gaya penulisannya. Dalam beberapa cerita hubungan seks diantara para tokoh digambarkan dengan cara yang cukup detail, terbuka tapi tidak murahan. Kadang-kadang dalam beberapa cerita Feng seolah mengidentikkan dirinya dengan kepribadian sejumlah tokoh, terutama yang memiliki ciri-ciri: pecinta ulung (atau playboy), cerdas, berkemauan kuat, menjunjung tinggi persahabatan lebih daripada keluarga (cukup aneh pada masyarakat Cina tradisional yang sangat terikat pada keluarganya), dan memiliki tanggungjawab sosial yang tinggi.

3. China Undercover: Rahasia Di Balik Kemajuan Cina oleh Chen Guidi dan Wu Chuntao

Belum dibaca bahkan sampai setengahnya sekalipun, tapi garisbesarnya ingin menunjukkan bahwa kemajuan yang dicapai oleh pemerintahan RRC dalam beberapa tahun terakhir ini hanya semu saja, dan kenyataannya ialah mayoritas rakyat Cina hidup dalam kemiskinan dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah. Di Cina buku ini dilarang beredar dan pemerintah menyatakan bahwa isinya adalah kebohongan, penulisnya telah diadili dan sampai maret 2006 (saat mereka menulis kata pengantar buku ini) masih menantikan keputusan pengadilan.

4. Orang Indonesia dan Orang Prancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX oleh Bernard Dorleans

Hasil penelitian dari berbagai teks-teks Perancis mengenai Indonesia, beberapa diantaranya adalah arsip pemerintah, catatan perjalanan wartawan, laporan ekspedisi ilmiah, atau kesan pelancong yang berkunjung ke Nusantara. Beberapa diantaranya sangat menarik bahkan lucu.

5. Latihan Pelayan Sel Komunitas: Komunitas Tritunggal Mahakudus

Sebenarnya yang ini baru dilihat-lihat saja dan belum benar-benar dibaca. Nantilah kalau iseng baru dibaca ^_^ .

6. Keluar Dari Benteng Pertahanan oleh Olaf Schumann

Penulisnya adalah seorang pendeta Lutheran yang mendalami hubungan antar agama. Pengalamannya mempelajari Islam di Majma al-Buhuth al-Islamiyya al-Azhar menjadikan ia memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Islam dan membuatnya terbiasa dengan suatu cara pandang non-Kristen. Dalam buku ia hanya mencoba menampilkan bagaimana agama-agama memandang hal-hal tertentu seperti maut dan kebangkitan. Selain buku ini ia juga pernah menulis buku berjudul Pemikiran Keagamaan Dalam Tantangan yang membahas hubungan Yahudi, Kristen, dan Islam. Informasi yang dia sampaikan sangat bagus dan aku pikir merupakan buku yang layak dibaca. Pandangan Schumann terhadap agama-agama non-Kristen umumnya sangat positif meskipun ia mengakui bahwa ada hal-hal yang tidak bisa direkonsiliasikan menyangkut ajaran, bisa dikatakan ia seorang pendukung pluralisme walaupun teologi kristen nya cenderung terlalu terbuka dan malahan sepertinya ia menganut relativisme, tapi rasanya berbicara ortodoksi disini bukan pada tempatnya karena Schumann toh memang bukan Katolik dan ini adalah buku teologi dan bukan buku rohani. Namun, bukunya sangat bagus dan bisa dianggap sangat baik untuk buku teologi berbahasa indonesia

Senin, 22 Oktober 2007

Penjelasan Liturgi Misa (bag. 2 Liturgi Sabda)

Bacaan-Bacaan

Sejak 1969 ditetapkan bahwa dalam Misa Hari Minggu digunakan struktur Bacaan Pertama-Mazmur Tanggapan- Bacaan Kedua-Bacaan Injil. Bacaan dibagi kedalam siklus 3 tahun menurut bacaan Injil yang mendominasi tahun tersebut (A-Matius, B-Markus, C-Lukas, sementara Yohanes disebar dalam tiga tahun tersebut). Sementara, untuk Hari Raya walaupun berstruktur sama namun hanya ada satu rangkaian bacaan yang digunakan setiap tahunnya.

Biasanya Bacaan Pertama diambil dari Perjanjian Lama, kecuali pada masa Paskah dimana seluruhnya diambil dari Kisah Para Rasul. Sementara Bacaan Kedua selalu diambil dari Perjanjian Baru non-Injil. Bacaan Pertama umumnya selalu memiliki kaitan tematis yang langsung dengan Bacaan Injil sementara Bacaan Kedua umumnya bersifat kontinuitas (penerusan) dan tidak selalu memiliki kaitan tematis yang langsung baik dengan Bacaan Pertama maupun Injil (kecuali pada Hari Raya dan Masa liturgis khusus dimana pengaturannya umumnya lebih tematis).

Untuk Pesta, Peringatan (Memoria obligatoria dan facultativa) dan Hari Biasa tanpa pesta (Feria) digunakan struktur Bacaan Pertama-Mazmur Tanggapan-Bacaan Injil. Perbedaannya ialah jika dalam Pesta ditunjuk bacaan-bacaan khusus sementara untuk Peringatan dan Feria bacaan mengikuti siklus dua tahunan yang terdiri dari tahun I dan II. Dalam siklus dua tahunan ini bacaan Injilnya sama dan yang berbeda ialah bacaan pertama dan pilihan mazmurnya.

Harap diperhatikan bahwa Mazmur merupakan bagian integral dari Liturgi Sabda dan karenanya tidak bisa digantikan dengan “lagu antarbacaan” (PUMR 61). Sementara Alleluia yang mengiringi perarakan kecil dari Altar ke Ambo (mimbar) dapat ditiadakan jika tidak dinyanyikan, selama masa Prapaskah Alleluia juga tidak dinyanyikan dan hanya ayatnya saja yang dinyanyikan.

Dalam beberapa Hari Raya khusus sebelum bacaan Injil dinyanyikan Sequentia. Untuk sekarang ini Sequentia hanya wajib pada Hari Raya Paskah (Victimae Paschali Laudes) dan Pentakosta (Veni, Sancte Spiritu) sementara Sequentia menjadi fakultatif pada Hari Raya Tubuh Kristus (Lauda Sion Salvatorem), Peringatan Dukacita Bunda Maria (Stabat Mater Dolorosa) dan Misa Requiem serta Peringatan Arwah Orang Beriman (Dies Irae).

Bacaan dimulai dengan menyebutkan dari Kitab atau surat apa bacaan diambil (Lectio secundum….) tanpa menyebut bab dan ayat-ayatnya dan diakhiri dengan “Verbum Domini” yang dijawab “Deo gratias” kecuali Injil yang dijawab “Laus tibi Christe)

Sikap khusus saat Pembacaan Injil

Jika dalam semua bacaan umat mendengarkan dengan duduk, maka saat Injil dibacakan umat berdiri. Sebelum membaca Injil pembaca (Imam) mengucap doa persiapan “Munda cor (sucikanlah hati..)” dengan berbisik atau mohon berkat dari Imam (jika pembaca adalah Diakon).

Sebelum membaca, pembaca memberi salam kepada umat dan sambil mengumumkan dari kitab mana bacaan diambil ia menandai buku bacaan dengan tanda salib dan bersama umat menandai dirinya dengan tiga tanda salib kecil di dahi, bibir, dan dada. Dalam perayaan meriah buku bacaan didupai terlebih dahulu dan Injil (bersama semua bacaan lain) dinyanyikan.

Setelah bacaan Imam mencium Injil sambil diam-diam mengucap doa “Per evangelica dicta, deleantur nostra delicta (semoga karena pewartaan Injil ini pelanggaran kita dihapuskan).” Pemberkatan umat dengan menggunakan buku Injil (evangeliarium) dianjurkan untuk dilakukan pada Misa Agung terutama pada Misa yang dipimpin oleh Uskup (Misa Agung Pontifikal).

Homili

Diwajibkan pada Misa Hari Minggu dan Hari Raya serta pada Misa-misa lain dengan banyak umat berdatangan. Yang diizinkan untuk membawakan homili hanya Imam tertahbis dan dalam situasi khusus Diakon tertahbis. Awam (biarawan/wati, frater, mahasiswa teologi, dll) tidak diizinkan untuk membawakan homili.

Credo

Hanya diwajibkan pada Hari Minggu, Hari Raya dan Pesta. Dianjurkan agar digunakan Credo Nicaea dan dinyanyikan. Pada saat pengakuan akan misteri inkarnasi diucapkan atau dinyanyikan semua membungkuk kecuali pada Misa Vigili Natal dan Hari Raya Kabar Sukacita semua berlutut.

Doa umat

Hanya diadakan pada Hari Minggu dan Hari Raya, walaupun boleh diperluas pada Misa-misa dengan tingkat kemeriahan yang lebih rendah jika dikehendaki demikian. Urut-urutan permohonannya selalu adalah: bagi Gereja, bagi pemerintahan negara dan kesejahteraan seluruh dunia, bagi mereka yang ditimpa berbagai kesulitan hidup, dan bagi komunitas lokal. Namun kebebasan menyusun intensi doa dan isinya diberikan kebebasan yang relatif besar.

Pada zaman Gereja Perdana para katekumen, simpatisan dan pendosa berat yang tidak dapat menyambut Komuni dipersilahkan meninggalkan Gereja sesudah bagian ini selesai. Walaupun sekarang ini tidak ada aturan yang mengharuskan atau menganjurkan untuk memelihara kebiasaan kuno ini namun juga tidak ada larangan untuk meneruskannya.

Sesuai dengan keadaan setempat tidak ada salahnya jika kebiasaan ini diteruskan, terutama pada Misa-misa dimana ada kemungkinan cukup banyak orang tak beriman yang hadir seperti dalam Misa-misa penyembuhan atau Misa-misa besar lainnya. Jika ini dilakukan maka sebaiknya teks doa penutup dari doa umat sebaiknya menyebut mereka secara khusus dan juga dimohonkan berkat bagi mereka.

Penjelasan Liturgi Misa (bag. 1 Ritus Pembuka)

Antifon Pembukaan dan Perarakan Masuk

Dalam buku Missale Romanum ditentukan sebuah ayat dari Kitab Suci, atau kadang kutipan dari Bapa Gereja yang harus dinyanyikan untuk mengiringi jalannya perarakan. Jika perarakan berlangsung dengan cara meriah dan agak panjang maka ayat itu digunakan sebagai “refrein” bagi suatu mazmur yang dapat ditemukan dalam buku Graduale Romanum atau dipilih sendiri. Sebuah lagu dari buku nyanyian yang diakui oleh Konferensi Uskup dapat menggantikan fungsi antifon ini.

Ritus ini berfungsi terutama untuk mengiringi jalannya perarakan dari sakristi ke Altar, tetapi, juga dapat berguna untuk mempersatukan umat yang hadir dan menyiapkan hati untuk menghadap Allah. Karena itu, ritus ini selalu dapat dihapus jika perarakan berlangsung singkat dan sederhana. Dalam kesempatan khusus (Minggu Prapaskah I dan Hari-hari Tobat) dapat dinyanyikan Litani Para Kudus untuk mengiringi jalannya perarakan.

Tanda Salib dan Salam

Ibadat Israel selalu diawali dengan menyebut nama Allah (Shema Israeli; Ul 6:4), karena alasan inilah ibadat Kristen juga diawali dengan menyebut nama Allah “Bapa dan Putera dan Roh Kudus”. Sementara gerakan tangan menandai diri dengan tanda “T” yang diawali pada dahi menunjuk pada Yehezkiel 9: 4 dan Wahyu 7:3;9:4. Orang Kristen mengartikan tanda T adalah pralambang dari Salib Kristus dan memodifikasi bentuk T menjadi bentuk salib (sekalipun simbol salib “T” masih dipakai sejumlah komunitas tertentu seperti para Fransiskan).

Setelah Tanda Salib menyusul salam. Dalam Gereja Perdana tampaknya ada kebiasaan untuk meninggalkan salam khas Yahudi “Shalom Aleichem” dan seperti nampak dalam surat-surat Rasuli menggantinya dengan bentuk salam baru yang lebih panjang dan lebih khas Kristen walaupun maknanya sejalan, seperti “Kasih karunia menyertai kamu dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus (Rom 1:7; dan dengan sedikit variasi pada tiap awal surat-surat). Bagaimanapun juga generasi Kristen sesudahnya tampaknya lebih menyukai bentuk salam yang lebih singkat dan lebih mirip dengan bentuk salam Yahudi yaitu “Dominus vobiscum (Rut 2:4)” (Tuhan bersamamu) dan untuk Uskup “Pax vobis (Yoh 20: 19, 21)” (Damai bersamamu), disamping kemudian sejak 1969 kembali dipergunakan bentuk salam panjang gaya surat-surat Rasuli, seperti umum dipakai dalam Misa sekarang. Semua jawaban untuk salam ini adalah “et cum spiritu tuo” (dan bersama rohmu) yang diambil dari Gal 6:18.

Pengantar Singkat

Bagian ini samasekali tidak pernah dikenal dalam liturgi Kristen sepanjang zaman, dan baru diperkenalkan oleh Paus Paulus VI tahun 1969. Bagian ini boleh ditiadakan atau dalam Misa-misa yang tidak dinyanyikan antifon pembukaan dapat dibacakan disini.

Confiteor (Pernyataan Tobat)

Bagian ini baru muncul setidaknya sekitar abad ke 5, mulanya digunakan sebagai bagian dari persiapan pribadi Imam dan para pelayan sebelum Misa mulai, namun kemudian dimasukkan sebagai bagian tetap dari Misa sebagai salah satu doa persiapan di kaki Altar (bersama Mazmur 43 dan beberapa doa lain yang sekarang sudah “dipensiunkan”). Pada abad pertengahan seruan ini bertambah panjang dengan dimasukkannya sejumlah nama-nama orang kudus yang dimintai bantuan doa. Missale Romanum 1969 kemudian mempersingkat kembali seruan ini mendekati bentuk aslinya.

Dalam Missale Romanum seruan “Confiteor” boleh diganti dengan beberapa pilihan seperti: 1) litani pujian kepada Kristus yang dijawab seruan “Kyrie eleison, Christe eleison, Kyrie eleison”, 2) mengucapkan atau menyanyikan sejumlah mazmur tobat, 3) pemercikan air suci diiringi madah “asperges me” atau “vidi aquam” dalam masa paskah. Bentuk alternatif ke 3 merupakan tradisi yang tertua dari semua pilihan yang tersedia, sekitar abad pertengahan tradisi ini memudar dan muncul kebiasaan untuk mengambil sendiri air suci dan kemudian menandai diri sendiri dengannya saat masuk gedung gereja. Walaupun secara khusus kebiasaan pemercikan air suci sebelum Misa dimulai tetap dipertahankan dalam Misa Agung.

Sesudah bagian ini selesai Imam menucapkan pernyataan pengampunan yang singkat dan sederhana.

Kyrie eleison

Walaupun artinya adalah “Tuhan kasihani” namun mulanya seruan ini tidak digunakan sebagai seruan pertobatan tetapi digunakan sebagai tanggapan atas permohonan-permohonan (atau sebagai jawaban dalam doa umat) an sebenarnya lebih bernada pujian “Tuhan engkau penuh belaskasih” daripada seruan pertobatan. Dalam Liturgi abad keempat (dan di Gereja-gereja Timur sampai hari ini) doa umat (atau litani permohonan) diucapkan atau dinyanyikan di awal Misa dengan tiap permohonan dijawab “Kyrie eleison, Kyrie eleison, Kyrie eleison”, sementara di Roma muncul “Christe eleison” diselipkan diantara “Kyrie eleison” yang masih kita gunakan sampai sekarang. Di Roma rupanya muncul kebiasaan yaitu pada hari-hari biasa atau Misa dengan sedikit umat doa-doa permohonan itu dihilangkan dan hanya jawabannya saja yang diucapkan. Kebiasaan ini masih dipertahankan sampai sekarang, bahkan ketika doa umat dipindah ke sesudah Credo jawaban versi kuno nya tetap ditinggal di awal Misa, dan muncul penggunaan versi baru seperti dalam alternatif 2 Pernyataan Tobat diatas. Jika alternatif 2 dari pernyataan tobat dipakai maka bagian ini dihilangkan.

Gloria in excelsis Deo

Madah ini berasal mungkin dari sekitar abad ke 3, dan digunakan dalam Ibadat Pagi menurut Ritus Byzantine. Kemudian pengunaannya menyebar sampai akhirnya digunakan dalam semua Misa berkarakter pesta meriah. Dalam ritus Latin sekarang ini Gloria wajib dinyanyikan atau diucapkan dalam Misa yang diadakan pada Hari Minggu (kecuali selama Prapaskah dan Adven) serta Hari Raya (Solemnitas) dan Pesta (Festum). Pedoman Umum Misale Romawi no. 53 melarang teks madah ini diganti dengan teks-teks lain.

Collecta (Doa Pembukaan)

Di sebut Collecta (mengumpulkan) karena kebiasaan dimana sesudah Imam mengucapkan “Marilah berdoa” diadakan saat hening sejenak dimana setiap umat berdoa dalam hati untuk ujudnya masing-masing dan Imam dengan berbisik (atau dalam hati) mengucapkan intensi-intensi Misa yang diajukan pada hari itu. Biasanya teks dari Collecta ini mengungkapkan secara ringkas tema dari Misa pada hari yang bersangkutan. Collecta memiliki cirikhas bahwa ia wajib ditutup dengan konklusi panjang dimana ketiga pribadi Trinitas disebut satu per satu “Per Dominum nostrum Iesum Christum Filium tuum: Qui tecum vivit et regnat in unitate Spiritu Sancti, Deus, per omnia saecula saeculorum” (Demi Yesus Kristus, PuteraMu, Tuhan kami, yang bersama Dikau hidup dan berkuasa dalam persatuan Roh Kudus, Allah, sepanjang segala masa) dan variannya sesuai terdapat dalam Pedoman Umum Misale Romawi.

Collecta harus dibaca sesuai dengan yang ditunjuk dalam Misa yang bersangkutan kecuali dalam hari-hari biasa tanpa pesta dapat digunakan pilihan sesuai yang diatur dalam buku-buku liturgis.

God Is Near Us: The Eucharist The Heart of Life by Joseph Cardinal Ratzinger

Awalnya tulisan ini dibuat untuk R.P. Crispinus Budiman, O.S.C, katanya siapa tahu bisa buat untuk inspirasi homili untuk misa-adorasi tanggal 11 oktober yang lampau. Walaupun akhirnya tidak jadi digunakan karena yang bersangkutan sedang libur, aku memutuskan untuk mempublikasikannya disini.

Dalam buku kecil yang terdiri dari beberapa artikel dan homili yang disusun kembali dalam kesatuan yang baru ini, orang bisa melihat bagaimana garis besar pemikiran Ratzinger mengenai sakramen ekaristi. Dan dalam tulisan ini, saya akan mengungkapkan beberapa hal, yang menurut saya, merupakan gagasan yang menarik dari buku tersebut. Urutan gagasan yang disampaikan disini tidak sepenuhnya sama dengan yang ada dibuku tersebut, saya menyusunnya kembali sesuai jalan pikiran saya.

Ratzinger memandang seluruh hidup Yesus adalah pemberian diri Allah kepada manusia, dan pemberian ini berpuncak pada pengurbanan diri Yesus yang melalui wafatNya di Salib dan kebangkitanNya menyelamatkan seluruh manusia. Peristiwa wafat dan kebangkitan, misteri paskah, dengan begitu merupakan asalmula (origin) dari seluruh tindakan sakramen, khususnya sakramen ekaristi yang merupakan puncak dari semua sakramen-sakramen Gereja.

Dalam bukunya Ratzinger berkali-kali menegaskan sifat kurban dari ekaristi. Betul, bahwa ekaristi juga serentak merupakan suatu perjamuan, tapi ini tidak dapat dipisahkan dari sifat kurbannya (KGK 1382), dan berangkat dari titik ini Ratzinger membela seluruh proses perkembangan liturgi dari zaman gereja perdana sampai pembaruan liturgi tahun 1970. Ia menentang dua gagasan radikal yaitu mereka: pertama, yang ingin menghapus semua bagian misa yang muncul dari zaman post-apostolik atas dasar bahwa Yesus hanya menginginkan sekedar perjamuan sederhana untuk memperingati wafatNya, dan, kedua, ia menentang mereka yang menolak pembaruan liturgi tahun 1970 karena menganggap misa Paulus VI sudah menghapus hampir semua bahasa kurban dari liturgi misa. Ratzinger menegaskan bahwa kurban dalam misa terjadi dalam Doa Syukur Agung, sehingga penghapusan offertorium beserta sebagian besar doa-doanya yang diganti dengan preparatio donorum beserta doa-doa baru yang berasal dari tradisi perjamuan paskah yahudi tidak berpengaruh terhadap sifat kurban misa, beliau juga menambahkan bahwa ada doa dalam offertorium dimana roti yang belum dikonsekrasi sudah disebut hostiam (kurban) berpotensi menimbulkan sedikit salah paham. Ratzinger juga mengingatkan kita bahwa perjamuan malam terakhir, dimana Yesus menetapkan perjamuan kurban tubuh dan darahNya sebagai antisipasi atas sengsaraNya, adalah perjamuan paskah. Ia menjelaskan bagaimana Yesus menggunakan Haggadah, dan mengemukakan pendapatnya bahwa Kanon Romawi merupakan perkembangan langsung darinya, dan kemudian ia menjelaskan beberapa hal yang menarik dari isi Kanon.

Ratzinger juga berbicara mengenai sifat perjamuan dari ekaristi. Ini adalah suatu perjamuan keluarga, perjamuan yang diadakan Yesus hanya dengan orang-orang terdekatNya, yaitu Para Rasul, meskipun Ia juga menghendaki agar semua orang berpartisipasi didalamNya. Anak-anak hilang, yang berdosa berat, tidak dapat ambilbagian dalam perjamuan keluarga ini, kecuali jika mereka pulang ke rumah dan kembali menjadi bagian dalam keluarga. Dan ini juga mengapa hidangan perjamuan ini dikhususkan hanya bagi anggota keluarga dan tidak bagi semua orang, walaupun siapa saja dapat bergabung menjadi anggota keluarga Allah. Dalam spesies sakramen tubuh dan darah Kristus benar-benar hadir, makanan ini mengubah kita menjadi seperti Dia, mempersatukan kita tidak hanya dengan Dia tapi juga dengan semua orang lain yang menyambut komuni yang satu dan sama. Ekaristi membangun Gereja dan menguatkan kesatuannya. Karena itu kita tidak dapat merayakan ekaristi diluar Gereja, dan inilah alasan mengapa dalam setiap doa syukur agung kita menyatakan dihadapan Tuhan persatuan kita dengan Paus dan Uskup dioses kita. Ratzinger juga menekankan bahwa penerimaan Kristus secara sakramental tidak terpisahkan dengan penerimaan secara pribadi, hal ini sudah menjadi bagian dari liturgi yang mengubah doa-doa liturgi yang bersifat komunal menjadi doa pribadi pada saat menjelang komuni. Menerima Kristus juga berarti ambilbagian dalam kurbanNya, dimana kita didalam Dia mempersembahkan diri kita sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Bapa (Rom 12:1) dan mewajibkan kita untuk melatih tubuh kita dan menguasainya (1 Kor 9: 27) agar kita hidup seperti Yesus hidup (1 Yoh 2:6).

Kehadiran Kristus secara nyata dalam rupa sakramen, juga menjadi tanda kediaman Allah dibumi, tanda yang nyata bahwa Allah hadir di dekat kita. Seperti halnya umat perjanjian lama memiliki tabernakel (tabut perjanjian) dimana didalamnya terdapat loh-loh batu berisi sepuluh firman, maka umat perjanjian baru juga mengembangkan tabernakelnya sendiri dimana didalamnya terdapat Firman yang menjelma menjadi manusia dan hadir dalam rupa roti. Tempat ini menjadi shekinah di dunia kita, menjadi tempat sunyi dimana manusia dapat menarik diri sejenak dari kesibukannya dan memandang wajah Allah (Why 22:4). Semua kesalehan disekitar tabernakel, atau pada periode yang lebih awal ciborium, ini kemudian berkembang menjadi adorasi ekaristi, sebuah sekolah cintakasih yang menguatkan komuni kita dengan Dia yang kita sambut dalam misa, dan tempat untuk mengarahkan diri kita selalu kepadaNya, agar di dalam segala hal yang kita kerjakan hati kita terarah kepada Dia yang merupakan tujuan akhir dan kebahagiaan sempurna kita.

Rabu, 26 September 2007

Ultraman Gaia Keren!!!

Sekarang seri nya lagi dputar ulang di Global TV (entah untuk keberapa kalinya), tapi tetap keren dan asik untuk ditonton (he..he..termasuk fans nya Ultraman). Sebenarnya aku lebih suka dengan karakter Ultraman Agul daripada Gaia yang jadi karakter utamanya

Soundtracknya juga keren

Paus Gembira Atas Dibukannya Penyelidikan Untuk Beatifikasi Kardinal Asal Vietnam

Oleh Gerard O'Connell, Koresponden Khusus di Roma

ROMA (UCAN) -- Paus Benediktus XVI mengungkapkan "kegembiraan yang dalam" atas berita tentang dimulainya penyelidikan secara resmi untuk beatifikasi Francis Xavier Kardinal Nguyen Van Thuan asal Vietnam

Penyelidikan itu dimulai 16 September, peringatan lima tahun kematian kardinal itu, di Gereja Santa Maria della Scala, gereja di Roma tempat tugasnya ketika dia diangkat menjadi kardinal.

Kardinal Thuan delapan tahun terakhir dalam hidupnya di Roma dan bertugas sebagai ketua Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian dari tahun 1998 hingga kematiannya karena kanker di usia 74 tahun pada tahun 2002. Sebelumnya, dia menghabiskan 13 tahun dalam tahanan dengan kondisi yang sangat memilukan di tanah airnya, Vietnam.

Renato Kardinal Martino, ketua dewan kepausan itu sekarang ini, memimpin dan berkotbah dalam Misa 16 September yang dihadiri oleh para uskup, klerus, religius, dan umat awam asal Vietnam. Kardinal Martino menunjuk seorang perempuan pakar hukum kanonik, Silvia Monica Correale, sebagai postulator untuk penyelidikan itu agar mendiang prelatus itu akhirnya bisa dinyatakan sebagai beato dan kemudian santo.

Paus Benediktus XVI, yang mengenal baik Kardinal Thuan di Vatikan, memuji kardinal asal Vietnam itu sebagai seorang "nabi pengharapan Kristen satu-satunya" ketika paus menerima para anggota dewan kepausan itu di Castel Gandolfo, tempat kediaman musim panas paus, pada 16 September.

Para anggota dari Cardinal Van Thuan International Observatory untuk penyebarluasan ajaran sosial Gereja juga hadir dalam audiensi itu, bersama dengan keluarga dan sahabat mendiang kardinal itu.

Paus bercerita tentang “kehangatan hati yang terbuka dan sederhana,” “kemampuan untuk dialog dan akrab dengan setiap orang,” dan “komitmennya yang berkobar-kobar untuk menyebarkan ajaran sosial Gereja di antara orang miskin dunia” dari Kardinal Van Thuan, demikian sebuah siaran pers Vatikan.

Paus berbicara tentang “visi-visi agung, penuh pengharapan” dari prelatus Vietnam itu, dan “kerinduannya untuk mewartakan Injil di benua asalnya, Asia” serta "keterampilannya dalam mengorganisasi kegiatan-kegiatan cinta kasih dan peningkatan kemanusiaan yang dia prakarsai dan dukung di banyak tempat yang jauh di muka bumi ini.”

Kardinal Van Thuan "hidup dalam pengharapan, dan dia menyebar hal itu kepada siapapun yang ditemuinya," kata Paus Benediktus. "Pengharapan itulah yang menyelamatkannya ketika dia sebagai uskup diasingkan selama 13 tahun dari umat keuskupannya; pengharapan itulah membantunya untuk melihat, dalam absurditas berbagai peristiwa yang menimpanya (dia tak pernah diajukan ke pengadilan selama dipenjarakan sedemikian lama), suatu rencana penyelenggaraan Ilahi dari Allah."

Dilahirkan di Hue, ibukota imperial Vietnam, pada 17 April 1928, dia masuk seminari menengah An Ninh tahun 1941 dan ditahbiskan imam 1953. Setelah enam tahun melanjutkan studi di Roma, tahun 1959 dia menjadi staf pengajar dan kemudian rektor seminari menengah Hoan Thien di Keuskupan Agung Hue, dan serempak bertugas sebagai vikaris jenderal keuskupan agung itu. Menurut data Gereja lokal, dia memegang jabatan ganda itu sampai tahun 1967, ketika Paus Paulus VI mengangkatnya sebagai uskup Nha Trang.

Tujuh hari sebelum Vietnam Selatan jatuh ke tangan komunis dari Vietnam Utara pada 30 April 1975, ia dijadikan uskup agung koajutor untuk Keuskupan Agung Saigon. Pamannya yaitu Uskup Agung Ngo Dinh Thuc pernah memimpin Keuskupan Agung Hue. Paman itu adalah saudara dari Presiden Vietnam Selatan Ngo Dinh Diem. Pembunuhan pamannya tahun 1963 itu membuat Amerika Serikat mengintensifkan keterlibatannya dalam Perang Vietnam.

Pemerintah komunis menolak pengangkatannya itu dan memenjarakannya selama 13 tahun. Dalam masa itu, sembilan tahun dia disekap dalam kamar tersendiri. Tahun 1988 dia dibebaskan dan diijinkan pergi ke luar negeri tahun 1991. Ketika berada di luar negeri, dia dilarang untuk kembali ke Vietnam.

Tahun 1994, Paus Yohanes Paulus II memanggilnya ke Roma. Mendiang paus itu sangat menghormatinya. Selain mempromosikan dia sebagai prelatus Vietnam pertama yang memangku jabatan tinggi di Vatikan, paus juga memintanya untuk memberi retret Prapaskah untuk Kuria Roma tahun 2000. Pada 21 Februari 2001, Paus Yohanes Paulus menjadikannya seorang kardinal.

Umat Katolik Vietnam di Roma sangat bersukacita ketika proses beatifikasi itu dibuka. Salah satu dari mereka yang mengenal kardinal itu dengan baik adalah Pastor Joseph Doan Nguyen Cong, provinsial Yesuit di Vietnam dari April 1975 sampai 1981, ketika dia dipenjarakan selama 9 tahun. “Semua orang bahagia, bahkan paus, yang mengenalnya dengan baik sekali. Saya sangat bangga akan hal ini, seperti halnya umat Katolik Vietnam lainnya," kata imam itu kepada UCA News di Roma.

"Bila proses itu berakhir, dia akan dibeatifikasi dan dikanonisasi," kata Pastor Doan, "kemudian sebagai tambahan untuk banyak martir kita, kita juga akan memiliki pengaku iman pertama asal Vietnam."


Diambil dari Mirifica


Aku sangat senang mendengar berita ini. Aku pernah membaca dua publikasi dari beliau yang satu merupakan kumpulan catatan pendek surat pastoralnya yang ditulis bagi umat keuskupan beliau semasa ia berada dalam tahanan (The Road of Hope), dan satu lagi berupa kumpulan meditasi yang ditulisnya saat ia membimbing retret untuk para anggota Kuria Roma (Testimony of Hope). Kedua buku ini merupakan salah satu buku rohani terbaik yang pernah kubaca, dan kedua buku ini juga tersedia dalam bahasa indonesia dengan judul "Jalan Pengharapan" dan "Kesaksian Pengharapan" (dan yang aku baca adalah terjemahan indonesianya). Bagaimanapun kedua buku, dan aku rasa berlaku untuk karya beliau yang lain termasuk kategori patut dibaca

Jumat, 21 September 2007

St. Matthew's Day...my birthday

Yupz..hari ulangtahunku bertepatan dengan pesta St. Matius Rasul dan Pengarang Injil. Mungkin orang mengatakannya kebetulan, tapi bagiku ini namanya providentia Dei (Penyelenggaraan Ilahi).

Injil Matius ditulis dalam suasana ke-yahudi-an yang kuat, kita bisa memperkirakan bahwa pembaca asli Matius adalah komunitas Kristen yang mayoritasnya adalah keturunan yahudi. Dalam tulisan Matius, Yesus pertama-tama digambarkan sebagai Mesias, keturunan Daud. Meskipun gelar Mesias yang di-translate ke bahasa yunani menjadi Christos kemudian sangat umum dipakai oleh komunitas kristen secara umum, harus diakui juga bahwa penggunaan istilah itu seringkali kehilangan "greget"nya sehingga nama Kristus mudah saja digandengkan dengan Yesus sehingga tampak seolah-olah sebagai nama pribadiNya.

Injil Matius juga sering disebut sebagai "injil gereja" karena dalam keempat injil hanya Matius lah yang menaruh perhatian besar pada kehadiran ecclesia (gereja). Matius secara eksplisit menyebutkan bahwa Yesus mendirikan Gereja diatas kefas, dan kefas itu juga Ia serahi kunci kerajaan surga (Mat 16:16-19).

Kisah pemberian kunci memiliki latar belakangnya pada perjanjian lama, yaitu dalam kisah pengangkatan Elyakim bin Hilkia menjadi "perdana menteri" Yehuda (Yes 22:20-23), dengan cara memberi Kefas kunci kerajaan surga kiranya jelas bahwa Yesus ingin menjadikan Kefas sebagai perdana menteri dalam kerajaanNya.

Teks kedua tentang Gereja muncul di bab 18 dimana Gereja digambarkan sebagai suatu komunitas yang nyata (visible), memiliki tata tertib, dan memiliki hak untuk menghukum atau mengucilkan anggota-anggotanya yang bandel dan tidak bisa diatur. Bahkan mereka yang menentang Gereja langsung disamakan statusnya dengan orang kafir (Mat 18:17).

Juga kedua teks yang menyangkut Gereja langsung diakhiri dengan pernyataan yang tegas mengenai otoritas yang dipegang oleh para Rasul: "Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga" (Mat 16:19 18:18). Penegasan mengenai kuasa para Rasul dengan cara se-eksplisit ini saya kira adalah satu ciri khas Matius.

Teks-teks Matius kiranya memberi kita suatu pandangan yang agak luas tentang hierarki dan keadaan jemaat perdana khususnya dalam komunitas yang dibina oleh Matius atau yang merupakan pembaca asli tulisannya ini.

Bagi saya sendiri, gambaran Matius tentang Yesus dan Gereja rasanya amat dominan dalam membentuk iman pribadi saya. Injil ini merupakan salah satu buku favorit saya dalam Kitab Suci

Minggu, 09 September 2007

Tak Tahu Harus Berkata Apa



Foto ini menggambarkan elevasi segera sesudah konsekrasi atas Roti dalam Misa Agung Pontifikal menurut ritus Tridentine yang dipersembahkan oleh Antonio Cardinal Canizares Llovera, Uskupagung Toledo dan Primat Spanyol.

Sangat keren dan mengena di hati!




Rabu, 29 Agustus 2007

Lebih Katolik daripada Paus?

Biasanya ungkapan diatas bernada ejekan atau sindiran yang ditujukan kepada sekelompok orang yang dianggap memiliki rasa kekatolikan sedemikian sehingga bahkan tampak melebihi daripada Paus sendiri.

Kesalahan pertama dari kalimat bertanya dengan nada menyindir adalah inti gagasan yang seolah-olah mengidentikkan Paus dengan Katolisisme, seolah-olah beliau adalah standart yang harus diikuti oleh semua orang Katolik.

Tentu saja hal itu adalah salah besar, pendiri Gereja Katolik adalah Yesus Kristus, bukan Paus manapun dan juga bukan St. Petrus yang adalah Paus pertama. Paus juga bukan Kepala Gereja Katolik, Yesus lah Kepalanya, dan Paus hanya wakilNya di bumi ini. Standar ke-Katolik-an kita adalah Yesus Kristus dan bukan Paus manapun juga.

Yesus tidak pernah menjamin bahwa Paus selalu sempurna, Ia hanya menjamin mereka tidak dapat mengajarkan hal yang sesat dengan kuasa rasul yang diterimanya (cf. Mat 16:18-19). Bahkan St. Petrus pun tidak sempurna.

Bahkan dalam sejarah kita pun pernah memiliki sejumlah Paus yang bejat, tidak bermoral dan bahkan layak diragukan ke-Katolik-an nya. Seperti:

Paus Sthepanus VII menggali kubur dari pendahulunya Paus Formosus, "mengadili" mayat tak bernyawa itu dan kemudian membuang jenazah itu ke sungai Tiber.

Paus Honorius, karena kurang teliti membaca tulisan dari para bidaah monothelit, mendiamkannya, sehingga memicu banyak kebingungan dan akhirnya untuk kelalaian ini ia di-anathema (dikutuk) oleh Konsili Ekumenis ke 6.

Paus Yohanes XII membuat Istana Apostolik nya menjadi rumah pelacuran dimana ia menyimpan dan mempergunakan banyak pelacur baik pria dan wanita.

Paus Alexander VI, memiliki dua wanita teman kumpul kebo dan memiliki banyak anak hasil dari hubungan luar nikahnya.

Paus Urbanus VIII, haus kekuasaan dan karena sikap gila kuasanya ia tega meminta orang-orang Katolik Perancis berperang bersama orang-orang Lutheran Jerman untuk 'menghajar' umat Katolik Jerman dalam Perang 30 tahun. Ini semua terjadi karena Paus Urbanus khawatir kekuasaan Hapsburg di Jerman dan Spanyol akan mengancam kekuasaan duniawinya atas Italia tengah.


Tentu kita menaruh rasa hormat dan ketaatan kepada Paus karena kita mencintai Yesus. Dan lagi daftar para Paus bejat ini disatu sisi malahan membuktikan kebenaran iman Katolik karena mereka tidak pernah sekalipun berani menggunakan kuasa ex-cathedra yang dimilikinya untuk mengajarkan atau membenarkan cara hidup sesat atau kelakuan bejatnya.

Saya sangat yakin bahwa hanya Roh Kudus yang mampu melindungi Gereja sedemikian. Karena Gereja tidak dapat sesat, alam maut tidak akan menguasainya, dan ia akan bertahan sampai Mempelai Pria datang dalam kemuliaanNya.

Credo in Spiritum Sanctum, sanctam catholicam Ecclesiam.

Minggu, 26 Agustus 2007

Papal Homily: Corpus Christi 2007

MISA KUDUS DAN PROSESI SAKRAMEN MAHAKUDUS
MENUJU BASILIKA SANTA MARIA MAJOR
PADA HARI RAYA CORPUS CHRISTI
HOMILI BAPA SUCI BENEDIKTUS XVI
Di lapangan Basilika Agung St. Yohanes Lateran
Kamis, 7 Juni 2007


Saudara-saudari terkasih,
Kita baru saja mendengarkan Sequensi: “Dogma datur christianis/ quod in carnem transit panis,/ et vinum in sanguinem- inilah kebenaran yang dipelajari orang kristen/ roti Ia ubah jadi dagingNya,/ dan anggur jadi darahNya”.
Hari ini dengan sukacita besar kita meneguhkan kembali iman kita akan Ekaristi, Misteri yang membentuk jantung Gereja. Dalam Anjuran Apostolik Sacramentum Caritatis yang baru saja Saya keluarkan, Saya mengingatkan kembali bahwa Misteri Ekaristi “adalah pemberian dimana Yesus Kristus menghadirkan diriNya, sekaligus mewahyukan kepada kita cinta Allah yang tak terbatas bagi setiap pria dan wanita” (n. 1).
Karena itu, Corpus Christi, adalah pesta yang unik dan membentuk sebuah kesinambungan yang penting antara iman dan pujian bagi semua komunitas Kristen. Pesta ini berakar dalam suatu konteks sejarah dan kebudayaan yang khas: ia diadakan untuk tujuan yang sangat istimewa yaitu menegaskan kembali secara terbuka iman umat Allah dalam Yesus Kristus, yang hidup dan sungguh hadir dalam Sakramen Ekaristi yang Mahakudus. Ini adalah pesta yang diadakan dengan tujuan untuk menyatakan secara terbuka dihadapan masyarakat umum; penyembahan, syukur, dan terimakasih kita kepada Tuhan, yang terus menerus “mencintai kita sampai akhir”, bahkan sampai mempersembahkan tubuh dan darahNya bagi kita” (Sacramentum Caritatis, n. 1)
Perayaan Ekaristi malam ini membawa kita kembali kepada suasana rohani Kamis Putih, hari dimana di ruang atas, menjelang sengsaraNya, Kristus menetapkan Ekaristi Mahakudus. Jadi, Corpus Christi, adalah pembaruan misteri Kamis Putih, seperti halnya dulu, dalam kepatuhan terhadap undangan Yesus untuk mewartakan dari “atap-atap rumah” apa yang dibisikanNya kepada kita (cf. Mat 10: 27). Adalah Para Rasul yang menerima pemberian Ekaristi dari Tuhan dalam keakraban Perjamuan Terakhir, tetapi hal itu ditetapkanNya bagi semua, bagi seluruh dunia. Inilah sebabnya misteri ini harus diwartakan dan diperlihatkan, agar semua dapat mengalami “Yesus yang berkeliling” seperti terjadi di jalan-jalan di Galilea, Samaria dan Yudea; agar setiap mereka, yang menerimaNya, dapat disembuhkan dan diperbarui oleh kekuatan cintaNya. Sahabat terkasih, inilah sumber yang hidup dan abadi yang diwariskan Yesus kepada kita dalam Sakramen Tubuh dan DarahNya. Ini adalah pemberian yang menuntut untuk secara terus menerus direnungkan dan dihidupkan kembali agar, seperti yang dikatakan Paus Paulus VI yang terhormat, “daya gunanya yang tak terbatas dapat menjiwai seluruh hari sepanjang hidup kita yang fana ini” (cf. Insegnamenti, 25 May 1967, p. 779).
Dalam Anjuran Pasca-Sinode itu juga, Saya memberi komentar terhadap seruan imam setelah konsekrasi: “Mysterium Fidei!”- Misteri Iman!-, Saya merenungkan: bahwa dengan kata-kata ini imam “mewartakan misteri yang dirayakan dan mengungkapkan kekagumannya atas perubahan hakekat roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Tuhan Yesus, suatu kenyataan yang melampaui segala pengertian manusia” (n. 6).
Tepatlah demikian karena ini memang sebuah kenyataan yang misterius yang melampaui pengertian kita, kita tidak usah terkejut bahwa pada hari ini ada banyak orang yang merasa sulit untuk menerima Kehadiran Nyata Kristus dalam Ekaristi. Tidak dapatlah terjadi sebaliknya. Ini telah terjadi sejak di depan sebuah sinagoga di Kapernaum, Yesus secara terbuka menyatakan bahwa Dia akan memberikan dagingNya dan darahNya sebagai makanan (cf. Yoh 6: 26-58). Dan sampai sekarang ini, Ekaristi tetap menjadi “tanda perbantahan” dan hanya akan menjadi demikian karena Allah yang menjelma menjadi daging dan mengurbankan diriNya untuk hidup dunia melemparkan semua kebijaksanaan manusiawi kedalam krisis.
Bagaimanapun, dengan kepercayaan yang rendah hati, Gereja mengambilalih iman Petrus dan Para Rasul lainnya menjadi miliknya sendiri, dan bersama mereka berkata: “Tuhan, kepada siapa kami akan pergi? PerkataanMu adalah perkataan hidup yang kekal” (Yoh 6:68). Marilah kita juga, malam ini memperbarui pengakuan iman kita akan Kristus, yang hidup dan hari dalam Ekaristi. Ya, “inilah kebenaran yang dipelajari orang kristen/ roti Ia ubah jadi dagingNya,/ dan anggur jadi darahNya”.
Pada titik puncaknya, dalam Sequensia kita menyanyi: “Ecce panis angelorum,/ factus cibus viatorum:/ vere panis filiorum”- “ Inilah roti para malaikat, /yang diberikan kepada peziarah yang telah berjuang:/ sungguh roti untuk anak-anak.” Dan karena rahmat Allah kita adalah anak-anak.
Ekaristi adalah makanan yang dikhususkan bagi mereka yang dalam Baptisan dibebaskan dari perbudakan dan telah dijadikan putera: ini adalah makanan yang menguatkan mereka dalam perjalanan panjang dalam perjalanan keluaran melalui padang gurun dalam eksistensinya sebagai manusia.
Seperti halnya manna bagi orang Israel, Ekaristi adalah nutrisi tak tergantikan bagi setiap generasi Kristen, nutrisi yang menguatkan mereka selama mereka mengarungi padang gurun dunia ini, ditekan oleh sistem ideologi dan ekonomi yang tidak mendukung kehidupan tapi malahan merendahkannya. Dalam dunia dimana logika kekuasaan dan kepemilikan lebih berkuasa ketimbang pelyanan dan cinta; dunia dimana budaya kekerasan dan kematian seringkali tampak berjaya.
Tetapi Yesus datang menemui kita dan menyapa kita dengan kepastian: Dialah “Roti Hidup” (Yoh 6: 35, 48). Dia mengulangi ini kepada kita dalam kata-kata Bait Pengantar Injil: “Akulah Roti Hidup yang turun dari Surga, jika seorang makan Roti ini, ia akan hidup selamanya” (Yoh 6: 51).
Dalam bacaan Injil yang baru saja diwartakan, St. Lukas, melukiskan kisah penggandaan lima roti dan dua ikan dimana Yesus memberi makan banyak orang “dalam tempat sunyi”, dan kisah ini ditutup dengan kata-kata: “Dan semua makan sampai kenyang” (cf. Luk 9: 11-17).
Pertama, Saya ingin menekankan kata “semua”. Dengan ini, Tuhan menghendaki semua orang dikuatkan dengan Ekaristi, karena Ekaristi adalah untuk semua orang. Jika hubungan erat antara Perjamuan Terakhir dengan misteri Kematian Yesus diSalib ditekankan dalam Kamis Putih, hari ini, dalam Pesta Corpus Christi, dengan prosesi dan adorasi meriah terhadap Ekaristi, perhatian diarahkan kepada kenyataan bahwa Kristus mengurbankan diriNya untuk semua manusia. Dia berjalan melintasi rumah dan melewati jalan-jalan kota kita untuk menjadi persembahan sukacita, hidup abadi, dan cinta bagi mereka yang tinggal disana.
Elemen kedua, yang menarik perhatian dalam bacaan Injil hari ini ialah: mukjizat yang dikerjakan oleh Tuhan mengandung undangan eksplisit kepada setiap orang untuk berperan serta. Dua ikan dan lima roti menandakan peran serta kita, sedikit tapi perlu, yang Ia ubah menjadi anugerah cinta bagi semua. Dalam Anjuran Pasca-Sinode Saya menulis “Hari ini Kristus terus menerus menganjurkan agar para muridNya terlibat secara pribadi” ( Sacramentum Caritatis, n. 88).
Jadi, Ekaristi adalah panggilan kepada kekudusan dan kepada pemberian diri seseorang kepada seorang lain sebagai saudara: “Setiap kita benar-benar dipanggil, untuk bersama dengan Yesus menjadi roti yang dipecahkan bagi hidup dunia” (ibid.). Secara khusus Penebus kita mengalamatkan undangan ini kepada kita, saudara-saudariku terkasih sesama warga Roma, yang berkumpul disekitar Ekaristi di lapangan bersejarah ini.
Saya menyapa kalian semua dengan mesra. Salam Saya pertama-tama Saya sampaikan kepada Kardinal Vikar dan para Uskup Auksilier, dan kepada para Saudara terhormat Saya lain; para Kardinal dan Uskup, dan juga kepada sejumlah besar Imam dan Diakon, religius pria dan wanita dan semua orang beriman awam.
Pada akhir Perayaan Ekaristi kita akan bergabung dalam prosesi membawa Tuhan Yesus dalam roh melewati semua jalan dan lingkungan kota Roma. Kita akan melarutkan Dia, katakanlah begitu, dalam rutinitas hidup kita sehari-hari, agar Dia dapat berjalan dimana kita berjalan dan hidup dimana kita hidup.
Tetapi, kita juga tahu, sebagai diingatkan oleh Rasul Paulus dalam Suratnya kepada orang Korintus, bahwa dalam setiap Ekaristi, juga Ekaristi senja ini, kita “mewartakan kematian Tuhan sampai Ia datang” (cf. 1 Kor 11:26). Kita berjalan dalam jalan bebas hambatan dunia ini dengan mengetahui bahwa Dia di sisi kita, dikuatkan oleh harapan bahwa kita suatu hari nanti akan memandang Dia muka dengan muka, dengan kepastian yang teguh.
Sementara ini, marilah kita mendengar pengulangan sabdaNya, seperti yang kita baca di Kitab Wahyu, “Lihatlah, Aku berdiri di muka pintu dan mengetuk; jika ada seorang yang mendengar suaraKu dan membuka pintu, Aku akan masuk menemui dia dan makan bersama dia, dan dia akan bersama Aku” (Why 3: 20).
Pesta Corpus Christi ingin membuat ketukan Tuhan terdengar, menembus ketulian telinga batin kita dan meminta kita bukan hanya membuka ruang untuk satu hari tapi untuk selamanya. Marilah kita menyambut Dia dengan sukacita, menghampiriNya dengan satu suara dalam seruan Liturgi: “Roti sejati, Gembala Baik, bimbing kami,/ Yesus temanilah kami dengan cintaMu…/ Engkau yang mampu melakukan dan mengetahui segalanya,/ yang memberi makanan bagi dunia/ berilah kami agar bersama para kudusMu, yang terkecil sekalipun/ diundang ke pesta surgawi yang Kau adakan,/ menjadi sesama tamu dan undangan”.
© Copyright 2007 - Libreria Editrice Vaticana

Selasa, 21 Agustus 2007

Kardinal Castrillon Hoyos Tentang Summorum Pontificum

Wawancara dengan Gianni Cardinale, wartawan dari majalah italia 30 Giorni. Wawancara lengkapnya dapat dibaca di website 30Giorni (edisi bahasa inggris).

Eminenza, apa pengaruh penting dari Motu Proprio yang membebaskan penggunaan dari yang umum disebut Misale St. Pius V?

DARÍO CASTRILLÓN HOYOS: Setelah Konsili Vatikan II, terjadi perubahan dalam Liturgi, sekelompok awam dan pejabat Gereja dalam jumlah yang menentukan merasa tidak nyaman karena mereka terikat secara kuat dengan liturgi yang telah digunakan selama berabad-abad. Saya berpikir tentang para Imam yang selama 50 tahun telah merayakan Misa St. Pius V dan yang terkejut dengan kenyataan kini mereka harus merayakan yang lain, Saya berpikir tentang generasi umat beriman yang terbiasa dengan ritus lama, Saya juga berpikir tentang anak-anak seperti para Putera Altar yang merasa kehilangan sesuatu dalam melayani Misa menurut tata cara Novus Ordo. Jadi ada kesulitan di berbagai tingkatan. Bagi beberapa orang, ini juga merupakan persoalan teologis, yaitu mereka yang berkeyakinan bahwa ritus lama mengungkapkan secara lebih baik sifat kurban Misa daripada ritus yang baru [Aku termasuk orang yang memiliki keyakinan semacam ini. Pernyataan Kardinal Hoyos yang memberi ruang bagi pandangan teologis semacam ini sangat baik, aku nanti akan menulis lebih banyak tentang ini. Cool..]. Bagi yang lainnya, ini terutama masalah budaya, nostalgia Grgeorian dan polifoni yang meriah, yang selalu merupakan harta karun bagi Gereja Latin. Puncak dari semua ini adalah fakta bahwa mereka yang merasa tidak nyaman dengan perubahan ini menyalahkan Konsili, padahal kenyataannya Konsili sendiri tidak pernah meminta atau merinci detail perubahan. Misa yang dirayakan oleh para Bapa Konsili (Vatikan II) adalah Misa St. Pius V. Konsili juga tidak meminta suatu penciptaan ritus baru, tapi hanya sekedar meminta penggunaan bahasa lokal yang lebih luas dan partisipasi yang lebih besar dari pihak umat.

Tapi bukankah sebelumnya telah ada izin?

CASTRILLÓN HOYOS: Iya, memang telah ada izin, tetapi Paus Yohanes Paulus II telah memahami bahwa sekedar izin itu tidak cukup. Tidak hanya karena sejumlah Uskup dan Imam menolak untuk menerapkannya. Tetapi, diatas segalanya ialah umat beriman yang menginginkan perayaan Misa menurut ritus kuno tidak boleh dianggap sebagai umat kelas-dua. Mereka adalah kaum beriman yang harus diakui haknya untuk menghadiri Misa yang telah menguatkan orang Kristen selama berabad-abad, Misa yang telah menguatkan kekudusan dari para kudus seperti St.Filpus Neri, St.Theresia dari Liseaux [Sepertinya Kardinal sengaja memilih menyebut nama ini diantara nama-nama lain yang semuanya bisa dianggap memiliki pengetahuan latin dan teologi yang lumayan, St.Teresa adalah orang awam/non-Klerus dengan pengetahuan bahasa latin dan Kitab Suci yang sangat pas-pasan atau bahkan sangat kurang sekali. Aku rasa sangat tepat kalau aku mengambil kesimpulan bahwa Kardinal sengaja menyebut nama St. Teresa untuk menegaskan bahwa tidak mengerti latin bukanlah halangan yang serius untuk memahami dan menikmati buah-buah dari liturgi Tridentine] , Beato Yohanes XXII, dan juga Hamba Allah Yohanes Paulus II sendiri, yang, seperti Saya katakan, telah memahami masalah mengenai izin itu dan sudah memiliki pemikiran untuk memperluas izin penggunaan Misale 1962. Saya harus mengatakan bahwa dalam pertemuan antara para Kardinal dan dengan para pemimpin pelayanan, dimana izin ini didiskusikan, hampir tidak ada perlawanan. Paus Benediktus XVI, yang mengikuti proses ini sejak semula, telah mengambil langkah penting ini yang telah direncanakan juga oleh pendahulunya yang agung itu. Ini adalah pemberian izin dari Petrus yang memancar dari cinta yang besar terhadap harta karun liturgi, yaitu Misa St. Pius V, dan juga muncul dari kecintaan seorang gembala bagi sekelompok kaum beriman.

Sabtu, 18 Agustus 2007

Subsistit in

Di Majalah HIDUP edisi Minggu tanggal 19 Agustus 2007 (yang sudah ada ditanganku sejak hari Sabtu 18 Agustus 2007) dimuat berita tentang diskusi mengenai Deklarasi Dominus Iesus yang diselenggarakan oleh PP ISKA di Kantor Redaksi HIDUP, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Jumat 10/8 dengan narasumber Reverendus Pater Dr. B.S. Mardiatmadja SJ. Artikel mengenai diskusi itu ditulis oleh Mauritz S. Rakadewa, O.F.M.

Meskipun diskusi tersebut bertema membahas Dominus Iesus, tapi dalam artikel tersebut yang muncul terutama adalah diskusi mengenai hubungan antara Gereja Kristus dan Gereja Katolik. Yang menjadi awal dari kebingungan teologis tentang hubungan diantara keduanya adalah perubahan istilah untuk menunjukkan hubungan diantara keduanya dari est (adalah) menjadi subsistit in (berada didalam).

Sebelum Konsili Vatikan II Gereja selalu tanpa ragu-ragu meyakini bahwa dirinya adalah Tubuh Mistik Kristus yang tunggal sebagaimana nampak sekedar untuk contoh dalam dua dokumen ini:

Paus Bonifatius VIII, Bulla “Unam Sanctam”
Terdorong oleh iman, kami berkewajiban untuk mempercayai dan untuk meneguhkan bahwa Gereja adalah Satu, Kudus, Katolik dan juga Apostolik. Kami percaya kepada dia dengan teguh dan mengaku dengan segala kesederhanaan bahwa diluar dia tidak ada keselamatan juga pengampunan dosa, sebagaimana sang Mempelai dalam Kidung Agung menyatakan: “Dialah satu-satunya merpatiku, idam-idamanku, satu-satunya anak ibunya, anak kesayangan bagi yang melahirkannya (Kid 6:9),” dan dia menggambarkan satu tubuh mistik yang kepalanya adalah Kristus dan Kristus sang kepala adalah Allah (1 Kor 11:3)

Paus Pius XII , Ensiklik “Mystici Corporis”
13 Jika kita hendak mendefinisikan dan menggambarkan Gereja Yesus Kristus yang sejati ini- yang adalah Gereja yang Satu, Kudus, Katolik, Apostolik dan Romawi - kita tidak menemukan yang lebih layak, lebih tepat, atau lebih ilahi daripada ungkapan “Tubuh Mistik Yesus Kristus”- sebuah ungkapan yang berasal dari dan adalah, seperti pada awalnya, adalah persemian dari pengulangan ajaran Kitab Suci dan para Bapa kudus.

Polemik dimulai ketika Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatik tentang Gereja “Lumen Gentium” artikel 8 mengganti rumusan tradisional yang lazim diatas menjadi:
Inilah satu-satunya Gereja Kristus yang dalam Credo kita akui sebagai Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik yang oleh Penyelamat kita, sesudah KebangkitanNya, diserahkan kepada Petrus untuk digembalakan, disebarluaskan dan diarahkan dengan otoritas, yang dengannya Dia tetapkan untuk sepanjang masa sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran”. Gereja ini dibentuk dan diorganisasi dalam dunia sebagai suatu masyarakat yang berada didalam Gereja Katolik, yang diperintah oleh Pengganti Petrus dan para Uskup yang bersatu dengannya, walaupun banyak elemen pengudusan dan kebenaran ditemukan di luar strukturnya yang terlihat. Elemen-elemen ini, sebagai anugerah milik Gereja Kristus, mendorong ke arah kesatuan Katolik.

Bagaimanapun, juga perlu dicatat bahwa dalam Konsili Vatikan II sekalipun ungkapan tradisional bahwa Gereja Kristus atau Tubuh Mistik Kristus adalah Gereja Katolik masih muncul dan digunakan di tempat lain, yaitu di Dekrit tentang Gereja-gereja Timur “Orientale Ecclesiorum” art.2 :
2 Gereja Katolik Kudus, yang adalah Tubuh Mistik Kristus, terdiri dari umat beriman yang secara organis bersatu dalam Roh Kudus oleh iman yang sama, sakramen yang sama dan pemerintahan yang sama, dan yang, secara bersama terbagi ke dalam berbagai kumpulan yang diatur bersama oleh satu hierarki membentuk gereja-gereja atau ritus tersendiri.

Ada sejumlah teolog (tampaknya termasuk Romo Mardi) yang berpendirian berdasarkan penggunaan kata “subsistit in” diatas maka bisa disimpulkan bahwa Gereja Kristus itu juga dapat “subsistit in” di dalam gereja-gereja non-Katolik. Kelihatannya Romo Mardi menganut pandangan ini karena dalam artikel di majalah HIDUP itu dia mengatakan:
“Teh seperti halnya Gereja Kristus dan gelas ini seperti halnya Gereja Katolik. Gereja Katolik bukan satu-satunya yang memuat teh. Jika Gereja Kristus identik dengan Gereja Katolik, maka ditempat-tempat lain pun tidak akan ada teh, tidak akan ada Gereja Kristus.”

Pandangan Romo Mardi ini jelas tidak bersesuaian dengan jalan pikiran dari Kardinal Ratzinger yang sekarang menjadi Paus Benediktus XVI. Pertama, dengan berpandangan begitu Romo Mardi menunjukkan adanya “hermeneutic of discontinuity” yaitu bahwa ia secara implisit ingin mengatakan bahwa dokumen pra-Vatikan II sudah outdated dan tidak lagi dipakai. Jelas bahwa Romo Mardi membaca dan mengartikan Lumen Gentium dan Dominus Iesus secara terputus dari dokumen-dokumen pra-Vatikan II yang membicarakan hal yang sama. Hal ini dkecam keras oleh Kardinal Ratzinger:
“Secara jelas telah muncul mentalitas yang berpandangan picik yang mengisolasi Vatikan II dan yang memicu perlawanan terhadapnya. Yaitu bermacam pandangan yang menekankan mulai Vatikan II dan seterusnya, semuanya telah berubah, dan apa yang mendahuluinya tidak memiliki nilai, atau paling bagus, hanya memiliki nilai dalam terang Vatikan II…Kebenarannya adalah bahwa Konsili ini (Vatikan II) samasekali tidak mendefinsikan dogma apapun, dan dengan sengaja memilih berada pada tingkat yang sederhana, yaitu sekedar sebagai Konsili Pastoral.” (Address to Chilean Bishop- Santiago, Chile, 13 Juli1988)

Dan cara berpikir Romo Mardi juga tidak sejalan dengan Konsili Vatikan II sendiri yang dengan jelas menegaskan:
Hal ini (yaitu tujuan Konsili) dilakukan dengan mengikuti secara setia ajaran Konsili-konsili sebelumnya. (Lumen Gentium art 1)

Dan juga ironisnya dibantah oleh Dominus Iesus sendiri, yang menyatakan:
Dengan ungkapan subsistit in, Konsili Vatikan II berusaha untuk menyelaraskan dua pernyataan doktriner: di satu sisi. Bahwa Gereja Kristus, tanpa memperdulikan perpecahan yang ada diantara orang-orang Kristen, tetap berlanjut dan hadir secara penuh hanya dalam Gereja Katolik, dan disisi lain bahwa diluar strukturnya, banyak terdapat elemen pengudusan dan kebenaran [55], yaitu, dalam Gereja-gereja dan komunitas-komunitas gerejani yang belum berada dalam persatuan penuh dengan Gereja Katolik [56]. Namun, mengenai hal ini perlu ditegaskan bahwa mereka menerima keberhasilan dari kepenuhan rahmat dan kebenaran yang dipercayakan kepada Gereja Katolik [57]. (Dominus Iesus art. 16)

Dan juga catatan kaki no 56 yang muncul dalam kalimat diatas makin menegaskan maksud sebenarnya dari Lumen Gentium art 8 dan juga dari dokumen Dominus Iesus ini:
(56) Interpretasi dari mereka yang mengartikan rumusan subsistit in dengan thesis bahwa Gereja Kristus yang satu dapat berada didalam Gereja-gereja non-Katolik dan komunitas-komunitas gerejani adalah bertentangan dengan makna otentik Lumen Gentium. Konsili memilih kata subsistit in untuk menyatakan kehendaknya menjelaskan bahwa hanya ada satu subsistensi dari Gereja sejati, sementara diluar strukturnya hanya eksis elementa ecclesiae, yang menjadi elemen dari Gereja yang sama itu menuntun dan mengarahkan kepada Gereja Katolik. (Konggregasi untuk Ajaran Iman, Notifikasi terhadap Buku “Gereja: Karisma dan Kuasa” oleh Romo Leonardo Boff. AAS 77 [1985], 756-782).

Jadi, apa yang disimpulkan oleh Mauritz S. Rakadewa, O.F.M dari pembicaraan Romo Mardi bahwa: “Konsili Vatikan II sebenarnya ingin rendah hati mengatakan, ada unsur-unsur Gereja Kristus di tempat lain” adalah benar, tapi sayangnya hanya benar sampai disini saja, karena kelanjutannya adalah kesimpulan yang benar-benar salah yaitu, “Pastor Mardi menyebut Gereja Kristus sebagai titik pemersatu. Tujuannya supaya Gereja Katolik, Anglikan, Lutheran, dan Gereja lainnya bersatu dalam Gereja Kristus. Namun, tidak semua Gereja betul-betul Gereja sebab ada diantara mereka hanya mengakui Yesus tak lebih dari orang pintar saja.”

Entah siapa yang salah, apakah Romo Mardi atau Mauritz, O.F.M, yang secara ceroboh melupakan bahwa dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan II dan sesudahnya Gereja-gereja Protestan dan Anglikan tidak pernah disebut Gereja melainkan hanya disebut sebagai komunitas-komunitas gerejani karena mereka tidak memiliki suksesi Apostolik sehingga tidak memiliki tahbisan Uskup yang sah, dan juga karenanya tidak memiliki Sakramen Ekaristi. Sementara itu sebutan Gereja hanya dikenakan keapda gereja-gereja Ortodoks yang memiliki suksesi Apostolik, tahbisan, dan Sakramen-sakramen yang sah. Dan kesalahan kedua ialah bahwa Gereja Katolik, yang adalah ibu dan guru dari semua gereja-gereja lokal, disejajarkan dengan berbagai denominasi di luar sana sehingga iman akan Gereja yang Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik dikaburkan (Konggregasi untuk Ajaran Iman, Catatan Mengenai ungkapan Gereja saudari no. 10 dan 11).

Kesalahan kedua, sekali lagi adalah apa yang sudah kita bahas panjang lebar diatas dimana Romo Mardi memisahkan terlalu jauh antara Gereja Kristus dan Gereja Katolik, dan seolah-olah lupa bahwa Konsili Vatikan II sendirilah yang mengatakan bahwa elemen-elemen pengudusan dan kebenaran yang terdapat di luar struktur Gereja Katolik, berasal dari kepenuhan rahmat dan kebenaran yang dipercayakan Kristus kepada Gereja Katolik, dan mendorong serta menuntun ke arah persatuan dengan Gereja Katolik (LG 8 ) dan dalam bahasa yang lebih tegas misalnya UR 3.

Akhirnya penulis (In The Way of Perfection) hanya ingin mengulangi apa yang baru-baru ini disampaikan oleh Konggregasi untuk Ajaran Iman dalam Tanggapan Terhadap Beberapa Pertanyaan Mengenai Aspek-Aspek Tertentu Mengenai Ajaran Gereja (tanggal 29 Juni 2007) :

PERTANYAAN KEDUA

Apa maksud dari penegasan bahwa Gereja Kristus berada didalam Gereja Katolik?


TANGGAPAN

Kristus "mendirikan disini di bumi" hanya satu Gereja dan meng-institusi-kannya sebagai sebuah "komunitas yang kelihatan dan spiritual"[5], bahwa dari permulaan [Gereja tersebut] dan disepanjang abad telah selalu ada dan akan selalu ada, dan dimana dalam [Gereja tersebut] ditemukan semua unsur-unsur yang di-insitusi-kan [ie. diadakan, didirikan, dibuat] Kristus sendiri.[6] "Gereja Kristus yang satu ini, yang kita akui didalam Syahadat sebagai [Gereja yang] satu, kudus, katolik dan apostolik [...]. Gereja ini, dikonstitusikan dan diorganisasikan di dunia ini sebagai suatu masyarakat (society), berada dalam Gereja Katolik, yang diperintah oleh penerus Petrus dan Uskup-Uskup dalam persekutuan dengan dia [ie. penerus Petrus]".[7]


Di nomer 8 dari Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium 'berada dalam' berarti ke-ter-terus-an abadi (perduring), kontinuitas sejarah dan ke-permanen-an dari unsur-unsur yang diinstitusikan Kristus dalam Gereja Katolik [yaitu Gereja] dimana Gereja Kristus ditemukan secara nyata di Bumi ini.


Adalah mungkin, menurut ajaran Katolik, untuk menegaskan secara tepat bahwa Gereja Kristus hadir dan beroperasi di gereja-gereja dan Komunitas gerejawi yang belum bersekutu penuh dengan Gereja Katolik, atas dasar unsur-unsur pengudusan dan kebenaran yang hadir dalam mereka.[9] Namun, kata "berada dalam" hanya bisa di-atribut-kan [ie. dikenakan] kepada Gereja Katolik saja jelas-jelas karena [kata tersebut] mengacu kepada tanda kesatuan yang kita ikrarkan dalam simbol-simbol iman (Aku percaya... akan Gereja yang "satu"); dan Gereja yang "satu" ini berada dalam Gereja Katolik.[10]

PERTANYAAN KETIGA

Kenapa ekspresi "subsistit in" diadopsi dan bukannya kata "est " yang sederhana?


TANGGAPAN

Penggunaan ekspresi ["subsistit in"] ini, yang mengindikasikan identitas penuh Gereja Kristus dengan Gereja Katolik, tidak mengubah ajaran Gereja. Melainkan, [penggunaan ekspresi "berada dalam" tersebut] datang dari dan membawa secara lebih jelas fakta bahwa ada "berbagai unsur pengudusan dan kebenaran" yang ditemukan diluar strukturnya, tapi "sebagai karunia-karunia yang secara tepat merupakan milik Gereja Kristus, [dan] mendorong ke kesatuan Katolik".[11]


"Sesuai dengannya gereja-gereja terpisah dan Komunitas ini, meskipun kami yakini mereka menderita kecacatan, tak terkurangkan dari signifikansi atau kepentingan dalam misteri keselamatan. Faktanya Roh Kristus tidak menghindar dari menggunakan mereka sebagai sarana keselamatan, dimana nilai [dari sarana keselamatan tersebut] didapatkan dari kepenuhan rahmat dan kebenaran yang telah dipercayakan kepada Gereja Katolik

Dan juga dari Komentar Resminya:

Pertanyaan kedua bertanya apa yang dimaksud dengan penegasan bahwa Gereja Kristus berada dalam Gereja Katolik.


Ketika G. Philips menulis bahwa frase "subsistit in" telah menyebabkan 'bersungai-sungai tinta'[3] tertumpahkan, dia mungkin tidak pernah membayangkan bahwa diskusi [atas frase "subsistit in" tersebut] akan berkelanjutan sampai begitu lama atau [bahwa diskusi tersebut akan terjadi] dengan intensitas sedemikian rupa sehingga memprovokasi Kongregasi Ajaran Iman untuk mempublikasikan dokumen ini.


Publikasi ini, didasarkan pada teks-teks konsili [Vatikan II] dan postkonsili [Vatikan II] yang dikutipnya, mencerminkan keprihatinan Kongregasi [Ajaran Iman] untuk menjaga kesatuan dan unisitas (unicity) Gereja, yang akan terkompromasikan oleh proposal bahwa Gereja yang didirikan oleh Kristus bisa mempunyai lebih dari satu keberadaan. Kalau itu memang benar maka kami akan terpaksa, seperti yang ditunjukkan deklarasi Mysterium Ecclesiae, membayangkan suatu "Gereja Kristus sebagai jumlah total dari Gereja-Gereja atau Komunitas-Komunitas gerejawi - yang secara bersamaan berbeda namun bersatu", atau "untuk memikirkan bahwa Gereja Kristus tidak ada sekarang ini secara konkrit dan karenanya hanya bisa menjadi obyek penelitian bagi Gereja-Gereja dan komunitas-komunitas."[4] Kalau memang ini kasusnya, Gereja Kristus sudah tidak ada lagi dalam sejarah, atau akan ada hanya dalam bentuk ideal yang timbul melalui suatu penyatuan di masa depan atau reunifikasi dari Gereja-Gereja saudara kandung wanita (sister Churches), yang diharapkan dan dicapai melalui dialog.


Notifikasi dari Kongregasi Ajaran Iman mengenai buku Leonardo Boff bahkan lebih eksplisit lagi. Sebagai tanggapan atas penegasan Boff bahwa Gereja Kristus "dapat berada dalam Gereja-Gereja Kristen lain", Notifikasi [tersebut] menyatakan bahwa "Konsili [Vatikan II] memilih kata "subsistit" khususnya untuk mengklarifikasi bahwa Gereja sejati hanya mempunyai satu "keberadaan", sementara diluar batas kelihatan [dari Gereja sejati tersebut] hanya ada "elementia Ecclesiae" yang – merupakan unsur-unsur dari Gereja yang sama [tersebut] – mencenderungkan dan mengarahkan kepada Gereja Katolik."[5]

Pertanyaan ketiga menanyakan mengapa ekspresi "berada dalam" digunakan dan bukannya kata "est".


Tepatnya adalah perubahan terminologi [ie. istilah] ini, dalam deskripsi dari hubungan antara Gereja Kristus dan Gereja Katolik, yang telah menimbulkan banyak penafsiran yang sangat bervariasi, terutama dalam bidang ekumenisme. Pada kenyataannya, Bapa Konsili [Vatikan II] bertujuan untuk mengakui adanya unsur-unsur gerejawi, yang patut pada Gereja Kristus, didalam komunitas Kristen non-Katolik. Tidaklah dapat disimpulkan bahwa identifikasi dari Gereja Kristus dengan Gereja Katolik tidak lagi dianut, atau bahwa diluar Gereja Katolik ada ketidakhadiran secara total dari unsur-unsur gerejawi, sebuah "kekosongan gerejawi". Apa maksudnya adalah, bahwa jika ekspresi "berada dalam" dipertimbangkan dalam konteks sejatinya, yaitu dalam kaitannya dengan Gereja Kristus [yang] "dikonstitusikan dan diorganisasikan di dunia ini sebagai suatu masyarakat (society)... diperintah oleh penerus Petrus dan oleh Uskup-Uskup dalam persekutuan dengan dia", maka perubahan dari est ke subsistit in tidak membawa signifikansi teologis tertentu atau [membawa] diskontinuitas dengan ajaran Katolik yang dianut sebelumnya.


Faktanya, justru karena Gereja yang dikehendaki Kristus nyatanya terus ada (subsistit in) di Gereja Katolik, kontinuitas dari keberadaan ini menyiratkan suatu identitas esensial antara Gereja Kristus dan Gereja Katolik. Konsili [Vatikan II] berkeinginan untuk mengajarkan bahwa kita berjumpa dengan Gereja Yesus Kristus sebagai suatu subyek sejarah yang konkrit di Gereja Katolik. Karenanya, gagasan bahwa keberadaan bisa diperbanyak tidak menunjukkan apa yang dimaksudkan [Konsili Vatikan II] oleh pemilihan istilah "subsistit". dalam memilih kata "subsistit" Konsili [Vatikan II] bertujuan untuk mengekspresikan singularitas dan ketidakdapat "perbanyakan" ("multipliability") dari Gereja Kristus: Gereja tersebut ada sebagai suatu realitas sejarah yang unik.


Karenanya, berlawanan dengan banyak penafsiran yang tak berdasar, perubahan "est" ke "subsistit in" tidak menandakan bahwa Gereja Katolik telah berhenti memandang dirinya sendiri sebagai satu-satunya Gereja Kristus sejati. Namun [perubahan tersebut] hanya menandakan keterbukaan yang lebih besar kepada keinginan ekumenis untuk benar-benar mengakui karakteristik dan dimensi gerejawi dalam komunitas Kristen yang tidak bersekutu penuh dengan Gereja Katolik, atas dasar "plura elementa sanctificationis et veritatis" yang hadir dalam mereka. Karenanya, meskipun hanya ada satu Gereja yang "berada dalam" subyek sejarah yang unik, ada realitas-realitas gerejawi sejati yang ada diluar batasannya yang kelihatan.

Terjemahan bahasa indonesia dari dokumen-dokumen kebanyakan adalah terjemahan saya sendiri, jadi Anda bisa menceknya dengan versi yang lebih otoritatif entah dalam bahasa lokal atau kedalam bahasa aslinya (latin), sementara terjemahan indonesia dari dokumen Konggregasi untuk Ajaran Iman tentang Tanggapan Terhadap Beberapa Pertanyaan Mengenai Aspek-Aspek Tertentu Mengenai Ajaran Gereja dan Komentar Resminya diambil dari terjemahan yang disediakan oleh website ekaristi.org (ini bukan terjemahan resmi)