Wawancara dengan Gianni Cardinale, wartawan dari majalah italia 30 Giorni. Wawancara lengkapnya dapat dibaca di website 30Giorni (edisi bahasa inggris).
Eminenza, apa pengaruh penting dari Motu Proprio yang membebaskan penggunaan dari yang umum disebut Misale St. Pius V?
DARÍO CASTRILLÓN HOYOS: Setelah Konsili Vatikan II, terjadi perubahan dalam Liturgi, sekelompok awam dan pejabat Gereja dalam jumlah yang menentukan merasa tidak nyaman karena mereka terikat secara kuat dengan liturgi yang telah digunakan selama berabad-abad. Saya berpikir tentang para Imam yang selama 50 tahun telah merayakan Misa St. Pius V dan yang terkejut dengan kenyataan kini mereka harus merayakan yang lain, Saya berpikir tentang generasi umat beriman yang terbiasa dengan ritus lama, Saya juga berpikir tentang anak-anak seperti para Putera Altar yang merasa kehilangan sesuatu dalam melayani Misa menurut tata cara Novus Ordo. Jadi ada kesulitan di berbagai tingkatan. Bagi beberapa orang, ini juga merupakan persoalan teologis, yaitu mereka yang berkeyakinan bahwa ritus lama mengungkapkan secara lebih baik sifat kurban Misa daripada ritus yang baru [Aku termasuk orang yang memiliki keyakinan semacam ini. Pernyataan Kardinal Hoyos yang memberi ruang bagi pandangan teologis semacam ini sangat baik, aku nanti akan menulis lebih banyak tentang ini. Cool..]. Bagi yang lainnya, ini terutama masalah budaya, nostalgia Grgeorian dan polifoni yang meriah, yang selalu merupakan harta karun bagi Gereja Latin. Puncak dari semua ini adalah fakta bahwa mereka yang merasa tidak nyaman dengan perubahan ini menyalahkan Konsili, padahal kenyataannya Konsili sendiri tidak pernah meminta atau merinci detail perubahan. Misa yang dirayakan oleh para Bapa Konsili (Vatikan II) adalah Misa St. Pius V. Konsili juga tidak meminta suatu penciptaan ritus baru, tapi hanya sekedar meminta penggunaan bahasa lokal yang lebih luas dan partisipasi yang lebih besar dari pihak umat.
Tapi bukankah sebelumnya telah ada izin?
CASTRILLÓN HOYOS: Iya, memang telah ada izin, tetapi Paus Yohanes Paulus II telah memahami bahwa sekedar izin itu tidak cukup. Tidak hanya karena sejumlah Uskup dan Imam menolak untuk menerapkannya. Tetapi, diatas segalanya ialah umat beriman yang menginginkan perayaan Misa menurut ritus kuno tidak boleh dianggap sebagai umat kelas-dua. Mereka adalah kaum beriman yang harus diakui haknya untuk menghadiri Misa yang telah menguatkan orang Kristen selama berabad-abad, Misa yang telah menguatkan kekudusan dari para kudus seperti St.Filpus Neri, St.Theresia dari Liseaux [Sepertinya Kardinal sengaja memilih menyebut nama ini diantara nama-nama lain yang semuanya bisa dianggap memiliki pengetahuan latin dan teologi yang lumayan, St.Teresa adalah orang awam/non-Klerus dengan pengetahuan bahasa latin dan Kitab Suci yang sangat pas-pasan atau bahkan sangat kurang sekali. Aku rasa sangat tepat kalau aku mengambil kesimpulan bahwa Kardinal sengaja menyebut nama St. Teresa untuk menegaskan bahwa tidak mengerti latin bukanlah halangan yang serius untuk memahami dan menikmati buah-buah dari liturgi Tridentine] , Beato Yohanes XXII, dan juga Hamba Allah Yohanes Paulus II sendiri, yang, seperti Saya katakan, telah memahami masalah mengenai izin itu dan sudah memiliki pemikiran untuk memperluas izin penggunaan Misale 1962. Saya harus mengatakan bahwa dalam pertemuan antara para Kardinal dan dengan para pemimpin pelayanan, dimana izin ini didiskusikan, hampir tidak ada perlawanan. Paus Benediktus XVI, yang mengikuti proses ini sejak semula, telah mengambil langkah penting ini yang telah direncanakan juga oleh pendahulunya yang agung itu. Ini adalah pemberian izin dari Petrus yang memancar dari cinta yang besar terhadap harta karun liturgi, yaitu Misa St. Pius V, dan juga muncul dari kecintaan seorang gembala bagi sekelompok kaum beriman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar