Kali ini kita akan membahas teks doa yang dalam misa Tridentine diucapkan imam dengan suara perlahan saat ia menaiki anak tangga Altar. Inilah teks doanya:
Aufer a nobis, quaesumus, Domine , iniquitates nostras: ut ad Sancta sanctorum puris mereamur mentibus nostris. Per Christum Dominum nostrum. Amen.
[Jauhkanlah dari kami, kami mohon kepadaMu, Tuhan, segala kejahatan kami: agar kami memasuki tempat kudusMu dengan hati yang murni. Demi Kristus Tuhan kami. Amin]
Ketika Musa bertemu dengan Tuhan pertama kalinya di gunung Horeb, Tuhan meminta Musa untuk melepas kasutnya karena ia akan masuk ke dalam tempat kudusNya dan begitu Musa sadar bahwa ia berhadapan dengan Dia yang disembah oleh para leluhurnya yaitu Abraham, Ishak, dan Yakub ia menutupi wajahnya karena takut memandang Allah (Kel 3:5-6). Allah adalah kudus (Im 19:2), Ia adalah terang dan di dalam Dia tidak ada kegelapan (1Yoh 1:5) dan tanpa kekudusan kita tidak dapat melihat Allah (Ibr 12:14). Cukup jelas bahwa saat hendak menghadap Allah kita memerlukan suatu keadaan yang bernama kekudusan.
Dalam misa yang sama juga, sebelum imam naik ke Altar, ia bersama para putera altar akan mendoakan mazmur 43 secara bergantian. Sekarang, kita akan mengarahkan perhatian kita ke ayat 3 dan 4 yang merupakan inti dari mazmur ini dan merupakan alasan utama mengapa ia didoakan di awal misa kudus:
“Suruhlah terangMu dan kesetiaanMu datang, supaya aku dituntun dan dibawa ke gunungMu yang kudus dan ke tempat kediamanMu! Maka aku dapat pergi ke mezbah Allah, menghadap Allah yang adalah sukacita dan kegembiraanku.”
Altar adalah gunung Tuhan, tempat Ia berdiam dan kurban kepadaNya dipersembahkan. Hal ini cukup jelas misalnya dalam nubuat Yesaya ini:
“Dan orang-orang asing akan menggabungkan diri kepada Tuhan untuk melayani Dia, untuk mengasihi nama Tuhan dan untuk menjadi hamba-hambaNya, semuanya yang memelihara hari sabat dan tidak menajiskannya, dan yang berpegang pada perjanjianKu, mereka akan Kubawa ke gunungKu yang kudus dan akan Kuberi kesukaan di rumah doaKu, Aku akan berkenan kepada kurban-kurban bakaran dan kurban-kurban sembelihan mereka yang dipersembahkan di atas mezbahKu, sebab rumahKu akan disebut rumah doa bagi segala bangsa.” (Yes 56: 6-7)
Rasa takut dan tidak pantas yang dialami oleh Musa, juga hendaknya dialami oleh para imam. Ketakutan ini adalah kesadaran bahwa diri tidak pantas untuk naik ke gunung Tuhan dan untuk mempersembahkan kurban kepada Allah, karena kenyataaan bahwa diri tidak selalu berpegang kepada perjanjianNya. Lebih jauh lagi, nubuat nabi Yesaya diatas secara khusus berbicara mengenai para imam perjanjian baru yang tidak berasal dari keturunan Harun dan adalah orang asing namun Ia bawa ke gunungNya dan Ia berkenan atas persembahan kurban mereka.
Doa ini digunakan untuk mengingatkan para imam akan ketidakpantasan mereka naik ke Altar dan mempersembahkan kurban, dan terutama untuk membuat mereka semakin maju dan bersemangat mengusahakan kekudusan diri mereka. Dan ketika imam mempersembahkan misa dengan pribadi yang kudus maka ia mendatangkan banyak rahmat bukan hanya bagi dirinya tapi juga bagi umat beriman yang ikut merayakan misa bersamanya. Dalam doa ini para imam meminta agar Allah menjauhkan mereka dari segala kejahatan agar mereka dapat masuk ke tempat kudus Allah, dengan cara yang serupa gagasan ini juga muncul dalam mazmur 24:
“Siapakah yang boleh naik ke atas gunung Tuhan? Siapakah yang boleh berdiri di tempatNya yang kudus? Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan dan yang tidak bersumpah palsu. Dialah yang akan menerima berkat dari Tuhan dan keadilan dari Allah yang menyelamatkan Dia.” (3-5)
Sejalan dengan banyak kutipan kitab suci diatas kita kembali lagi kepada kesimpulan bahwa kekudusan mutlak perlu bagi para imam yang akan mempersembahkan kurban di Altar. Mereka harus hidup dalam pertobatan yang terus-menerus, memperbaiki diri dan melatihnya agar semakin bertumbuh dalam keutamaan hidup Kristen. Dan jika mereka jatuh mereka harus secepatnya berdamai kembali dengan Allah melalui tobat pribadi dan jika mereka berdosa berat dengan secepatnya menerima sakramen Tobat. Menarik bahwa Missale Romanum sebelum 1970 masih menganjurkan agar sedapat mungkin imam menerima sakramen tobat (dari seorang imam lain tentunya) setiap kali ia hendak mempersembahkan misa! (aku tidak tahu apakah imam-imam zaman sekarang masih rajin menerima sakramen tobat, tapi rasanya menarik jika ini diteliti).
Walaupun secara khusus doa ini digunakan oleh para imam (jika mereka merayakan misa Tridentine persisnya) namun doa ini juga penting untuk kita karena kita pun ikut mempersembahkan kurban dan juga kita ikut ambil bagian dalam persembahan kurban Kristus yang dipersembahkan kepada Bapa dalam Roh Kudus melalui tangan mereka. Persembahan kita ialah tubuh kita yang kita persembahkan sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah (Rom 12:1), maka kita juga perlu untuk memotivasi diri dan sudah pasti selalu mengusahakan agar hidup kita menjadi lebih baik dan lebih benar.
Sekalipun doa ini tidak lagi digunakan dalam misa Paulus VI, namun bukan berarti gagasan yang terkandung didalamnya ditolak atau tidak digunakan lagi. Gagasan itu tetap hidup dan ada, walaupun tidak lagi diungkapkan dengan cara yang se-eksplisit atau se-intensif dalam misa Tridentine. Sekurangnya toh kita masih menemukan hal ini dalam Kitab Hukum Kanonik:
Kan 916. Seorang yang sadar telah berdosa berat jangan merayakan Misa ( ini berbicara tentang para imam) atau menerima Tubuh Tuhan (ini menyangkut umat) tanpa pengakuan sakramental kecuali jika ada alasan berat dan tidak ada kesempatan mengaku dosa, dalam hal ini orang tersebut hendaknya ingat bahwa ia berkewajiban membuat sesal sempurna yang termasuk didalamnya niat untuk mengaku dosa secepat mungkin.
Dan juga bagi para imam tentang perlunya mempersiapkan diri dengan layak sebelum masuk ke tempat kudus Allah, juga dikatakan:
kurban ekaristi dan untuk bersyukur kepada Allah sesudahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar