Awalnya tulisan ini dibuat untuk R.P. Crispinus Budiman, O.S.C, katanya siapa tahu bisa buat untuk inspirasi homili untuk misa-adorasi tanggal 11 oktober yang lampau. Walaupun akhirnya tidak jadi digunakan karena yang bersangkutan sedang libur, aku memutuskan untuk mempublikasikannya disini.
Dalam buku kecil yang terdiri dari beberapa artikel dan homili yang disusun kembali dalam kesatuan yang baru ini, orang bisa melihat bagaimana garis besar pemikiran Ratzinger mengenai sakramen ekaristi. Dan dalam tulisan ini, saya akan mengungkapkan beberapa hal, yang menurut saya, merupakan gagasan yang menarik dari buku tersebut. Urutan gagasan yang disampaikan disini tidak sepenuhnya sama dengan yang ada dibuku tersebut, saya menyusunnya kembali sesuai jalan pikiran saya.
Ratzinger memandang seluruh hidup Yesus adalah pemberian diri Allah kepada manusia, dan pemberian ini berpuncak pada pengurbanan diri Yesus yang melalui wafatNya di Salib dan kebangkitanNya menyelamatkan seluruh manusia. Peristiwa wafat dan kebangkitan, misteri paskah, dengan begitu merupakan asalmula (origin) dari seluruh tindakan sakramen, khususnya sakramen ekaristi yang merupakan puncak dari semua sakramen-sakramen Gereja.
Dalam bukunya Ratzinger berkali-kali menegaskan sifat kurban dari ekaristi. Betul, bahwa ekaristi juga serentak merupakan suatu perjamuan, tapi ini tidak dapat dipisahkan dari sifat kurbannya (KGK 1382), dan berangkat dari titik ini Ratzinger membela seluruh proses perkembangan liturgi dari zaman gereja perdana sampai pembaruan liturgi tahun 1970. Ia menentang dua gagasan radikal yaitu mereka: pertama, yang ingin menghapus semua bagian misa yang muncul dari zaman post-apostolik atas dasar bahwa Yesus hanya menginginkan sekedar perjamuan sederhana untuk memperingati wafatNya, dan, kedua, ia menentang mereka yang menolak pembaruan liturgi tahun 1970 karena menganggap misa Paulus VI sudah menghapus hampir semua bahasa kurban dari liturgi misa. Ratzinger menegaskan bahwa kurban dalam misa terjadi dalam Doa Syukur Agung, sehingga penghapusan offertorium beserta sebagian besar doa-doanya yang diganti dengan preparatio donorum beserta doa-doa baru yang berasal dari tradisi perjamuan paskah yahudi tidak berpengaruh terhadap sifat kurban misa, beliau juga menambahkan bahwa ada doa dalam offertorium dimana roti yang belum dikonsekrasi sudah disebut hostiam (kurban) berpotensi menimbulkan sedikit salah paham. Ratzinger juga mengingatkan kita bahwa perjamuan malam terakhir, dimana Yesus menetapkan perjamuan kurban tubuh dan darahNya sebagai antisipasi atas sengsaraNya, adalah perjamuan paskah. Ia menjelaskan bagaimana Yesus menggunakan Haggadah, dan mengemukakan pendapatnya bahwa Kanon Romawi merupakan perkembangan langsung darinya, dan kemudian ia menjelaskan beberapa hal yang menarik dari isi Kanon.
Ratzinger juga berbicara mengenai sifat perjamuan dari ekaristi. Ini adalah suatu perjamuan keluarga, perjamuan yang diadakan Yesus hanya dengan orang-orang terdekatNya, yaitu Para Rasul, meskipun Ia juga menghendaki agar semua orang berpartisipasi didalamNya. Anak-anak hilang, yang berdosa berat, tidak dapat ambilbagian dalam perjamuan keluarga ini, kecuali jika mereka pulang ke rumah dan kembali menjadi bagian dalam keluarga. Dan ini juga mengapa hidangan perjamuan ini dikhususkan hanya bagi anggota keluarga dan tidak bagi semua orang, walaupun siapa saja dapat bergabung menjadi anggota keluarga Allah. Dalam spesies sakramen tubuh dan darah Kristus benar-benar hadir, makanan ini mengubah kita menjadi seperti Dia, mempersatukan kita tidak hanya dengan Dia tapi juga dengan semua orang lain yang menyambut komuni yang satu dan sama. Ekaristi membangun Gereja dan menguatkan kesatuannya. Karena itu kita tidak dapat merayakan ekaristi diluar Gereja, dan inilah alasan mengapa dalam setiap doa syukur agung kita menyatakan dihadapan Tuhan persatuan kita dengan Paus dan Uskup dioses kita. Ratzinger juga menekankan bahwa penerimaan Kristus secara sakramental tidak terpisahkan dengan penerimaan secara pribadi, hal ini sudah menjadi bagian dari liturgi yang mengubah doa-doa liturgi yang bersifat komunal menjadi doa pribadi pada saat menjelang komuni. Menerima Kristus juga berarti ambilbagian dalam kurbanNya, dimana kita didalam Dia mempersembahkan diri kita sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Bapa (Rom 12:1) dan mewajibkan kita untuk melatih tubuh kita dan menguasainya (1 Kor 9: 27) agar kita hidup seperti Yesus hidup (1 Yoh 2:6).
Kehadiran Kristus secara nyata dalam rupa sakramen, juga menjadi tanda kediaman Allah dibumi, tanda yang nyata bahwa Allah hadir di dekat kita. Seperti halnya umat perjanjian lama memiliki tabernakel (tabut perjanjian) dimana didalamnya terdapat loh-loh batu berisi sepuluh firman, maka umat perjanjian baru juga mengembangkan tabernakelnya sendiri dimana didalamnya terdapat Firman yang menjelma menjadi manusia dan hadir dalam rupa roti. Tempat ini menjadi shekinah di dunia kita, menjadi tempat sunyi dimana manusia dapat menarik diri sejenak dari kesibukannya dan memandang wajah Allah (Why 22:4). Semua kesalehan disekitar tabernakel, atau pada periode yang lebih awal ciborium, ini kemudian berkembang menjadi adorasi ekaristi, sebuah sekolah cintakasih yang menguatkan komuni kita dengan Dia yang kita sambut dalam misa, dan tempat untuk mengarahkan diri kita selalu kepadaNya, agar di dalam segala hal yang kita kerjakan hati kita terarah kepada Dia yang merupakan tujuan akhir dan kebahagiaan sempurna kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar