Jumat, 12 September 2008

Katekese dari Paus Benediktus XVI tentang St. Hieronimus (part 1)

Saudara-saudari terkasih

Hari ini, kita memusatkan perhatian kita kepada St. Hieronimus, Bapa Gereja yang memusatkan hidupnya kepada Alkitab: dia menerjemahkannya ke dalam bahasa latin, menafsirkannya dalam karya-karyanya, dan diatas segalanya, ia berjuang menghayatinya sepanjang hidupnya di dunia, walaupun ia memiliki kesulitan berupa sifat temperamen tinggi yang menjadi bawaannya.

Hieronimus dilahirkan dalam sebuah keluarga Kristen sekitar tahun 347 AD di Stridon. Dia menerima pendidikan yang baik dan kemudian dikirim ke Roma untuk menyelesaikan studinya. Sebagai pria muda ia tertarik dengan kehidupan duniawi (cf. Ep 22, 7), tetapi ketertarikan dan minatnya terhadap agama Kristen tetap tinggi.

Hieronimus dibaptis tahun 366 dan memilih hidup asketis. Dia pergi ke Aquileia dan bergabung dengan suatu kelompok kesalehan Kristen yang berhimpun disekeliling Uskup Valerian yang ia gambarkan hampir menyerupai “komunitas para kudus” (Chron ad ann. 374). Dia kemudian pergi ke Timur dan hidup sebagai hermit di di Padang Gurun Chalcis, selatan Aleppo (Ep 14,10), dan membaktikan hidupnya untuk belajar secara intensif. Dia menyempurnakan pengetahuan bahasa Yunani nya, dan mulai belajar bahasa Ibrani (cf. Ep 125, 12), dan menyalin kodeks serta tulisan para Bapa (cf. Ep 5,2). Meditasi, penyendirian diri, dan kontak dengan Sabda Allah menolong sensitifitas Kristennya menjadi semakin dewasa. Dengan pahit ia menyesali kesembronoan masa mudanya (Ep. 22, 7) dan secara mendalam menyadari betapa berbedanya mentalitas kafir dan kehidupan Kristen: melalui sebuah “visiun” yang dramatis dan hidup ia membuat sebuah pengkontrasan yang terkenal- dimana ia meninggalkan kepada kita dalam suatu tulisannya- didalam visiun itu ia melihat bahwa ia diusir dari hadapan Allah karena ia lebih menyerupai pengikut Cicero daripada seorang Kristen” (cf. Ep. 22, 30).

Tahun 382 ia pindah ke Roma: karena kehidupan asketis dan kemampuannya sebagai pakar, Paus Damasus memintanya bekerja sebagai sekretaris dan penasehatnya, Paus mendorong dia, untuk alasan pastoral dan cultural, mengerjakan suatu terjemahan Latin baru dari teks-teks Alkitab. Beberapa orang dari para aristokrat Romawi, khususnya para bangsawan wanita seperti Paula, Marcella, Asella, Lea dan beberapa yang lain, didorong oleh keinginan untuk menjalani kesempurnaan hidup Kristen secara lebih mendalam dan memperdalam pengetahuan mereka akan Sabda Allah, memilih dia sebagai pembimbing rohani dan guru dalam pembelajaran yang terstruktur terhadap teks-teks suci. Para bangsawan wanita ini juga mempelajari bahasa Yunani dan Ibrani

Setelah kematian Paus Damasus, Hieronimus meninggalkan Roma tahun 385 dan berziarah pertama-tama ke Tanah Suci, saksi bisu dari kehidupan Kristus di dunia, dan kemudian ke Mesir negara yang sangat disukainya karena di sana terdapat banyak rahib (cf. Contra Rufinum, 3, 22; Ep. 108, 6-14). Tahun 386 ia menetap di Bethlehem sampai ia mati, dan di sana juga ia menulis sejumlah besar karyanya: ia menafsirkan Sabda Allah, ia membela iman dan dengan penuh semangat melawan berbagai bidaah; ia mendorong para biarawan kepada kesempurnaan; ia mengajar kebudayaan Kristen dan filsafat klasik kepada para orang muda; dengan hati seorang gembala ia m menyambut para peziarah yang berkunjung ke Tanah Suci. Dia meninggal dalam sel nya yang terletak dekat Grotto Kelahiran Yesus tanggal 30 September 420.

Kecerdasan dan luasnya pengetahuan Hieronimus dalam bidang sastra memampukannya memperbaiki dan menerjemahkan banyak teks-teks bibis: suatu pekerjaan yang tak ternilai hasilnya bagi Gereja Latin dan kebudayaan Barat. Dengan mendasarkan diri pada teks berbahasa asli Yunani dan Ibrani, dan dengan bantuan perbandingan dengan versi-versi yang lebih tua, ia memperbarui terjemahan empat Injil dalam bahasa Latin, lalu Psalter dan sebagian besar Perjanjian Lama. Dengan mempelajari teks berbahasa asli Ibrani dan terjemahan Yunani Septuaginta, serta terjemahan dalam bahasa Yunani klasik yang berasal dari sebelum era Kristen, sebagaimana juga terjemahan Latin yang lebih awal, Hieronimus dengan bantuan para rekan kerjanya, mampu menghasilkan terjemahan yang lebih baik: terjemahan ini membentuk apa yang sering disebut “Vulgata”, teks ‘resmi’ Gereja Latin yang diakui demikian oleh Konsili Trente, dan setelah beberapa revisi tetap diakui sebagai teks ‘resmi’ Gereja dalam bahasa Latin. Sangat menarik untuk menegaskan criteria yang digunakan oleh Hieronimus dalam karyanya sebagai penerjemah. Dia sendiri mengungkapkan kriteria itu saat dia mengatakan bahwa ia menghormati susunan kata dalam Kitab Suci, karena dalam susunan itu, ia mengatakan “susunan kata-kata juga merupakan suatu misteri” (Ep. 57, 2), yaitu, suatu pewahyuan. Lebih jauh lagi, ia menegaskan kembali kebutuhan untuk mengacu keapda teks asli: “Perbedaan pandangan tentang Perjanjian Baru diantara orang-orang Latin seringkali terjadi karena interpretasi mereka didasarkan kepada manuskrip yang buruk, marilah kita kembali kepada yang asli, yaitu ke dalam bahasa Yunani, yang dengan bahasa itu Perjanjian Baru ditulis.” Demikian halnya juga dengan Perjanjian Lama, jika ada perbedaan antara teks Latin dan Ibrani kita harus mengacu keapda teks Ibrani; dan, kemudian kita akan mampu menemukan aliran yang mengalir dari sumbernya” (Ep. 106, 2). Hieronimus juga menafsirkan banyak teks-teks Alkitab. Baginya penafsiran harus menawarkan berbagai kemungkinan “agar pembaca, setelah membaca berbagai penjelasan yang berbeda dan mendengar banyak pendapat- bisa menerima atau menolak- dan dapat menilai mana yang paling masuk akal, dan seperti penukar uang yang ahli, dapat menolak uang yang palsu” (Contra Rufinum 1, 16).

Dengan penuh semangat dan tak kenal lelah Hieronimus melawan semua bidaah yang menentang tradisi dan iman Gereja. Dia juga menunjukkan betapa penting dan benar nya literatur Kristen yang kemudianmenjadi kebudayaan nyata dan diperbandingkan dengan literatur klasik: ia melakukan itu dengan mengarang De Viris Illustribus, sebuah karya yang didalamnya Hieronimus menampilkan biografi lebih dari seratus pengarang Kristen. Ia juga menulis banyak biografi para rahib, dan memperbandingkan kedalaman spiritualitas mereka dengan kehidupan monastik yang ideal. Sebagai tambahan, ia menerjemahkan berbagai karya pengarang Yunani. Akhirnya, dalam Epistulae yang sangat penting, sebuah mahakarya literatur Latin, Hieronimus dengan kekhasan keahliannya menampilkan, suatu panduan asketis bagi jiwa-jiwa.

Apa yang dapat kita pelajari dari St. Hieronimus? Bagi saya, pertama-tama adalah: cinta kepada Sabda Alalh dalam Kitab Suci. St. Hieronimus mengatakan: “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus”. Maka sangat penting bagi setiap orang Kristen memiliki hubungan pribadi yang hidup dengan Sabda Allah yang diberikan kepada kita dalam Kitab Suci. Dialog dengan Kitab Suci harus memiliki dua dimensi di satu sisi, dialog ini harus menjadi dialog pribadi karena Allah berbicara dengan setiap kita melalui Kitab Suci dan Kitab Suci itu juga memiliki pesan untuk setiap kita. Kita harus membaca Kitab Suci bukan sebagai kata-kata yang ditulis di masa lalu tetapi sebagai Sabda Allah yang juga disampaikan kepada kita, dan kita harus mencoba untuk mengerti apa yang ingin Tuhan katakana kepada kita. Bagaimanapun, agar tidak jatuh kepada individualisme, kita harus ingat bahwa Sabda Allah diberikan keapda kita untuk membangun persekutuan dan menyatukan kekuatan dalam kebenaran dalam perjalanan kita menuju Allah. Jadi, walaupun Sabda Allah selalu merupakan Sabda pribadi, ia juga sella merupakan Sabda yang membangun komunitas, membangun Gereja. Maka kita harus membacanya dalam persekutuan dengan Gereja yang hidup. Tempat istimewa untuk membaca dan mendengarkan Sabda Allah adalah Liturgi, di dalamnya, kita merayakan Sabda dan menjadikan Tubuh Kristus hadir dalam Sakramen, kita mengaktualisasikan Sabda dalam hidup kita dan menghadirkannya di tengah kita. Kita juga tak boleh lupa bahwa Sabda Allah melampaui waktu. Pendapat manusia dating dan pergi. Apa yang sangat modern hari ini bisa jadi sangat kuno esok hari. Di sisi lain, Sabda Allah adalah Sabda hidup abadi, ia berada dalam keabadian dan tetap benar selamanya. Dengan membawa Sabda Allah dalam hidup kita, kita membawa dalam diri kita keabadian, hidup abadi.

Saya ingin menutup dengan kata-kata St. Hieronimus yang pernah ia sampaikan kepada St. Paulinus Nola. Dalam kata-kata ini sang penafsir hebat ini mengungkapkan kenyataan yang sangat mendasar, yaitu, dalam Sabda Allah kita menerima keabadian, hidup abadi. St. Hieronimus berkata: “Cari dan pelajarilah di dunia kebenaran yang akan tetap berlaku di Surga” (Ep. 53, 10).

Paulus: Rasul Sukacita Kristus

Jika seseorang ditanya apa yang membuat dia bersukacita maka kita akan mendapat jawaban berupa hal-hal yang menyenangkan seperti: lulus ujian, mendapat perkerjaan atau naik gaji, mendapat pasangan hidup dan semacamnya, dan ini sangat wajar dan manusiawi, hal-hal semacam itu memang membuat hati kita menjadi penuh sukacita. Tetapi, hidup kita tidak selalu diisi oleh hal-hal yang menyenangkan, seringkali kita harus menanggung banyak kesusahan. Kesusahan seperti itu kadang membuat kita sedih dan kehilangan sukacita kita, hal-hal seperti; orang yang disayangi meninggal, kebakaran rumah, tidak lulus ujian, atau kehilangan pekerjaan jelas membuat kita sedih, dan kesedihan ini wajar dan manusiawi.

Paulus mengatakan kepada umat di Filipi untuk bersukacita, ia mengatakan: “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah” (Filipi 4:4). Disini kita diminta untuk selalu bersukacita, selalu berarti tanpa henti, dalam segala keadaan kita harus terus bersukacita. Apakah ini mungkin? Apakah bersukacita di tengah segala kesusahan hidup yang kita alami itu mungkin? Kalau ditanya “mungkin” atau “tidak mungkin” jawabannya yah jelas mungkin saja, toh dalam hidup sehari-hari kita juga bisa melihat bagaimana orang bisa tetap bersukacita walaupun ia harus menanggung kesusahan dalam hidupnya. Contoh yang paling sederhana adalah melihat bagaimana misalnya para orang tua harus bekerja keras demi mencukupi kebutuhan hidup anak-anaknya, seringkali para orangtua harus bekerja sangat keras namun mereka melakukannya dengan penuh sukacita. Mereka mungkin jengkel dengan bos di kantor atau pelanggan di toko, dan beratnya pekerjaan mungkin membuat mereka stress juga, tapi mengingat bahwa semua ini dilakukan untuk anak menimbulkan suatu sukacita tersendiri. Saya kira hal ini benar pada kebanyakan orang tua kita, dan Anda yang menjadi orang tua saya rasa juga mengalami sendiri hal ini. Jadi pada prinsipnya apa yang diperintahkan Kitab Suci bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Kita mungkin belum mampu melakukannya tapi kita dapat mengetahui dengan pasti bahwa dibantu dengan rahmat Allah kita bisa mencapai hal itu.

Allah memerintahkan kita untuk selalu bersukacita melalui Paulus, seorang Rasul besar yang memiliki peranan istimewa mengembangkan Gereja pada masa-masa awal berdirinya. Paulus bernama asli Saulus adalah seorang Yahudi yang lahir di Tarsus (Kis 22:3) sebuah daerah yang sekarang ini berada di Republik Turki, yang memiliki kewarganegaraan Romawi sejak lahir (Kis 22:8) dan dari situ kita dapat menyimpulkan ia berasal dari keluarga yang memiliki status sosial cukup tinggi karena dalam kekaisaran Romawi seorang non-Roma yang memperoleh kewarganegaraan Roma adalah sesuatu yang istimewa. Saulus adalah seorang yang terpelajar dalam hal hukum taurat menurut tradisi farisi, ia belajar di bawah bimbingan Gamaliel dan mahir berbahasa Ibrani (Kis 22:2-3). Ketika Saulus bertemu dengan Yesus ia menjadi buta dan perlu dituntun (Kis 9:9; 22:11), dan disini Paulus belajar untuk tidak lagi melihat dengan matanya sendiri dan menuntun dirinya sendiri, sejak saat itu ia bukan lagi dirinya tapi Kristus yang hidup dalam dia dan hidupnya yang sekarang adalah hidup dalam iman akan Putera Allah yang telah mengasihi dia dan menyerahkan diriNya untuk dia (Gal 2:20).

Penyerahan diri kepada Kristus memiliki akibat yang sangat panjang bagi Paulus ia mengalami banyak hal yang tidak menyenangkan; dianggap penipu entah oleh orang Yahudi ataupun sebagian orang Kristen yang menentangnya, ia pernah dipukuli sampai hampir mati, kapalnya pernah tenggelam dan ia kelaparan, ia dipenjara beberapa kali, dan akhirnya dipenggal di Roma setelah permohonan bandingnya ditolak Kaisar. Paulus menyebut dirinya pernah mengalami apa itu kelimpahan dan kekurangan (Filipi 4: 12). Kita bisa memperkirakan bahwa ia mengalami kelimpahan sebelum ia bertemu Yesus dan mulai kekurangan sesudah bertemu Yesus. Sangat sulit membayangkan Saulus yang berasal dari keluarga Yahudi elite dan mampu memperoleh pendidikan yang baik adalah seorang yang berkekurangan, sementara sangat mudah membayangkan Paulus yang ditengah perjalanannya sebagai pewarta Injil masih harus menjalankan bisnis kecil-kecilan sebagai tukang tenda untuk mencari makan (Kis 18:1) adalah orang yang hidupnya serba pas-pas an.

Paulus mengatakan: “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat! (Filipi 4: 4-5)”. Bagi Paulus “sukacita”, “kebaikan hati” dan “Tuhan sudah dekat” adalah sesuatu yang saling berkaitan. Istilah “Tuhan sudah dekat” menunjuk kepada kedatangan Tuhan, saat akhir dan final dari penyelamatan manusia, saat dimana Yesus datang mengadili semua orang; yang baik akan hidup kekal dan yang jahat akan dihukum (Yoh 5: 28-29; 2 Kor 5: 10). Ini menjelaskan kepada kita mengapa pesan “Tuhan sudah dekat” memiliki kaitan yang erat dengan “bersukacita” dan “kebaikan hati”. Kalau Tuhan sudah dekat maka kita semua sepantasnya bersukacita karena saat penyelamatan kita yang akhir dan final sudah semakin dekat, kita menyambut datangnya saat itu dengan berbuat baik agar nanti kita menerima pemenuhan janji keselamatan dari Yesus.

Di sini kita melihat kaitan antara sukacita dan harapan. Di awal saya menggunakan contoh orang tua untuk menunjukkan bahwa bersukacita dalam saat susah dan tidak menyenangkan adalah sesuatu yang masih mungkin bagi manusia biasa semacam kita ini. Kalau kita melihat contoh itu lagi kita juga bisa melihat bahwa sukacita itu juga berhubungan dengan harapan orang tua akan masa depan yang indah bagi anaknya. Orang tua yang memiliki harapan akan masa depan yang baik bagi anaknya memiliki kemampuan untuk tetap bersukacita walaupun ia harus menderita demi mencukupi kebutuhan-kebutuhan anaknya. Disini kita melihat sekali lagi bahwa hal ini secara alami juga dapat dibenarkan.

Katekismus Gereja Katolik mengungkapkan hubungan antara harapan akan kedatangan Tuhan dan kegembiraan sebagai berikut: “Kebajikan harapan adalah kebajikan teologal yang dengannya kita menginginkan Kerajaan Surga dan kehidupan abadi sebagai kebahagiaan kita, dengan menaruh kepercayaan pada janji Kristus dan bukan bersandar pada kekuatan kita sendiri, tapi dalam pertolongan rahmat Roh Kudus. Kebajikan harapan menanggapi kerinduan manusia akan kebahagiaan yang telah Allah tempatkan dalam hati setiap orang; ia mengangkat harapan yang menginspirasi semua akifitas manusia dan memurnikannya serta mengarahkannya kepada Kerajaan Surga; kebajikan harapan memelihara manusia dari keputusasaan, menguatkannya pada masa kesusahan; membuka hatinya untuk menginginkan kebahagiaan kekal. Dipenuhi harapan, orang dibebaskan dari keegoisan dan dituntun kepada kebahagiaan yang mengalir dari cinta kasih” (KGK no. 1817 dikutip sebagian dan 1818).

Hubungan antara sukacita, harapan akan kedatangan Tuhan dan perbuatan baik sebagaimana kita lihat dalam tulisan St. Paulus juga diungkapkan oleh St. Teresa dari Avila yang mengatakan kepada jiwanya: “ Berharaplah, jiwaku, berharaplah. Kamu tahu tidak tahu kapan hari dan waktunya. Berjagalah dengan cermat, bahkan sekalipun ketidaksabaranmu membuat kamu meragukan apa yang pasti dan mengubah waktu yang sebenarnya sangat singkat menjadi sangat lama. Bayangkanlah bahwa semakin kamu berjuang, semakin kamu membuktikan cintamu kepada Allah, dan semakin kamu akan bersukacita bersama Dia yang kamu cintai, dalam kebahagiaan dan pengangkatan yang tidak akan berakhir” (Exclamaciones del alma a Dios 15: 3, dikutip dari KGK no. 1821).

Sampai di sini, marilah kita mencoba meringkas apa yang telah kita bahas sebelumnya. Paulus selalu bersukacita dalam setiap peristiwa yang ia alami karena ia memiliki harapan akan Kristus yang menyelamatkannya dan yang memiliki rencana indah atas hidupnya. Harapan inilah yang menggerakan Paulus untuk terus bekerja di ladang Tuhan dan menebarkan benih injil dalam seluruh perjalanan kerasulannya dan harapan ini juga yang menggembirakan dia dalam segala kesusahan dan kegagalan yang dialaminya, dia tetap gembira dan tetap optimis serta tetap tekun dalam pekerjaannya apapun yang terjadi karena harapannya ia dasarkan pada Kristus yang selalu setia kepadanya.

Kita semua juga mengalami banyak kesulitan dalam hidup kita, kadang terasa begitu menghimpit sehingga membuat kita hampir kehilangan semangat. Jika kita percaya kepada Kristus yang telah menaklukkan kematian, maka kita tahu bahwa seburuk apapun situasi kita Allah mampu mengubahnya menjadi sesuatu yang baik. Harapan itu lah yang membuat kita selalu bergembira, tidak ada sesuatu yang benar-benar buruk karena Allah selalu mampu mengubah keburukan menjadi kebaikan, bahkan Ia telah mengubah kematian menjadi kehidupan. Jika kita benar-benar percaya akan Allah yang bangkit dari mati, maka dalam kesulitan seberat apapun kita harus atau mungkin lebih enak dikatakan kita diajak untuk selalu optimis dan selalu tekun melakukan apa yang baik dan benar dan untuk selalu bersukacita karena kita percaya akan akhir bahagia yang disediakan Allah untuk kita. Paulus mengatakan “Spe salvi facti sumus” Kita diselamatkan dalam pengharapan (Rom 8: 24). Semoga kita menaruh harapan kita hanya pada Kristus dan selalu bergembira karenanya!