Pengertian
Menurut Kitab Suci tanpa iman tidak seorangpun dapat berkenan kepada Allah, sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia (Ibr 11: 6). Penjelasan Kitab Suci ini menunjukkan bahwa iman tidak hanya merupakan kunci bagi penyelamatan tetapi juga kunci untuk menerima karunia-karunia Allah. Namun, apakah iman itu? Surat kepada orang Ibrani menggambarkannya sebagai dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr 11:1). Melengkapi penjelasan ini Katekismus Santo Pius X mendefiniskan iman sebagai “kebajikan supranatural, yang dicurahkan Allah ke dalam jiwa manusia, dan yang dengan mendasarkan diri kepada otoritas Allah sendiri, kita percaya kepada apa yang Allah wahyukan dan disampaikan oleh GerejaNya untuk dipercayai (On Virtues and Vices: Question 9)”.
Iman, sama seperti kebajikan harapan dan kasih, dicurahkan Allah ke dalam diri kita saat Dia menghiasi kita dengan rahmat pengudus dan melalui penerimaan sakramen (terutama pembaptisan) kita semakin diperkaya tidak hanya dengan kebajikan-kebajikan ini tetapi juga dengan tujuh karunia Roh Kudus. Namun, peneriman kebajikan teologal ini pada waktu pembaptisan tidaklah cukup untuk keselamatan bagi orang-orang Kristen yang mencapai usia mampu untuk menimbang (age of reason), kita juga perlu untuk melaksanakannya sebaik mungkin dalam seluruh hidup kita (On Vrtues and Vices: Question 6-8). Karena alasan ini iman, merupakan suatu hal yang sangat penting bagi semua orang Kristen, tidak hanya bagi mereka yang baru bertobat tetapi juga bagi yang sudah lama menjadi Kristen, sebab iman menentukan hubungannya tidak hanya dengan Allah tetapi juga dengan sesamanya, karena semua kebajikan moral yang menata hubungan kita dengan sesama didasarkan kepada iman kita akan Allah (KGK. 2087).
Seorang Kristen diharapkan untuk memiliki iman yang dewasa sebagai bagian dari jawaban kita terhadap perintah Allah untuk mengasihi Dia dengan segenap hati, jiwa dan budi kita. Iman kita hendaknya ditandai dengan kepercayaan yang utuh, bebas dari keraguan, dan tanpa kecurigaan atau ketakutan. Iman kita hendaknya mencerminkan hubungan kita dengan Allah sebagaimana digambarkan oleh Kitab Suci yaitu kedekatan seorang anak dengan Bapanya yang teramat baik dan setia serta ketaatan seorang hamba kepada Tuannya. Karena cinta kepada Allah hendaknya kita selalu memperkuat dan melindungi iman kita dengan bijak dan tekun dan menolak segala sesuatu yang melemahkan atau bertentangan dengannya (KGK. 2088).
Dasar-dasar Iman
Beberapa orang beranggapan iman itu seperti sebuah takhyul karena menurut mereka sedikit saja dasarnya. Iman Kristen adalah tanggapan kepada Allah yang mewahyukan diriNya kepada manusia melalui Kitab Suci, Tradisi dan ajaran GerejaNya, ketiga hal ini kerap disebut sebagai wahyu umum yaitu yang mengikat semua orang beriman. Mereka yang mengaku dirinya Kristen dengan sendirinya wajib menerima ketiga hal ini.
Allah juga berbicara kepada kita secara pribadi melalui dorongan hati kita atau melalui orang lain. Kita dapat saja keliru mengenali dorongan Roh dalam diri kita, maka yang penting disini adalah keterbukaan terhadap dorongan Roh yang disertai dengan kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita dapat saja keliru mengenali dorongan Allah. Hal-hal yang lebih khusus mengenai ini akan dibahas dalam topik discernment. Selain itu kita juga dapat mengenali Allah dengan pengertian akan kodratNya, hal ini berlaku terutama ketika berhadapan dengan situasi yang tidak spesifik disebut dalam Kitab Suci dan tanpa dorongan-dorongan yang istimewa, misalnya kita memohon penyembuhan bagi seorang yang sakit, padahal dalam Kitab Suci Allah tidak pernah berkata bahwa Ia akan menyembuhkan semua orang dari penyakit fisiknya dan juga tidak ada dorongan istimewa untuk berbuat demikian, namun dengan mendasarkan iman kepada belaskasihan Allah dan bahwa Allah akan memberi yang terbaik bagi si sakit, kita dapat memohon penyembuhan karena menurut kita itulah yang baik bagi si sakit dan menyerahkan kerinduan kita itu kepada Dia yang penuh belaskasihan.
Beberapa orang sering mempertentangkan iman dan akal budi. Bagi seorang Kristen iman dan akal budi tidak bertentangan. Iman memang melampaui akal budi namun iman tidak dapat bertentangan dengan akal budi, karena keduanya bersumber kepada Allah yang satu dan sama, dan kebenaran tidak dapat berkontradiksi. Karena itu iman Kristen yang sehat dan dewasa akan selalu memiliki unsur rasio.
Iman penuh pengharapan
Iman dapat kita bedakan menjadi tiga jenis: iman persetujuan, iman kepercayaan, dan iman penuh pengharapan. Iman persetujuan berarti menerima kebenaran-kebenaran ajaran Kristen, sementara iman kepercayaan berarti selain menerima kebenaran-kebenaran ajaran Kristen juga mempercayakan hidup kita kepada Tuhan, dan akhirnya iman penuh pengharapan berarti selain kedua jenis iman yang telah disebut sebelumnya juga melibatkan keberanian kita untuk mengharapkan pemenuhan janji-janji Allah dalam hidup kita.
Pada prinsipnya dari setiap orang Kristen diharapkan untuk memiliki iman pengharapan. Sekedar iman kepercayaan tidaklah cukup, sebab kata St. Yakobus setan-setan pun demikian (Yak 2:19). Iman kepercayaan membuat orang mampu melangkah lebih jauh lagi, yakni dengan mempercayakan seluruh hidup kepada Tuhan, namun sekedar mempercayakan tanpa adanya keberanian untuk berharap seringkali membawa orang kepada penyerahan yang pasif dan bahkan fatalis, maksudnya segala sesuatu yang terjadi dalam diterima begitu saja sebagai kehendak Allah tanpa pemeriksaan yang lebih mendalam baik kepada janji-janji Allah maupun kepada kehidupannya sendiri. Kedua jenis iman ini belumlah “iman” dalam arti yang sepenuhnya.
Iman penuh pengharapan merupakan penyerahan diri yang aktif. Maksudnya orang berani terbuka, mempercayakan segala keinginan dan harapannya kepada Allah karena Allah itu baik dan pasti akan memberi yang terbaik (Mat 7: 7-11) dan karena Allah ingin menyatakan kelimpahan rahmatNya di dalam dan melalui kita (Yoh 15:7-8). Memiliki iman yang penuh pengharapan akan menjadikan hidup kita penuh sukacita (Yoh 16: 24) karena kebaikan Allah menjadi pengalaman hidup kita sehari-hari.
Hampir pasti kita akan merasa gambaran di atas ini terlalu ideal dan terlampau lebar jarak antara iman penuh pengharapan dengan kehidupan iman kita sehari-hari. Iman semacam itu memang pada umumnya tidak muncul dalam semalam tetapi merupakan hasil pergumulan hidup rohani yang panjang dan penuh jatuh bangun. Untungnya Allah mengerti keadaan kita itu, gambaran Kitab Suci mengenai tokoh-tokoh iman mencatat dengan jelas pergumulan hidup dan iman mereka. Masalah mereka kerap kali sama dengan masalah kita. Kadang kita seperti Abraham merasa bahwa Allah bertindak kurang adil atau keadilanNya terlalu keras, dan bersama Abraham juga kita pernah merasa bahwa Allah menuntut terlalu banyak dari diri kita. Kita yang mengalami keluarga kita bagaikan neraka tentu mendapatkan ‘teman senasib’ dalam diri Daud yang keluarganya berantakan luar biasa, anak-anaknya saling bunuh dan Daud sendiri pernah hendak dibunuh oleh anak kesayangannya yaitu Absalom yang menghendaki kekuasaan ayahnya. Kita juga seperti Ayub pernah merasakan ditinggalkan oleh Allah dan diperlakukanNya secara tidak adil ketika kemalangan bertubi-tubi menghantam diri kita. Bersama Petrus dan seorang ayah yang kehilangan anak perempuannya kita juga sering merasa kesulitan untuk percaya kepada Kristus. Dan bersama Tuhan kita juga bisa terkejut karena melihat orang yang dianggap tidak beriman malah lebih mudah percaya dibandingkan kita yang sudah lebih mengenal Allah. Contoh-contoh semacam ini dapat diperpanjang meliputi hampir semua tokoh Kitab Suci.
Kitab Suci secara umum tidak menyediakan dasar teori atau saran-saran praktis tentang bagaimana kita mengatasi kesulitan-kesulitan dalam beriman tetapi menawarkan suatu sharing pengalaman dari pribadi-pribadi yang telah mendahului kita dalam menempuh jalan ini. Dari sharing mereka inilah kita mengenal suatu ‘seni’ untuk menjalani hidup bersama Allah, suatu cara hidup yang sebagai orang Kristen kita pandang sebagai hidup ideal.
Iman: jawaban yang menyeluruh
Kita beriman dengan seluruh diri kita, maksudnya dengan seluruh kemampuan inderawi kita. Iman selalu melibatkan intelek, kehendak, perasaan, dan tindakan kita. Dengan beriman berarti kita menyetujui apa yang Allah wahyukan dan kita berkehendak untuk menata hidup kita sesuai wahyuNya, mewujudkannya dalam tindakan kita. Proses ini berlangsung seumur hidup dan karenanya iman merupakan suatu jawaban yang terus-menerus. Iman merupakan suatu cara hidup yang dengannya kita berpikir, berbicara, bertindak selama hidup kita.
Biasanya terdapat dua ekstrim, yaitu ada beberapa orang yang sangat menekankan sisi intelektualitas dalam iman dan yang lainnya menekankan kepada perasaan. Baik perasaan dan intelek adalah bagian dari diri kita, tentu saja beriman juga melibatkan kedua unsur ini, namun sewajarnya saja. Perasaan kadang datang dan pergi tanpa diduga, kadang orang dapat saja meluap-meluap dalam perasaan-perasaan seperti sedih, senang atau terharu yang muncul sebagai semacam ‘hadiah’ dari Tuhan, namun hal ini tidak terjadi setiap hari. Dengan intelek juga begitu, kadang pertambahan pengetahuan tentang agama atau Kitab Suci dianggap begitu saja sebagai pertumbuhan iman, menambah pengetahuan itu baik tetapi itu tidak merupakan ukuran pertumbuhan iman, bertambahnya pengetahuan hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan belajar lebih baik dan tidak berhubungan secara langsung dengan pertumbuhan imannya.
Bertumbuh dalam Iman
a. Yang menghalangi:
a. Ketakutan bahwa apa yang kita harapkan tidak sejalan dengan yang Allah inginkan. Hal ini muncul dari ketidakpastian pribadi, takut gagal, serta pendekatan iman yang tegang.
b. Penekanan yang berlebih-lebihan pada perasaan (emosionalisme).
c. Tidak percaya diri dimana kita seringkali merasa ragu bahwa Allah menggunakan kita yang kecil, lemah dan berdosa ini. Pada hari pemilihannya Paus Benediktus XVI mengatakan bahwa dirinya berada diantara perasaan takut menghadapi beratnya tugas namun pada saat yang sama ia juga percaya bahwa Allah sanggup mengerjakan hal-hal besar dengan menggunakan alat-alat yang sederhana. Kesadaran akan kelemahan diri hendaknya jangan menghalangi berkaryanya Allah dalam diri kita melainkan menambah kepercayaan dan penyerahan diri kita kepadaNya.
d. Setan yang memang selalu ingin menjauhkan kita dari Allah.
b. Langkah positif kepada iman:
a. Sabda Allah dan Sakramen.
St. Paulus menegaskan bahwa iman timbul dari pendengaran akan sabda Kristus (Rom 10:7) dan surat kepada orang Ibrani meminta kita agar jangan menjauh dari pertemuan ibadat (Ibr 10: 25). Kitab Suci dibaca baik secara bersama dalam ibadat ataupun secara pribadi. Pewartaan Kitab Suci secara umum (publik) memiliki kaitan yang erat dengan sakramen-sakramen yang menyalurkan rahmat dan menumbuhkan iman.
b. Bacaan rohani.
Manusia memiliki pikiran dan pikiran kita sangat mempengaruhi cara hidup dan tindakan kita. Pikiran kita menjadi maju kalau dibina dengan baik, salah satunya adalah dengan membaca bacaan-bacaan yang bermutu. Karena iman melibatkan seluruh diri dan termasuk pikiran kita, maka dalam menumbuhkan iman kita juga perlu membinanya dengan bacaan-bacaan yang isinya menguatkan kita dalam iman.
c. Doa pribadi.
Doa adalah ungkapan iman yang paling langsung, sederhana, dan mudah. Doa seorang Kristen merupakan komunikasi antara kita dengan Allah. Banyak hal bisa dibahas tentang doa dan ini membutuhkan bahasan tersendiri yang lebih mendalam.
d. Doa iman.
Langkah ini secara langsung memohon kepada Tuhan tambahan iman. Akhirnya perlu ditekankan kembali bahwa tidak ada cara lain untuk memiliki iman selain diberi oleh Allah, karena itulah kita perlu meminta iman secara khusus. Kitab Suci memberi contoh doa iman yang sangat polos, sederhana namun menggugah, “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini” (Mrk 9: 24). Doa sederhana ini menggambarkan dengan jelas iman sebagai suatu anugerah, manusia hanya dapat membuka hati dan Allah-lah yang memberi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar