Oleh Abouna Paul Mooradd
Pastor Paroki Gereja Katolik Ritus Maronite* St. Antonius
Danbury, Connecticut
Jika Anda seorang Muslim, maka Anda ingin menjadi hamba Allah. Karena kata Islam berarti tunduk kepada kehendak Allah. Jika Anda mengikuti Hukum Musa dan menyebut diri Anda Yahudi, maka Anda ingin menjadi bagian dari bangsa suci Allah, atau, sebagaimana Perjanjian Lama menyebutnya, umat pilihan Allah. Jika Anda seorang Protestan, maka Anda ingin menjadi aristokrat atau bangsawan dalam Kerajaan Allah, menjadi seorang warga, hamba dan sahabat Raja dalam Kerajaan Allah, karena pada abad pertengahan para bangsawan di istana dipilih diantara penduduk suatu negara semata-mata berdasarkan perkenanan Raja, sama seperti yang diklaim oleh para Protestan berlaku dalam Kristus. Jika Anda seorang Ortodoks Timur, maka Anda ingin menjadi kekasih Kristus, karena kerinduan Anda adalah untuk berbagai keintiman cinta Allah dalam sakramen-sakramen, walaupun karena penyalahgunaan kebebasan Anda sendiri, Anda kerap kali menghambat persekutuan penuh dengan Keluarga Allah secara utuh. Dan, jika Anda seorang Katolik, maka Anda ingin menjadi mempelai Yesus dan keluarga-Nya. Anda mencari persekutuan intim dengan Allah dalam sakramen-sakramen dan merindukan Gereja yang adalah keseluruhan urusan cinta, keluarga dan warisan. Maka, Gereja Katolik menggambarkan dirinya sebagai Pengantin Wanita Kristus, dan kita, umat beriman, tidak hanya sebagai saudara dan saudari Yesus tetapi juga anggota Tubuh Mistik-Nya.
Hanya orang beriman Katolik dan Ortodoks saja yang memandang hubungan mereka dengan Kristus dengan cara yang sama, yaitu sebagai kekasih yang intim, dan karenanya memberi nilai spiritual bagi anugerah selibat. Karena selibat menandai keutamaan dan sifat ekslusif dari cinta seseorang kepada Allah. Hal ini, tentu saja, tidak mengurangi pentingnya pernikahan, tetapi mengangkat pilihan untuk tetap melajang ke tingkat spiritual yang sama dengan pernikahan.
Orang Katolik percaya bahwa Allah merancang semua ciptaan untuk menarik kita kepada pernikahan mistik dengan-Nya. Dia menciptakan kita dengan jenis kelamin yang berbeda, pria dan wanita, sehingga kita, sebagai individu, dapat mengetahui bahwa dari kedalamannya sendiri diri kita ini tidak lengkap. Maka kita ditarik oleh dorongan kodrat kita untuk mencari cinta dan mencari persekutuan dengan yang lain. Saling berbagi hidup dengan satu yang lain dalam perkawinan ini melambangkan bagaimana kita hendaknya hidup dalam persekutuan dengan dan melalui Allah sebagaimana, suatu perkawinan diyakini bersifat sakramental jika persekutuan dibagi oleh seorang pria dan wanita sebagai keluarga menjadi dasar bagi persekutuan mereka dengan Allah. Dengan cara ini, ciptaan berfungsi sebagai pengajaran non-formal (oleh hukum alam) kepada manusia tentang bagaimana mencari persekutuan dengan Pencipta mereka sebagaimana mereka menemukan persekutuan dengan sesama.
Bagaimanapun, juga ada, mereka yang setelah merasakan persekutuan dengan Allah diluar hubungan manusiawi apapun, memilih untuk mencari persekutuan ini saja. Mereka menjadikan diri mereka ‘kasim’ bagi Kerajaan Allah dan mengambil hidup selibat entah karena mereka memilih untuk tidak menikah karena mereka tidak mau ‘asal menikah’ yang pada gilirannya nanti tidak dapat menuntun kepada persekutuan dengan Allah, atau mereka yang secara bebas melepaskan segala bentuk persekutuan seksual apapun agar mencapai keintiman yang lebih dalam pada pernikahan rohani mereka dengan Kristus.
Selibat jenis pertama ini berlaku bagi setiap lajang Katolik yang setia kepada Tuhan kita, sehingga meskipun mereka ingin menikah, namun mereka memilih untuk hidup selibat daripada menikah dengan orang yang tidak tepat, atau memasuki persekutuan seksual yang tidak mendorong kepada persekutuan dengan Allah. Dengan memilih hidup lajang daripada ‘asal menikah’ mereka berbagi keintiman dengan Kristus sebagai martir rohani. Mereka mengorbankan tubuh mereka bersama Kristus di Salib untuk mewartakan bahwa hanya pernikahan yang benar atau hanya hubungan seksual yang sehat yang mendorong persekutuan dengan Allah.
Selibat jenis kedua adalah para biarawan, biarawati, rahib dan Imam, yang mengkhususkan diri mereka bagi Allah melalui kaul-kaul kebiaraan mereka. Mereka memasuki pernikahan sakramental, dimana selibat mereka dihidupi sebagai pelayanan bagi Gereja. Bagi mereka persekutuan dengan Allah menjadi sangat nyata melalui tindakan cinta kasih dalam lingkup tubuh umat beriman yang disebut Gereja. Melalui kehidupan selibat mereka, para Imam, biarawan dan biarawati memberikan kesaksian yang terlihat bagi pengurbanan Allah sendiri dan kelimpahan cinta kasih-Nya yang memberikan anugerah persekutuan umat beriman dengan-Nya. Kehidupan selibat mereka bersifat sakramental karena tubuh mereka menjadi suatu tindakan cinta yang mengurbankan diri bagi kehadiran cinta Kristus kepada Gereja-Nya yang memberikan anugerah penuh keberadaan-Nya sebagai rahmat dan kepenuhan Persekutuan Kudus.
Setiap kali para Imam, biarawan atau biarawati menyingkirkan kebutuhan fisik atau emosional mereka bagi kebaikan komunitas atau paroki mereka memberikan ungkapan terlihat dari sifat cinta Kristus yang mengurbankan diri. Para biarawati kita di Ohio meninggalkan ayah dan ibu mereka di Lebanon, untuk merawat orang-orang tua kita di Amerika ini, hal ini menunjukkan kepada kita kehendak mereka untuk menghadirkan kedalaman cinta Bapa, yang merelakan Putera Tunggal-Nya mati untuk menebus dosa kita, kepada orang-orang asing. Pastor Paroki Anda, yang berkehendak mengurbankan kebutuhan manusiawinya untuk suatu persekutuan keluarga agar kesendiriannya memberinya kebebasan untuk bekerja dalam waktu yang lama dengan gaji yang kecil dan hadir di sini bagi Anda, karena dia tidak memiliki ikatan keluarganya sendiri, dan dapat menghidupi selibatnya sebagai tanda terlihat dari cinta Kristus. Dia mengosongkan kehendak dan keinginannya sendiri melalui selibat, agar Kristus mengisi kekosongannya dengan Kehadiran Ilahi-Nya sendiri, sehingga Anda bisa secara nyata mengalami kehadiran Kristus dalam masalah-masalahmu. Anugerah selibat memungkinkan para Imam menjadi tanda sakramental yang terlihat dari cinta Kristus kepada Gereja-Nya.
Dalam Gereja, para Imam dan Diakon yang menikah dan berkeluarga**, juga menjadi tanda sakramental dari kehadiran Kristus, tapi sifat kesaksian mereka berbeda karena mereka tidak berselibat. Mereka telah masuk ke dalam persekutuan dengan Allah melalui anugerah sakramental perkawinan; dan menemukan dalam persekutuan manusiawi mereka dengan isteri mereka suatu gerbang kepada persekutuan suci dengan Kristus yang memanggil mereka melayani sebagai Imam dan Diakon sebagai tanda dari Persekutuan Suci itu. Mereka mempersembahkan kesaksian terlihat melalui perkawinan mereka bahwa sebagaimana seorang suami dan seorang istri memasuki persekutuan dengan Kristus dan menjadi satu daging (Gereja) dalam Tubuh Mistik-Nya. Para Imam dan Diakon yang berkeluarga adalah tanda kehadiran sakramental Kristus sebagai persekutuan, Tubuh Mistik, sementara para Imam dan Diakon yang berselibat adalah tanda sakramental kehadiran Kristus dalam Gereja sebagai sebagai seorang Pengantin Pria bagi Pengantin Wanita-Nya. Dengan ini, yang satu menjadi tanda persekutuan semua menjadi satu, dan yang lain adalah Kristus sebagai pengurbanan diri yang menyeluruh untuk semuanya demi kesatuan.
Dalam Gereja Katolik, selibat dalam diri seorang lajang dan panggilan membiara menguatkan seluruh Gereja dengan anugerah cinta Kristus yang mengurbankan diri. Para lajang adalah tanda rohani dari cinta Allah, yang menjaga Gereja tetap berpusat pada kodrat sejati perkawinan dan panggilan tertinggi semua manusia kepada persekutuan dengan Allah. Selibat menyempurnakan persekutuan cinta yang kita miliki sebagai orang Katolik dengan Kristus, yang membawa kita kepada persekutuan yang lebih intin di dalam dan bersama Allah.
Akhirnya, menjadi Katolik berarti bahwa seseorang memiliki hubungan mempelai dengan Allah entah dia menikah atau tidak dan kita adalah anggota keluarga Yesus Kristus.
* Ritus Maronite adalah salah satu dari 22 keluarga ritus dalam Gereja Katolik (satu yang paling besar dan familiar dengan kita adalah ritus Latin). Gereja ini berakar pada tradisi Kekristenan di Antiokhia (Syria) dan memiliki persekutuan penuh dengan Paus Roma.
** Berbeda dengan ritus Latin yang mewajibkan semua Imamnya untuk berselibat, ritus Maronite dan hampir semua keluarga ritus Timur menahbiskan para pria yang sudah berkeluarga untuk menjadi Diakon dan Imam Diosesan. Sejak Konsili Vatikan II ritus Latin telah menghidupkan kembali kebiasaan kuno untuk menahbiskan pria yang berkeluarga sebagai Diakon (bukan pro-diakon!) namun tetap mewajibkan seluruh Imam berselibat, kecuali bagi para Pendeta Protestan yang telah menikah dan kemudian menjadi Katolik maka ada kemungkinan untuk menerima dispensasi dan ditahbiskan sesudah menikah.
Artikel ini dimuat pada “The Maronite Voice: A Publication of the Maronite Eparchies in the USA” Volume 3, Issue no. IV, April 2007, p. 12 and 20.
hello... hapi blogging... have a nice day! just visiting here....
BalasHapus