Oleh Uskup Agung Ortodoks Kalistos Ware
Dalam artikel ini Uskup Agung Kalistos Ware dari Gereja Ortodoks menguraikan bagaimana hendaknya kita membaca Kitab Suci. Uraiannya juga berlaku bagi orang Katolik dan mencerminkan prinsip-prinsip yang juga dianut oleh Gereja Katolik.
Teks bahasa inggris dapat dibaca di:
Bishop Kallistos Ware: How To Read The Bible
Kita percaya bahwa Kitab Suci adalah seluruhnya selaras. Dalam Kitab Suci pada yang sama diwahyukan secara ilahi dan diungkapkan secara manusiawi. Kitab Suci membawa kesaksian otoritatif akan pewahyuan diri Allah- dalam penciptaan, dalam Penjelmaan Sabda menjadi daging, dan dalam seluruh sejarah keselamatan. Dan dengan demikian Kitab Suci mengungkapkan Sabda Allah dalam bahasa manusia. Kita mengetahui, meenrima dan menafsirkan Kitab Suci melalui Gereja dan dalam Gereja. Pendekatan kita terhadap Kitab Suci pertama-tama adalah ketaatan.
Kita dapat membedakan empat kunci yang menandai pembacaan Ortodoks akan Kitab Suci yaitu:
-Pembacaan kita harus ditandai dengan ketaatan
-Pembacaan kita harus bersifat Gerejani, yaitu bersama dan dalam Gereja
-Pembacaan kita harus berpusat pada Kristus, dan;
-Pembacaan kita harus bersifat pribadi
Membaca Kitab Suci Dengan Ketaatan
Pertama-tama, saat membaca Kitab Suci, hendaknya kita mendengarnya dengan semangat ketaatan. Gereja Ortodoks percaya akan inspirasi ilahi Kitab Suci. Kitab Suci adalah “surat” dari Allah, dimana Kristus sendiri berbicara. Kitab-kitab Suci adalah kesaksian berwibawa dari Allah tentang diri-Nya sendiri. Kitab-Kitab Suci mengungkapkan Firman Allah dalam bahasa manusia. Karena Allah sendiri berbicara kepada kita dalam Kitab Suci, maka tanggapan kita yang sepatutnya adalah kepatuhan, penerimaan, dan mendengarkan. Saat kita membaca, kita menantikan Roh Kudus.
Tetapi, sementara diinspirasikan secara ilahi, Kitab Suci juga diungkapkan secara manusiawi. Kitab Suci adalah sebuah perpustakaan dengan buku-buku berbeda yang ditulis oleh pengarang yang berbeda pada masa yang berbeda. Setiap buku Kitab Suci mereleksikan cara pandang pada masa ia ditulis dan sudut pandang yang khas pengarang. Allah tidak melakukan apapun sendirian, sebaliknya rahmat ilahi bekerja sama dengan kebebasan manusia. Allah tidak menghapuskan individualitas kita tetapi memperkayanya. Dan itulah yang terjadi dalam penulisan Kitab Suci. Pengarang bukan sekedar alat yang pasif, bukan sebuah mesin dikte yang merekam pesan-pesan. Setiap pengarang Kitab Suci menyumbangkan bakat pribadinya yang khas. Bersamaan dengan sisi ilahi, juga ada unsur manusiawi dalam Kitab Suci. Kita menghargai keduanya.
Masing-masing dari empat buku Injil, misalnya, memiliki pendekatannya sendiri-sendiri. Matius menampilkan suatu pendekatan yang lebih khas Yahudi terhadap Kristus, dengan penekanan akan kerajaan surga. markus memuat gambaran yang spesifik dan hidup akan pelayanan Kristus yang tidak muncul di tempat lain. Lukas mengungkapkan universalitas cinta Kristus, belas kasihan-Nya yang menjangkau semua baik kepada orang Yahudi ataupun kepada bangsa-bangsa lain. Dalam Injil Yohanes kita menemukan suatu pendekatan yang batin dan mistik terhadap Kristus, dengan penekanan akan cahaya ilahi dan diamnya keilahian dalam diri Kristus. Kita menikmati dan mendalami sampai kepada kepenuhan variasi yang memberi hidup ini di dalam Kitab Suci.
Melalui cara ini Kitab Suci adalah ungkapan Firman Allah dalam bahasa manusia, maka juga tersedia ruang untuk suatu penelitian yang jujur dan sulit saat mendalami Kitab Suci. Mendalami sisi manusiawi dari Kitab Suci, kita menggunakan secara penuh akal budi yang diberikan Allah kepada manusia. Gereja Ortodoks tidak menolak penelitian akademis tentang asal mula, waktu, dan kepengarangan buku-buku Kitab Suci.
Bersamaan dengan unsur manusiawi ini, bagaimanapun kita selalu melihat unsur ilahi. Kitab Suci bukan sekedar buku yang ditulis oleh individu-individu pengarangnya. Dalam Kitab Suci kita tidak hanya mendengar kata-kata manusia, yang ditandai dengan kemampuan dan kepekaan yang lebih atau kurang, tetapi juga kita mendengar Sabda Allah sendiri yang abadi dan tidak diciptakan yaitu Sabda keselamatan ilahi. Ketika kita membaca Kitab Suci, maka kita tidak membaca semata-mata karena rasa ingin tahu untuk memperoleh keselamatan. Kita datang kepada Kitab Suci dengan suatu pertanyan yang sangat pribadi: “Bagaimana saya dapat diselamatkan?’
Sebagai Sabda keselamatan ilahi dalam bahasa manusia, Kitab Suci harus membangkitkan dalam diri kita suatu rasa takjub. Pernahkan kamu merasakan, selama kamu membaca atau mendengarkan, bahwa ini semua telah menjadi terlalu biasa? Apakah pembacaan Kitab Suci menjadi berkembang atau malahan membosankan? Maka kita perlu terus menerus membersihkan gerbang persepsi kita dan melihatnya dalam kekaguman dengan cara pandang baru akan apa yang Tuhan tempatkan di hadapan kita.
Kita hendaknya menghampiri Kitab Suci dengan rasa kagum, dengan penuh harapan akan suatu kejutan. Ada begitu banyak ruang dalam Kitab Suci yang belum kita masuki. Ada begitu banyak kedalaman dan kemuliaan yang dapat kita temukan. Jika ketaatan berarti kekaguman, maka hal itu juga berarti mendengarkan.
Kita umumnya lebih baik dalam berbicara daripada mendengarkan. Kita kerap mendengar suara kita sendiri, tetapi seringkali tidak mau berhenti mendengarkan suara orang lain yang berbicara kepada kita. Jadi persyaratan pertama dalam membaca Kitab Suci adalah berhenti berbicara dan mulai mendengarkan- mendengarkan dengan ketaatan.
Saat kita memasuki sebuah Gereja Ortodoks (hal yang sama berlaku untuk Gereja Katolik Byzantine) yang ditata secara tradisional, dan memandang ke panti imam (sanctuary) yang terletak di ujung timur, kita melihat, di dalam apsis (panti imam), sebuah ikon Perawan Maria mengangkat tangan ke surga- sebuah sikap doa ala Kitab Suci yang masih digunakan banyak orang sanat ini. Ikon ini melambangkan sikap yang harus kita miliki saat kita membaca Kitab Suci- suatu sikap penerimaan, dari tangan yang secara tidak terlihat diarahkan ke surga. Dalam membaca Kitab Suci, kita menata diri kita menurut model Santa Perawan Maria, karena dialah yang paling unggul dalam hal mendengarkan. Saat mendengarkan pewartaan dari malaikat Gabriel ia mendengarkan dengan ketaatan dan menanggapi warta malaikat “Jadilah kepadaku menurut perkataanmu”(Luk1:38). Ia tidak dapat mengandung Sabda Allah dalam tubuhnya, jika ia tidak terlebih dahulu mendengarkan Sabda Allah dalam hatinya. Setelah para gembala menyembah Kristus yang baru lahir, dikatakan tentang dia: “Maria menyimpan segala perkara ini dan merenungkannya dalam hatinya” (Luk2:19). Lagi, saat Maria menemukan Yesus di Bait Allah, kita diberi tahu: “Ibu-Nya menyimpan segala perkara ini dalam hatinya”(Luk2:51). Kebutuhan mendengarkan yang sama ditekankan juga dalam kata-kata terakhir yang dikenakan kepada Bunda Allah dalam Kitab Suci dalam pesta perkawinan di Kana: “Apapun yang dikatakan-Nya kepadamu, buatlah itu”{Yoh2:5), katanya kepada pelayan pesta- dan kepada kita semua.
Dalam semua hal ini Santa Perawan Maria menjadi suatu cermin, suatu gambaran hidup dari orang Kristen Alkitabiah. Kita hendaknya menjadi seperti dia dalam mendengarkan Sabda Allah: merenungkan, menyimpan semua hal ini dalam hati kita, dan melakukan apapun yang dikatakan-Nya kepada kita. Kita mendengarkan dengan ketaatan saat Allah berbicara.
Memahami Kitab Suci Melalui Gereja
Di tempat kedua, kita harus menerima dan menafsirkan Kitab Suci melalui Gereja dan di dalam Gereja.
Gerejalah yang memberi tahu kita apa itu Kitab Suci. Sebuah buku tidak menjadi Kitab Suci karena teori-teori tertentu mengenai kapan ditulisnya atau siapa pengarangnya.Bahkan jika hal itu dapat dibuktikan, misalnya, bahwa Injil keempat sebenarnya tidak ditulis oleh Yohanes sang murid terkasih dari Kristus, hal ini tidak akan mengubah kenyataan bahwa kita orang Ortodoks (dan juga kita orang Katolik) menerima Injil keempat sebagai Kitab Suci. Mengapa? Karena Injil Yohanes diterima oleh Gereja dan di dalam Gereja. Adalah Gereja yang mengatakan kepada kita apa itu Kitab Suci, dan Gereja jugalah yang mengatakan kepada kita bagaimana Kitab Suci harus dipahami. Marilah kita melihat kisah orang Ethiopia yang membaca Perjanjian Lama di kereta kudanya, Rasul Filipus menanyainya “Apakah kamu mengerti apa yang kamu baca?” Dan orang Ethiopia itu menjawab “Bagaimana saya dapat mengerti kecuali ada seseorang yang membimbing saya?”(Kis8:30-31). Kita Semua ada dalam posisi orang Ethiopia itu. Kata-kata Kitab Suci tidak selalu menjelaskan dirinya sendiri. Allah berbicara secara langsung kepada setiap kita saat kita membaca Kitab suci. Pembacaan Kitab Suci adalah dialog pribadi antara setiap kita dengan Kristus- tetapi kita juga membutuhkan bimbingan. Dan pembimbing kita adalah Gereja. Kita menggunakan secar apenuh pemahaman pribadi kita sendiri dengan dibantu oleh Roh Kudus, kita menggunakan secara penuh penemuan-penemuan dari penelitian Kitab Suci yang modern, tetapi kita selalu menundukkan pandangan pribadi kita- entah pendapat kita sendiri atau para ahli- kepada keseluruhan pengalaman Gereja selama berabad-abad.
Pandangan Ortodoks ini diringkaskan dalam pertanyaan yang ditanyakan kepada orang yang masuk agama Ortodoks pada upacara penerimaan yang digunakan oleh Gereja Rusia: “Apakah kamu mengakui bahwa Kitab Suci harus diterima dan ditafsirkan sesuai kepercayaan yang telah diturunkan oleh para Bapa-bapa Suci, dan yang masih dan selalu dipegang oleh Gereja Ortodoks Kudus, Bunda kita?” (pandangan yang sama juga dinyatakan dalam berbagai ajaran Gereja Katolik, yang saya ingat Konsili Trente mengungkapkan hal yang sama)
Kita membaca Kitab Suci secara pribadi, tetapi tidak sebagai individu yang terisolasi. Kita membaca Kitab Suci sebagai anggota suatu keluarga, keluarga Gereja Ortodoks yang Universal. Saat membaca Kitab Suci, kita tidak mengatakan “aku” tetapi “kita”. Kita membaca dalam persekutuan dengan semua anggota Tubuh Kristus di seluruh belahan bumi dan di segala masa dan generasi. Batu uji dan kriteria pemahaman kita akan apa yang dimaksudkan Kitab Suci adalah pikiran Gereja karena Kitab Suci adalah buku Gereja.
Untuk menemukan “pikiran Gereja” darimanakah kita harus memulai? Langkah pertama kita adalah melihat bagaimana Kitab Suci digunakan dalam ibadat. bagaimana, secara khusus, Bacaan Kitab Suci dipilih untuk dibacakan pada berbagai pesta? Kita juga harus berkonsultasi dengan tulisan-tulisan para Bapa-bapa Gereja, dan melihat bagaimana mereka menafsirkan Kitab Suci. Cara Ortodoks dalam membaca Kitab Suci bersifat liturgis dan patristik. Kita semua menyadari, bahwa dalam kenyataannya, sulit untuk melakukan hal ini dalam kenyataan karena kita memiliki hanya sedikit tafsiran Ortodoks tentang Kitab Suci yang tersedia dalam bahasa Inggris, dan kebanyakan tafsiran Barat tidak menggunakan pendekatan liturgis dan patristik ini. (Pendekatan yang sama juga ideal bagi kita orang Katolik, walaupun pada kenyataannya kerap kali pendekatan ini ditinggalkan pada masa modern. Namun, ada beberapa pengarang yang mencoba kembali menghidupkan metode ini, di antara pengarang-pengarang tersebut yang cukup ringan dan enak dibaca adalah Scott Hahn, sementara dalam khazanah klasik Catena Aurea karya St. Thomas Aquinas tetap yang terdepan)
Sebagai contoh dari cara menafsirkan Kitab Suci dengan cara liturgis, yaitu dibimbing oleh penggunaanya pada pesta-pesta Gereja, marilah kita melihat bacaan-bacaan Perjanjian Lama yang digunakan untuk Ibadat Sore pada pesta Anunsiasi (Maria dikunjungi oleh Malaikat Gabriel). Jumlah bacaan itu ada 3, yaitu: Kejadian 28: 10-17 tentang mimpi Yakub melihat tangga yang menghubungkan surga dan bumi; Yehezkiel 43:27-44:4 mengenai visi sang nabi tentang tempat kudus di Yerusalem, dengan gerbang tertutup yang tidak dapat dilalui siapapun kecuali oleh Tuhan sendiri; Amsal 9:1-11 salah satu tulisan Kebijaksanaan paling agung dalam Perjanjian Lama yang dimulai dengan kata-kata “Hikmat telah mendirikan rumahnya”.
Teks-teks Perjanjian Lama ini, kemudian, sebagaimana mereka dipilih untuk Pesta Perawan Maria, menunjukkan bahwa teks-teks ini harus dimengerti sebagai nubuat mengenai Penjelmaan Tuhan melalui Sang Perawan. Maria adalah tangga Yakub, yang menyediakan daging yang digunakan dalam Penjelmaan Tuhan untuk memasuki dunia manusia kita. Maria adalah gerbang tertutup dan merupakan satu-satunya wanita yang melahirkan anak sementara ia tetap perawan. Maria menyediakan rumah yang didalamnya Kristus sang Hikmat Allah (1Kor 1:24) mengambilnya sebagai tempat kediaman. Mendalami Kitab Suci dengan mengacu kepada pemilihan bacaan untuk berbagai pesta, kita menemukan suatu bentangan penafsiran Alkitab yang sulit menjadi jelas bagi kita dalam pembacaan pertama.
Mari mengambil contoh lain dari Ibadat Sore pada hari Sabtu Suci, bagian pertama dari Vigili (tuguran) Paskah kuno. Di sini kita memiliki tidak kurang dari 15 bacaan Perjanjian Lama. Rangkaian bacaan disampaikan kepada kita dalam keseluruhan skema sejarah suci, sementara pada saat yang sama menggarisbawahi makna yang lebih mendalam dari Kebangkitan Kristus. Bacaan pertama diambil dari Kejadian 1:1-13, kisah penciptaan, maka Kebangkitan Kristus adalah pencipaan baru. Bacaan keempat adlaah seluruh kitab Yunus, dengan tinggalnya sang nabi di dalam perut ikan paus selama tiga hari sebagai pratanda dari kebangkitan Kristus setelah tiga hari dalam kubur (cf. Mat12:40). Bacaan keenam mengisahkan penyeberangan laut merah oleh orang-orang Israel (Kel13:20-15:29) yang mengantisipasi peralihan baru dari Paskah saat Kristus beralih dari kematian kepada hidup (cf. 1Kor 5:7-10:1-4). Bacaan terakhir adalah kisah tiga pemuda dalam api yang membara (Daniel 3) sekali lagi suatu “type” atau nubuat dari kebangkitan Kristus dari kubur.
Itulah dampak dari membaca Kitab Suci secara gerejani, di dalam Gereja dan bersama Gereja. Mempelajari Kitab Suci dengan cara liturgis ini dan menggunakan para Bapa Gereja untuk membantu kita, dimana-mana kita akan membuka tanda-tanda yang mengarah kepada misteri Kristus dan Bunda-Nya. Membaca Perjanjian Lama dalam terang yang Baru, dan yang baru dalam terang yang Lama- sebagaimana disarankan oleh kalender Gereja- kita menemukan kesatuan Kitab Suci. Salah satu cara terbaik mengenali kesinambungan antara Perjanjian Lama dan Baru adalah menggunakan konkordansi Kitab Suci yang baik. Kadang-kadang ini bisa mengatakan kepada kita arti Kitab Suci lebih dari yang dilakukan tafsiran manapun.
Pada kelompok-kelompok pendalaman Alkitab di paroki-paroki kita, akan berguna untuk memberikan suatu tugas khusus untuk mencermati bacaan-bacaan tertentu dari Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru yang digunakan untuk suatu pesta atau hari peringatan orang-orang kudus. Sementara itu seorang lain dalam kelompok bisa diserahi tugas untuk melakukan hal yang sama berkaitan dengan Bapa-bapa Gerea misalnya menggunakan homili-homili Santo Yohanes Krisostomus (yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris). Orang-orang Kristen sungguh perlu memiliki pemikiran yang patristik.
Kristus, Jantung Kitab Suci
Unsur ketiga dalam pembacaan Kitab Suci adalah harus berpusat pada Kristus. Kitab Suci membentuk suatu harmoni yang utuh karena kitab-kitab itu semuanya berpusat pada Kristus. Keselamatan melalui Mesias adalah topik utama yang menyatukan. Itu adalah topik yang berjalan di keseluruhan Kitab Suci, dari kalimat pertama sampai kalimat terakhir. Kami sudah menyebutkan cara dimana Kristus dapat dilihat dipratandakan dalam halaman-halaman Perjanjian Lama.
Kebanyakan studi Kitab Suci yang kritis dan modern di barat telah mengambil suatu pendekatan analitis yang memecahkan setiap buku menurut sumber-sumbernya yang berbeda. Jaringan yang menghubungkan diputuskan, dan Alkitab direduksi menjadi sekedar rangkaian unit-unit. Tentu ada nilai-nilai positif tertentu dalam metode ini. Tetapi kita perlu melihat kesatuan Kitab Suci sebagaimana melihat keragamannya, suatu akhir yang menyatukan semua sebagaimana awal mula yang tersebar. Ortodoksi lebih memilih untuk memandang keseluruhan Kitab Suci sebagai sebuah sintesis daripada pendekatan analitis ini, lebih memilih untuk melihat Kitab Suci sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh dengan Kristus dimana-mana sebagai ikatan kesatuan. (Katolisisme juga melakukan hal yang sama walaupun di kalangan para ekseget kita mungkin penilaian terhadap metode historis kristis masih lebih positif dibandingkan penilaian Uskup Kalistos. Bagaimanapun saya kira pandangan Kalistos sangat serupa dengan seorang ahli Katolik yang berpengaruh yaitu Joseph Ratzinger yang misalnya dalam bukunya Yesus dari Nazareth menafsirkan Kitab Suci menggunakan Bapa-bapa Gereja dan memadukannya juga dengan pendekatan historis kristis sembari sesekali mengkritisi metode ini)
Kita menemukan titik sambung antara Perjanjian Lama dan Baru dalam diri Yesus Kristus. Ortodoksi mengenakan signifikansi khusus kepada metode penafsiran “tipologis”, dimana “type” Kristus, tanda dan lambang akan karya-Nya, dikenali di sepanjang Perjanjian Lama. Contoh yang menonjol akan ini adalah Melkisedek, raja dan imam dari Salem, yang mempersembahkan roti dan anggur kepada Abraham (Kej14:18), dan yang dipandang sebagai type Kristus bukan hanya oleh para Bapa Gereja tetapi juga oleh Perjanjian Baru sendiri (Ibrani5;6, 7:1). Contoh lain sebagaimana telah kita lihat adalah Paskah Lama melambangkan Paskah Baru; pembebasan Israel dari Firaun di laut merah menandakan pembebasan kita dari dosa melalui wafat dan Kebangkitan Sang Juruselamat. Ini adalah metode penafsiran yang kita kenakan kepada seluruh Kitab Suci. Mengapa, misalnya, dalam separuh masa Prapaskah bacaan Perjanjian Lama dari kitab Kejadian didominasi oleh figure Yusuf? Mengapa dalam Pekan Suci kita membaca dari kitab Ayub? Karena Yusuf dan Ayub adalah orang-orang yang menderita tanpa bersalah, dan mereka adalah type atau pratanda dari Yesus Kristus, yang menderita tanpa salah di Salib dan yang menjadi pusat perayaan Gereja. Ini semua saling berkaitan.
Seorang Kristen Alkitabiah adalah dia yang, ke manapun ia memandang, di setiap halaman Kitab Suci, menemukan Kristus di mana-mana.
Kitab Suci Sebagai Sesuatu Yang Pribadi
Dalam kata-kata seorang penulis asketis dalam Kekristenan Timur, Santo Markus sang Rahib: “Dia yang rendah hai dan bertekun dalam karya rohani, saat ia membaca Kitab Suci, ia menerapkan segala sesuatu kepada dirinya dan bukan kepada sesamanya.” Sebagai orang Kristen Ortodoks kita juga melihat dalam Kitab Suci sesuatu untuk diterapkan secara pribadi. Kita tidak hanya bertanya “Apa artinya?” tetapi juga “Apa artinya untukku?” Kitab Suci adalah dialog pribadi antara sang Juruselamat dan diriku- Kristus berbicara kepadaku, dan aku menjawab. Inilah kriteria keempat dalam pembacaan Kitab Suci kita.
Saya hendak melihat seluruh kisah Kitab Suci sebagai bagian dari kisah pribadiku sendiri. Siapakah Adam? Nama Adam berarti “manusia”, maka kisah kitab Kejadian mengenai kejatuhan Ada, juga adalah kisah kejatuhan saya. Akulah Adam. Ketika Allah berkata kepada Adam, “Di mana engkau?”(Kej3:9). Kita sering bertanya “Dimana Allah?” Tetapi pertanyaa sebenarnya adalah yang ditanyakan Allah kepada Adam dalam setiap kita: “Dimana engkau?”
Dalam kisah Kain dan Habel, kita membaca kata-kata Allah kepada Kain, “Dimana Habel saudaramu?” (Kej4:9), kata-kata ini juga dialamatkan kepada setiap kita. Siapa Kain? Ia adalah diriku sendiri. Dan Allah bertanya kepada Kain dalam diri setiap kita, “Dimana saudaramu?” Jalan kepada Allah terletak pada cinta kasih kepada sesama, dan tidak ada jalan lain. Jika aku menindas saudaraku, maka aku menggantikan gambar Allah dengan gambar Kain, dan menyangkal sisi kemanusiaanku sendiri yang mendasar.
Dalam membaca Kitab Suci, kita dapat mengambil tiga langkah ini. Pertama, apa yang kita miliki dalam Kitab Suci adalah sejarah suci: sejarah dunia sejak saat Penciptaan, sejarah umat terpilih, sejarah Allah yang menjadi daging di Palestina, dan “perbuatan ajaib” setelah Pentakosta. Kekristenan yang kita temukan dalam Alkitab bukanlah ideologi, bukan teori filsafat, tetapi iman yang menyejarah.
Kemudian kita masuk ke langkah kedua. Sejarah yang disampaikan di Kitab Suci adalah sejarah pribadi. Kita melihat Allah campur tangan pada waktu dan tempat yang khusus, dimana Ia berdialog dengan orang-orang secara pribadi. Ia menyapa setiap orang dengan namanya masing-masing. Kita melihat dalam Kitab Suci suatu panggilan yang secara khusus disampaikan Allah kepada Abraham, Musa dan Daud, Ribka dan Ruth, Yesaya dan para nabi, dan kemudian kepada Maria dan para Rasul. Kita melihat selektifitas dari tindakan ilahi dalam sejarah, bukan sebagai skandal tetapi sebagai berkat. Cinta Allah universal ruang lingkupnya, tetapi Ia memilih menjadi daging di sudut tertentu bumi, di suatu waktu tertentu dan dari seorang Ibu tertentu. Dengan cara ini kita menikmati keunikan tindakan Allah sebagaimana tercatat dalam Kitab Suci. Orang yang mencintai Alkitab mencintai detail sejarah dan geografi Kitab Suci. Itulah sebabnya Ortodoksi memiliki devosi yang kental kepada Tanah Suci, tempat di mana Kristus hidup dan mengajar, mati dan hidup kembali. Sebuah cara gemilang untuk memperdalam pembacaan Kitab Suci kita adalah melakukan peziarahan ke Yerusalem dan Galilea. Berjalan di mana Kristus berjalan. Turun ke Laut Mati, duduk sendirian di batu karang, merasakan apa yang dirasakan Kristus selama 40 hari dicobai di padang gurun. Minum dari sumur dimana Ia berbicara kepada wanita Samaria. Pergi dimalam hari ke taman Getsemani, duduk di kegelapan dibawah pohon zitun kuno dan kemudian memandang lembah melihat cahaya kota. Mengalami secara penuh kenyataan latar belakang sejarah ini, dan mengembalikan pengalaman itu kepada pembacaan Kitab Suci pribadi harianmu.
Kemudian kita mengambil langkha ketiga. Menghidupkan kembali sejarah Kitab Suci dengan segala kekhususannya dengan menerapkannya secara langsung kepada diri kita sendiri. Kita hendaknya berkata kepada diri kita, “Semua tempat dan peristiwa ini bukan saja berlangsung jauh di sana dan pada waktu lampau, tetapi juga bagian dari hubungan pribadiku dengan Kristus. Aku adalah bagian dari cerita ini.”
Pengkhianatan, misalnya, adalah bagian dari kisah hidup semua orang. Apakah kita tidak pernah dikhianati seseorang pada masa hidup kita, dan apakah kita tidak mengalami sama sekali apa artinya berkhianat, dan tidakkah kenangan ini meninggalkan luka dalam jiwa kita? Kemudian bacalah kisah pengkhianatan Santo Petrus kepada Kristus dan pemulihannya sesudah Kebangkitan, kita bisa melihat diri kita sebagai pemeran dalam kisah ini. Bayangkanlah apa yang dialami Yesus dan Petrus segera sesudah pengkhianatan, masuklah ke perasaan mereka dan jadikanlah itu perasaanmu. Sayalah Petrus; atau dalam situasi ini bisakah saya adalah Kristus? Renungkanlah juga proses perdamaiannya- bertanyalah kepada diri sendiri: Bagaimana Kristus- seperti aku melakukan sesuatu terhadap orang yang mengkhianati aku? Dan, setelah tindakan pengkhianatanku sendiri, beranikah aku menerima permintaan maaf dari orang yang telah mengkhianati aku- apakah aku mau memaafkan diriku sendiri? Atau apakah aku enggan memaafkan, selalu membuang muka, tidak pernah siap memberikan diriku secara sepenuhnya untuk apapun entah itu baik atau jahat? Seperti yang dikatakan oleh para Bapa Padang Gurun “Jauh lebih baik orang yang telah berdosa, jika dia tahu dirinya berdosa dan berobat, daripada orang yang tidak berbuat dosa dan berpikir bahwa dirinya adalah orang benar.”
Sudahkah aku memiliki keberanian Santa Maria Magdalena, ketekunan dan kesetiaannya, ketika ia pergi hendak meminyaki tubuh Kristus di makam (Yoh20:1)? Apakah aku mendengar Juruselamat yang Bangkit memanggil namaku, sebagaimana Ia memanggil dia, dan apakah aku menjawab Dia Rabbuni (Guru) bersamanya dengan segala kesederhanaan dan ketulusannya (Yoh20:16)?
Membaca Kitab Suci dengan cara ini- dalam ketaatan, sebagai anggota Gereja, menemukan Kristus, dimana-mana, melihat semua hal dalam Kitab Suci sebagai bagian dari kisah pribadiku sendiri- kita akan merasakan sesuatu pada keragaman dan kedalaman yang dapat kita temukan dalam Alkitab. Namun kita juga akan selalu merasa bahwa pendalaman Kitab Suci kita selalu berada pada tahap awal. Kita bagaikan seorang dengan perahu kecil di tengah lautan tak terbatas.
“Firman-Mu adalah pelita bagi kakiku, dan terang bagi jalanku” (Mazmur 119:105).
Rabu, 14 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar