Rabu, 14 Oktober 2009

Karismatik dan Kontemplatif: Apa Kata Yohanes Salib?

Oleh Ralph Martin

Versi asli dapat dibaca di sini (klik)

Kontak pertamaku dengan Yohanes Salib terjadi sesaat setelah tahun terakhir saya di Notre Dame. Mengikuti gerakan Cursillo beberapa bulan sebelum kelulusan membawa dampak besar dalam hidupku. Dari mengalami berbagai kebingungan sampai karena rahmat Allah dibawa kepada perjumpaan yang mendalam dengan realitas Tuhan yang bangkit, dan dicurahi keinginan yang begitu kuat untuk menjadi satu dengan-Nya dan melayani Dia. Saya sebenarnya berpikir bahwa saya diperkenalkan kepada dimensi iman yang karismatik dan kontemplatif walaupun saat itu saya tidak memiliki suatu istilah atau konsep untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Saya tahu bahwa Yohanes Salib adalah tokoh yang sungguh “dalam” dan saya memutuskan bahwa saya harus membaca karya-karyanya. Saya mulai dengan “Mendaki Gunung Karmel” dan membaca sekitar 100 halaman sebelum memutuskan bahwa karya itu terlalu “gelap” dan negatif, jadi saya meletakkannya dan berhenti membacanya tanpa selesai. Kemudian saya melanjutkan sekolah dengan belajar filsafat di Princeton dan Tuhan menyediakan sarana lain untuk membantu pertumbuhan rohani saya.

Pada tahun pertama di sekolah itu saya diminta oleh seorang Uskup untuk membantu pendirian kantor nasional pertama bagi gerakan Cursillo di Lansing, Michigan. Saat itu gerakan pembaruan karismatik dalam Gereja Katolik muncul dan saya segera terlibat dengannya, membantu mendirikan penerbitannya yang pertama, kantor internasionalnya yang pertama, struktur kepemimpinannya dan komunitas-komunitas awalnya. Selama empat tahun saya dan istri saya tinggal di Belgia sebagai sebuah keluarga muda yang membantu Kardinal Suenens memenuhi perintah dari Paus Paulus VI dan kemudian dari Yohanes Paulus II untuk membantu gerakan karismatik berkembang dengan benar dalam Gereja.

Pada akhir tahun 1989 dan awal 1990-an banyak komunitas Katolik karismatik mengalami pemurnian dan pembaruan yang sulit tetapi sungguh perlu. Pada waktu ini saya memutuskan untuk mengambil gelar teologi lanjutan dalam bidang Eklesiologi di Seminari Hati Kudus di Keuskupan Agung Detroit karena banyak masalah yang muncul dalam komunitas-komunitas ini berkaitan dengan eklesiologi. Dekan di fakultas itu kemudian mendorong saya untuk mengambil gelar master teologi dan memberi saya banyak kredit dari tulisan-tulisan yang telah saya kerjakan sebagai suatu insentif.

Sewaktu mempelajari Sejarah Spiritualitas saya berjumpa lagi dengan Yohanes Salib. Tugas bacaan dalam pelajaran itu adalah “Madah Rohani”. Saya ingat bagaimana saya duduk di bandara Zurich, Switzerland menunggu penerbangan pulang ke US (sekolah teologi saya bersifat paruh waktu dan saya terus menerus bepergian untuk pelayanan) dan melakukan tugas bacaan saya. Saat saya membaca “Madah Rohani” rasanya seperti dibanjiri dengan iluminasi (penerangan). Segala hal yang telah saya alami, harapkan, inginkan, dan berani saya impikan, baik dalam hidup duniawi dan rohani saya, diungkapkan dalam tulisan Yohanes Salib dengan kejelasan dan kedalaman yang secara harfiah membuat saya sulit bernafas. Saya tidak bisa membuka mata saya; saya sulit berbicara, cahaya yang membanjiri keberadaan saya terlalu kuat.

Pengalaman ini membuat saya memiliki keinginan besar untuk membaca semua karya Yohanes Salib, semua karya Theresia dari Avila, semua karya dari Theresia dari Liseaux dan untuk memahami apa yang mereka terima dari Allah untuk diajarkan. Begitu kerinduan ini muncul mereka menjadi pembimbing hidup rohani saya yang paling penting. Dan kemudian, tanpa diduga-duga, saya menerima telefon dari Universitas Fransiskan di Steubenville yang menanyakan apakah saya mau mengajar kursus musim panas lanjutan dalam bidang penginjilan dalam program MA musim panas. Saya mengatakan bahwa saya tertarik tetapi saya lebih berminat untuk mengajarkan tentang Yohanes Salib dan Theresia dari Avila. Mereka mengatakan ya dan dimulailah suatu fase yang sungguh tidak terduga dalam hidup saya.

Sambil melanjutkan pelayanan saya dengan Renewal Ministries dimana saya adalah pemimpinnya (sebuah organisasi yang didedikasikan bagi pembaruan Katolik dan penginjilan, yang terlibat terutama dalam pelayanan media dan karya misi di lebih dari 20 negara; www.renewalministries.net) saya mulai mengajar dalam bidang teologi spiritual dengan cara yang regular. Selama 4 tahun terakhir di Universitas Fransiskan untuk program musim panas mereka, kemudian dalam kursus Spiritualitas Katolik yang disyaratkan untuk gelar teologi di Ave Maria College di sini di Michigan, dan untuk beberapa tahun terakhir mengajar Pengantar Spiritualitas untuk kursus bagi para seminaris setingkat college dan pelayan pastoral awam di Seminari Hati Kudus di Detroit, dan baru-baru ini mengajar kursus tingkat lanjutan di seminari dalam bidang Penginjilan dan Spiritualitas. Sejumlah tokoh Karmelit menonjol dalam beberapa kursus ini.

Pada masa-masa ini saya tetap melanjutkan aktifitas saya berbicara di banyak acara yang berorientasi keapda pembaruan karismatik di berbagai tempat di dunia, tetapi juga dalam acara-acara lain, termasuk retret-retret dan konferensi-konferensi Karmelit. Saya secara rutin bertemu seseorang yang mengatakan kepada saya begini: “Dulu saya karismatik tetapi sekarang saya kontemplatif.” Atau, dari sudut lain, “Saya lebih menyukai doa kontemplatif yang tenang dan tidak akan pernah menjadi karismatik.” Atau: “Bagaimana Anda dapat mendorong pelaksanaan (ungkapan) karunia-karunia karismatik? Tidakkah Anda sadari apa yang Yohanes Salib katakan tentang pengalaman-pengalaman rohani semacam ini?”

Sepertinya ada kesan umum bahwa karismatik dan kontemplatif itu bertentangan satu sama lain, dan bukannya saling melengkapi, dan bahwa Yohanes Salib mengecam penggunaan karunia-karunia karismatik. Saya ingin menyampaikan beberapa refleksi tentang masalah ini yang harapannya bisa menjadi pertimbangan ulang dari asumsi-asumsi semacam ini, yang saya percaya, bahwa asumsi semacam itu salah, dan tidak benar-benar menggambarkan posisi Yohanes Salib yang sebenarnya atau kebeanran sebagaimana disampaikan oleh Kitab Suci dan Kuasa Mengajar Gereja. Ada banyak masalah yang harus dibahas, tetapi marilah kita fokus kepada salah satunya saja dulu.

Apakah Yohanes Salib Mengecam Penggunaan Karunia Karismatik?
Dengan membaca Yohanes Salib, kita tahu bahwa perhatian utamanya adalah menunjukkan bagaimana segala yang lain daripada Allah sendiri dapat menjadi suatu kesulitan-suatu halangan, yang memperlambat, atau mengalihkan kita dari kemajuan kea rah tujuan akhir persatuan seperti dalam Beatific Vision (Pandangan Terberkati, atau dalam sejumlah bentuk komunikasi spiritual yang juga merupakan partisipasi aktual dari persatuan semacam itu).

Salah satu kontribusi Yohanes Salib yang paling penting adalah pandangannya yang seperti laser yang menunjukkan kepada kita bahwa pengalaman yang paling rohani sekalipun dapat berfungsi sebagai halangan untuk bersatu dengan Allah jika kita mencarinya atau terikat dengannya. Yohanes mengakui bahwa Allah memberikan pengalaman-pengalaman ini karena berbagai macam alasan, termasuk kelemahan manusiawi kita, tetapi ia mendorong kita agar tidak terikat dengannya, tetapi untuk membiarkan rahmat dari pengalaman itu memperdalam iman, harapan, dan kasih dalam hidup kita.

Penting sekali untuk memperhatikan pembedaan kritis antara pengalaman rohani dimana kita adalah penerimanya atau pengalaman yang diberikan untuk pertumbuhan rohani kita (penghiburan dalam doa, sukacita rohani, berbagai macam visiun/pengelihatan, lokusi, rapture/levitasi, dll) dan pengalaman rohani, dimana kita menjadi penyalur darinya, untuk pertumbuhan Gereja atau karya evangelisasi (sabda pengetahuan atau kebijaksanaan bagi orang lain, karunia penyembuhan, mukjizat, kata-kata nubuat, bahasa roh dan penafsirannya, karunia kemurahan hati, karunia memerintah, karunia pengajaran dan berkhotbah, karunia “membantu” dst). Sementara memang ada suatu wilayah dimana dua jenis pengalaman rohani menjadi tumpang tindih pembedaan diantara keduanya tetaplah penting.

Pengalaman rohani jenis kedua ini disebut sebagai “karisma” atau anugerah dalam Perjanjian Baru. Perjanjian Baru tidak mencoba untuk membuat daftar lengkap dari karisma semacam itu atau karya-karya Roh Kudus bagi kepentingan yang lain, tetapi menyediakan beberapa daftar untuk menunjukkan kekayaan dan keragaman karya Roh Kudus bagi orang Kristen untuk kepentingan sesama. Beberapa daftar utama- dan pengajaran alkitabiah tentang karisma- dapat ditemukan di 1 Korintus 12-14 dan Roma 12:1-8.

Yohanes Salib tidak berniat untuk menulis suatu teologi positif yang menyeluruh dan seimbang mengenai karya karismatik Roh Kudus untuk kepentingan sesama Yohanes Salib membahas mereka dalam bukunya “Mendaki Gunung Karmel” III bab 30-32. Dalam buku ini Yohanes Salib membahas tentang bagaiman kehendak menjadi tertarik dengan karunia-karunia yang asli (sungguh berasal dari Allah) namun dalam suatu cara yang menghalangi kemajuan untuk bersatu dengan Allah. Dalam bab-bab ini ia embahas realitas anugerah-anugerah rohani dan bagaimana kehendak bisa tertarik dengannya, lima dari enam kelompok anugerah dibahasnya. Jadi walaupun tulisannya secara khusus membahas kemungkinan bahaya yang timbul dari karunia karismatik namun ia meyakini realitasnya dan juga kegunaanya (mengikuti terminology Thomistik ia menyebut mereka gratiae gratis datae/rahmat yang diberikan dengan percuma, dalam arti tidak menguduskan dan tidak mensyaratkan kekudusan) dan secara spesifik mengutip karunia karismatik dari 1 Kor 12:9-10 sebagai bentuk karya Roh Kudus yang hendak dibahasnya.

“Contoh dari karunia-karunia ini adalah karunia kebijaksanaan dan pengetahuan yang diberikan Allah kepada Salomo (1 Raj13:7-12) dan rahmat yang diurutkan oleh Santo Paulus: iman, karunia penyembuhan, melakukan mukjizat, nubuat, pengetahuan dan pembedaan roh, penafsiran kata-kata, dan juga bahasa roh (1 Kor 12:9-10).”

Yohanes Salib mengakui pengajaran alkitabah tentang karunia-karunia ini. “Pengunaan karunia-karunia ini secara langsung berkaitan demi kebaikan sesama, dan Allah mencurahkan mereka untuk tujuan itu, seperti dikatakan oleh St. Paulus: “roh dikaruniakan untuk kepentingan sesama(1Kor 12:7). Pernyataan ini dimengerti dalam acuan kepada karunia-karunia ini.” (Mendaki Gunung Karmel, III, 30, 2)

Kemudian ia membahas dua macam manfaat yang diberikan Allah melalui penganugerahan karunia-karunia ini.
“Manfaat sementara termasuk penyembuhan bagi yang sakit, memulihkan pengelihatan bagi yang buta, membangkitkan yang mati, pengusiran setan, menubuatkan masa depan agar orang dapat berhati-hati, dan hal-hal lain serupa itu.
Manfaat kekal dan spiritual termasuk pengetahuan dan cinta akan Allah yang disebabkan oleh karya-karya ini baik dalam diri mereka yang menjalankannya atau dalam diri mereka yang baginya karunia ini dijalankan, atau bagi yang menyaksikan karunia ini dijalankan.” (Mendaki Gunung Karmel, III, 30,3)

Berkaitan dengan orang yang menggunakan karunia-karunia semacam itu, Yohanes Salib menasehati mereka untuk jangan bersukacita karena mereka memiliki dan menggunakan karunia semacam itu, tetapi hendaknya bersukacita hanya karena mereka melakukan kehendak Allah dengan didorong oleh kasih sejati. Dia mengutip peringatan Alkitab yang penting dan umum; 1 Kor 13:1-2 dengan peringatannya untuk tetap mengutakan kasih atas semua hal ini, dan Luk 10:20 bersamaan dengan nasehat Yesus agar bersukacita karena hal-hal yang penting, bukan hanya karena setan-setan tunduk kepada kita dalam karya penginjilan tetapi karena “namamu tertulis di kitab kehidupan.” (Mendaki Gunung Karmel, III, 30, 4-5)

Berkaitan dengan orang yang memperoleh manfaat dari pelaksanaan karunia-karunia ini, Yohanes Salib menekankan bahwa walaupun baik tubuh kita ini disembuhkan, setan diusir dan keaslian nubuat mengilhami dan memperingatkan orang, sukacita karena pemberian sementara ini janganlah terlalu besar (“manfaat sementara dari karya supranatural dan mukjizat hanya sedikit atau bahkan tidak mendatangkan sukacita bagi jiwa”), kecuali jiwa yang mengalami manfaat ini, berbalik kepada Allah dan menjadi dipersatukan atau dipersatukan lebih dalam dengan-Nya. Sebagaimana dinyatakan Yesus, ada sukacita besar di surga jika ada satu orang bertobat. Ungkapan sukacita yang lebih penuh sepatutnya dikhususkan bagi apa yang memiliki nilai abadi seperti pertobatan sejati dan berbalik kepada Allah.

Yohanes Salib secara cerdas menunjuk bahasa bagi jiwa yang menggunakan karunia-karunia ini dengan sukacita yang berlebihan semata karena manfaat sementara dari pemberian-pemberian ini. Dia menujuk bahwa ketertarikan yang berlebihan atau sukacita karena memiliki karunia-karunia ini dapat dengan sangat mudah menuntun orang kepada penggunaannya yang tidak pantas dan bahkan tidak otentik. Yohanes Salib mengatakan: “Orang, yang bersukacita karena karunia-karunia ini, tidak hanya menginginkan untuk mempercayainya lebih lagi, tetapi merasa berbeban untuk menggunakannya diluar waktu yang tepat.” (Mendaki Gunung Karmel, III, 31,2) Yohanes Salib menekankan bahwa hal semacam ini dapat membuat orang untuk menjadikan hal itu dibuat-buat, karena mereka begitu terikat dengan penampilan lahiriah memiliki karunia-karunia tertentu.

Hal itu bahkan dapat membuka bahaya bagi pemalsuan karunia oleh setan dalam penggunaan karunia-karunia. “Saat iblis mengenali keterikatan mereka terhadap keajaiban-keajaiban ini, iblis membuka lahan yang luas, menyediakan bahan-bahan untuk usaha, dan iblis pun campur tangan secara luas.” (Mendaki Gunung Karmel, III, 31, 4) Ketertarikan yang berlebihan ini bahkan dapat menuntun orang kepada kerjasama yang eksplisit dengan setan dan mengubah seseorang menjadi penyihir atau dukun.

Akibat buruk lain dari penggunaan karunia terpisah dari cinta kasih dan ketaatan kepada kehendak Allah dan dorongan Roh Kudus adalah mendatangkan nama jelek bagi sesuatu yang sungguh supranatural. Pelaksanaan karunia yang gagal, karena terpisah dari kehendak Allah, menuntun kepada munculnya ketidakpercayaan dan kurangnya rasa hormat akan hal-hal yang dari Allah dalam hati mereka yang melihatnya. Iman dilemahkan dengan berbagai cara dalam hati mereka yang secara berlebihan terikat dengan karunia-karunia ini dan dalam hati mereka yang menyaksikan pelaksanaan karunia yang tidak otentik ini.

Yohanes salib juga menyebutkan godaan besar kepada kekosongan atau kemuliaan kosong dalam penggunaan secara tidak dewasa dari karunia-karunia ini, hal itu akan menghasilkan dalam diri mereka yang menjalankan karunia-karunia ini suatu motif selain daripada kemuliaan Allah dan kebaikan jiwa-jiwa.

Dengan secara cerdas menunjukkan bahaya-bahaya penggunaan karunia-karunia karismatik- yang adalah tujuan utama pengajarannya- Yohanes Salib juga, secara tanpa sengaja, memberi banyak instruksi positif mengenai bagaimana karunia karismatik ini digunakan. Yohanes menunjukkan pentingnya penggunaan karunia-karunia ini dalam suatu cara yang tepat menurut “waktu dan caranya”.
“Benar bahwa saat Allah memberikan karunia-karunia dan rahmat-rahmat ini, Ia memberikan suatu cahaya bagi mereka dan suatu dorongan sesuai waktu dan cara pelaksanaannya.” (Mendaki Gunung Karmel, III, 31,2)

Yohanes juga menunjuk agar karunia-karunia dapat bekerja secara cocok dibutuhkan suatu penyangkalan akan ide-ide dan keinginan kita mengenai bagaimana hal itu harus bekerja dan kepercayaan mendalam akan Allah, serta ketaatan sejati kepada gerakan Roh-Nya.
“Jadi mereka yang memiliki karunia-karunia supranatural ini harus tidak menginginkan atau bersukacita dalam penggunaanya, juga mereka harus tidak perhatian akan cara pelaksanaanya. Karena Allah, yang memberikan rahmat secara supranatural untuk kebaikan Gereja atau anggota-anggotanya, juga akan memberikan secara supranatural, cara dan waktu dimana karunia-karunia ini harus digunakan. Karena Tuhan memerintahkan para murid-Nya untuk jangan khawatir mengenai apa dan bagaimana harus berbicara, karena urusan ini adalah masalah iman yang supranatural, dan karena karya-karya ini juga termasuk urusan supranatural maka Ia juga mau agar orang-orang yang diberi karunia ini menunggu sampai Dia sendiri menjadi pekerjanya dengan menggerakan hati mereka (Mat 10:19; Mrk 13:11). Karena melalui kuasa Allah-lah setiap kuasa lain harus dijalankan. Dalam Kisah Para Rasul para murid memohon kepada-Nya dalam doa untuk mengulurkan tangan-Nya bagi pelaksanaan mukjizat dan penyembuhan melalui mereka, agar iman akan Tuhan kita Yesus Kristus akan diperkenalkan ke dalam hati [mereka yang menerima mukjizat dan penyembuhan] (Kis4: 29-30).

Dalam semua uraiannya Yohanes Salib tidak digerakkan oleh keinginan untuk “memadamkan” karunia-karunia karismatik Roh Kudus tetapi untuk menjamin penggunaannya yang otentik, agar karunia-karunia ini sungguh mencapai tujuannya, baik di dalam diri yang menggunakan, dan dalam diri yang menerima manfaat dari penggunaannya, dan dalam diri semua orang yang Allah kehendaki.

Jawaban apa yang sekarang dapat kita berikan kepada pertanyaan awal kita? Apakah Yohanes Salib mengecam penggunaan karunia-karunia karismatik? Tidak, ia tidak mengecamnya. Sebaliknya, ia memberi banyak saran yang berguna agar karunia-karunia ini dapat digunakan secara efektif untuk memenuhi tujuan Allah memberikannya.

Jelas bahwa pengajaran Yohanes Salib tentang pengalaman rohani dalam bagian-bagian lain tulisan-tulisannya dan lebih lagi secara khusus pengajarannya tentang karunia-karunia karismatik dalam bagian Mendaki Gunung Karmel yang telah kita bahas dalam artikel ini, akan sangat bermanfaat bagi mereka yang terlibat dalam gerakan pembaruan karismatik. saya telah melakukan yang terbaik dari diri saya selama beberapa tahun terakhir untuk memperkenalkan kebijaksanaan Karmelit kepada gerakan pembaruan karismatik.

Di sisi lain tidakkah dikotomi (pemisahan) yang dianut di sejumlah lingkungan Karmelit antara dimensi kontemplatif dan karismatik karya Roh Kudus perlu ditinjau kembali? Dan hal ini, secara khusus dalam terang- bukan hanya ajaran Yohanes Salib sendiri yang telah kita bahas- tetapi juga dari dia yang oleh banyak orang secara tepat disebut sebagai Paus “Karmelit” yaitu Yohanes Paulus II yang secara tekun memanggil keterbukaan seluruh Gereja terhadap karya karismatik Roh Kudus (sebagaimana juga kepada kedalaman doa kontemplatif!)

Pada Pesta Pentakosta tahun 1998, Paus meminta kepada perwakilan dari semua gerakan pembaruan dalam Gereja untuk bergabung dengannya merayakan pesta ini. Lebih dari 500 ribu orang dari berbagai gerakan datang. Apa yang Paus lakukan adalah untuk mengumpulkan bersama pengajaran Kitab Suci dan Vatikan II tentang karunia Roh Kudus dan menyatakan kepada mereka dengan mendesak dan penuh hasrat. Ia memulainya dengan:
“Kesadaran diri Gereja didasarkan pada kepastian bahwa Yesus Kristus hidup, ia bekerja saat ini dan mengubah hidup…Dengan Konsili Vatikan II, Sang Penghibur baru-baru ini memberikan kepada Gereja… suatu Pentakosta yang diperbarui, Ia mengilhami suatu dinamisme yang tidak dapat diramalkan.
Kapanpun Roh Kudus campur tangan, Ia membuat orang-orang terpesona. Ia membawa peristiwa yang kebaruannya mengagumkan; Ia mengubah orang dan sejarah secara radikal. Ini adalah pengalaman tak terlupakan dalam Konsili Oikumene Vatikan II yang didalmnya, dibawah bimbingan Roh yang sama, Gereja menemukan kembali dimensi karismatiknya sebagai salah satu unsur dasarnya: “Tidak hanya melalui sakramen-sakramen dan pelayanan Gereja Roh Kudus menguduskan umat, memimpin mereka dan memperkaya mereka dengan anugerah-anugerah. Dalam membagikan rahmat-Nya menurut kehendak-Nya (cf. 1Kor 12:11), Dia juga membagikan rahmat istimewa kepada umat beriman dari segala tingkatan… Ia menjadikan mereka mampu dan siap untuk menjalankan berbagai tugas dan jabatan bagi pembaruan dan pembangunan Gereja” (Lumen Gentium 12).”

Dengan kata-kata ini Paus Yohanes Paulus II secara jujur mengakui apa yang telah ditunjukkan oleh banyak teolog, pakar Kitab Suci, dan sejarawan Gereja dalam penelitian-penelitian mereka, yaitu bahwa karya karismatik Roh Kudus adalah esensial dan melengkapi realitas sakramental dan dimensi hierarkis keberadaan Gereja. Paus juga secara jujur mengakui bahwa dimensi karismatik yang penting ini dengan suatu cara pernah terlupakan, tertutup oleh penekanan yang terlalu ekslusif akan dimensi sakramental dan hierarkis, dan diperlukan suatu tindakan khusus Roh Kudus dalam Konsili Vatikan II untuk membawa Gereja kembali sadar akan pentingnya dimensi yang “mendasar” ini.

Dalam pidatonya ini Paus melanjutkan dengan menyatakan secara eksplisit: “Aspek institusional dan karismatik adalah sama mendasarnya bagi pembentukan Gereja. Keduanya berkontribusi, walaupun secara berbeda, bagi hidup, pembaruan dan pengudusan umat Allah. Dari penyelenggaraan ilahi inilah penemuan kembali dimensi karismatik Gereja baik sebelum dan sesudah Konsili, meninggalkan suatu pola pertumbuhan yang dapat dikenali dan telah menghasilkan terbentuknya gerakan-gerakan gerejani dan komunitas-komunitas baru… Kalian yang hadir disini, adalah bukti yang terlihat dari ‘pencurahan’ Roh Kudus ini.

Paus kemudian membuat permohonan luar biasa ini kepada semua orang Kristen dengan susah payah berdiri dari tahtanya, sambil berkata: “Hari ini, saya ingin berseru kepada kalian semua yang berkumpul di sini, di Lapangan Santo Petrus dan kepada semua orang Kristen: Bukalah dirimu dengan sikap ketaatan kepada karunia-karunia Roh Kudus! Terimalah dengan penuh syukur dan ketaatan karisma yang tanpa henti diberikan oleh Roh kepada kita! (L’Observatore Romano, English Language Edition, June 3, 1998; This is the day the Lord has made! Holy Father holds historic meeting with ecclesial movements and new communities; pp. 1-2.)

Dengan menarik manfaat dari kebijaksanaan Yohanes Salib tentang bagaimana karunia-karunia ini dapat bekerja secara murni dan otentik, semoga kita juga menanggapi panggilan dari Paus dan Roh Kudus untuk membuka diri kepada karunia-karunia ini, bukan untuk kepentingan diri kita sendiri tetapi untuk kepentingan Gereja dan dunia.

Ralph Martin
Presiden, Renewal Ministries
Pengajar Teologi
Seminari Tinggi Hati Kudus
rcpmartin@earthlink.net

2 komentar:

  1. mantap bgt, beruntung saya ber ada di komunitas yang mengambil dasar dari st.yohanes salib, st.teresia lixiue dan st.teresia avilla
    amin........

    BalasHapus
  2. kalau boleh tahu .. cari buku mendaki gunung karmel dmana ya ?
    trims

    BalasHapus